• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 18 April 2024

Sejarah

Nasionalisme Abah Ruhiat dan Pak Sutsen, Sebuah Fakta Sejarah

Nasionalisme Abah Ruhiat dan Pak Sutsen, Sebuah Fakta Sejarah
Dua tokoh NU Tasikmalaya Sutisna Senjaya dan KH. Ruhiat
Dua tokoh NU Tasikmalaya Sutisna Senjaya dan KH. Ruhiat

KH. Ruhiat bin Abdul Ghofur (Abah Ruhiat) dan Sutisna Senjaya (Sutsen) adalah dua tokoh NU Tasikmalaya. Abah Ruhiat di jajaran Syuriyah dan Pak Sutsen pernah menjadi Ketua Tanfidziyah NU Cabang Tasikmalaya pada awal 1930-an. Pada awal berdirinya, NU di Tasikmalaya mengambil sikap non-kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda, sesuai dengan garis (khittah) HBNO di Surabaya. Saat ini kantor pusat NU masih berada di Surabaya. Hal ini tentu saja menimbulkan friksi dengan para ajengan yang memilih sikap kooperatif.

Strategi non-kooperatif ini bukan tanpa risiko. Jam’iyyah NU tidak pernah mendapatkan subdsisi pemerintah Hindia Belanda, dan harus menghidupi organisasi dengan iuran anggotanya. Ketaatan anggota ditandai dengan kepatuhan membayar iuran bulanan. Jika tidak taat, maka keanggotaan dapat diberhentikan. Bentuk organisasi NU yang ramping pada saat itu, memudahkan para pengurus untuk fokus mengelola organisasi. Gairah para ulama muda Tasikmalaya juga ikut terpicu karena NU mengedepankan diskursus keilmuan. Kehadiran Ajengan Sjabandi sebagai santri Syekh Mahfudh Attarmasi, ikut mewarnai bahtsul masail dengan memperkenalkan kitab-kitab mu’tabar dalam berbagai kajian.

Fatwa hubbul wathan minal iman dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari diterima bulat para ajengan NU. Nasionalisme para ajengan NU Tasikmalaya itu terjaga konsisten hingga pada masa kemerdekaan. Sebuah dokumen dari harian Tjahaja, 5 September 1945, mencatat keterlibatan Abah Ruhiat dan Pak Sutsen dalam rapat besar di alun-alun Tasikmalaya yang dihadiri oleh 10.000 massa. Untuk merasakan suasana rapat besar tersebut, penulis kutip lengkap liputan wartawan Tjahaja.


Rapat Besar di Tasikmalaya
Tempatnya rapat akbar ini di alun-alun Tasikmalaya, dimulai pukul 6.30 sore. Pembicara-pembicara di antaranya utusan-utusan dari Bandung. 

Tampak hadir wakil kepala pemerintah Indonesia daetah Tasikmalaya, utusan-utusan dari tia-tiap lapisan dan golongan, di antaranya tuan Soetisna Sendjaja. Perhatian umum, nyata bagaimana rakyat Tasikmalaya, hidup sebagai rakyat merdeka. Tua-muda, laki-perempuan dari segala tingkatan, bahkan dari luar kota pun berduyun-duyun menuju ke tempat rapat, tidak kurang dari 10.000 orang.
Di samping barisan rakyat, berjejer pula barisan Polisi, BKR, dan pemuda yang dipimpin oleh tuan Male Wiranatakusumah, Kepala Polisi.

Setelah upacara menggerek Sang Merah Putih dan melagukan Indonesia Raya, tampil ke muka para pembicara.

Mula-mula tuan Patih selaku Wakil Kepala Pemerintah daerah membuka rapat, lalu tuan Dachlan Loekman dari Bandung, tuan Ibrahim, Ajengan Ruhiat dan paling akhir tuan Soetisna Sendjaja.

Rapat besar itu memupakati mengirim telegram kepada Presiden Republik Indonesia, menyatakan bersatu bulat, berdiri di belakang Presiden, tenang, teguh, dan berdisiplin, sanggup merdeka dan tidak mau dijajah lagi. 

Ajengan Ruhiat membacakan doa untuk kekekalan Republik Indonesia agar diridlai Tuhan, ditutup dengan mengucap “Allahu Akbar” tiga kali dan “Merdeka” tiga kali.


Makna Rapat Besar Itu
Apa makna rapat besar di Tasikmalaya? Pertama, menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 belumlah kuat dan diterima sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia. Bisa jadi karena informasi belum sampai secara merata. Oleh karena itu, para nasionalis dan republiken, perlu menyatakan dukungan sepenuhnya atas kemerdekaan yang sudah diproklamirkan itu. Pengiriman telegram kepada Presiden Republik Indonesia, menegaskan dukungan warga Tasikmalaya kepada kepemimpinan Soekarno-Hatta, bukan tokoh yang lain.

Kedua, peran para ulama NU di Tasikmalaya dalam mendukung kemerdekaan itu jelas terlihat dengan kehadiran dua tokohnya, yaitu Abah Ruhiat dan Pak Sutsen. Keberadaan keduanya di panggung rapat akbar itu memastikan pula kehadiran para santri pesantren NU di tengah peserta rapat. Dengan demikian, nasionalisme keduanya istikomah terjaga sejak cabang NU mulai berdiri di Tasikmalaya.
Allahu Akbar, Merdeka!

Penulis: Iip D. Yahya


Editor:

Sejarah Terbaru