• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Sejarah

Kiai Mahfudz Siddiq Melawat ke Jepang

Kiai Mahfudz Siddiq Melawat ke Jepang
Foto para utusan MIAI sebelum berangkat, yang duduk dari kiri-kanan: Mr. Kasmat, Abdullah Al-Amudi, Abdul Kahar Moedzakkir, Farid Ma'roef dan KH. Machfudz Siddiq (Sumber: Melawat ke Japan).
Foto para utusan MIAI sebelum berangkat, yang duduk dari kiri-kanan: Mr. Kasmat, Abdullah Al-Amudi, Abdul Kahar Moedzakkir, Farid Ma'roef dan KH. Machfudz Siddiq (Sumber: Melawat ke Japan).

Ada satu peristiwa penting yang mungkin sudah terlupakan. Hal ini terjadi pada awal November 1939. Ada lima orang utusan dari Madjelis Islam A'laa Indonesia (MIAI) yang berangkat ke Jepang. Di antaranya adalah KH. Machfudz Siddiq yang saat itu menjadi Presiden HBNO atau istilah sekarang dikenal dengan Ketua Umum PBNU.


Mereka menghadiri undangan pameran alam Islam (The Islamic Exhibition) yang diselenggarakan oleh Dai Nippon Kaikyo Kyokai atau Perhimpunan Islam Nippon (PIN). Selama 20 hari, utusan MIAI ini mengunjungi sejumlah kota di negeri sakura itu. Mulai dari Kobe, Osaka, Tokyo, Nagoya, Hakone hingga Atami.


Oleh para penulis Indonesia, peristiwa ini hanya ditulis sambil lalu. Bahkan, dalam buku-buku sejarah mengenai kiprah dari ormas-ormas Islam yang menjadi bagian dari utusan MIAI ini. Dalam buku sejarah-sejarah NU, umpamanya. Ya, hanya sebatas disebut Kiai Machfudz menjadi utusan MIAI berangkat ke Jepang. Tak lebih. Bahkan, di salah satu buku biografi beliau juga tak dijelaskan secara memadai.


Padahal, peristiwa ini, menjadi cukup penting nantinya. Harry J Benda dalam Bulan Sabit dan "Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang" menjadikan momentum tersebut sebagai kontak awal Islam Indonesia dengan Jepang. Sehingga, dugaan saya, dari peristiwa ini pula nantinya akan menjadi bekal awal Jepang dalam menentukan sikap saat pertama kali menduduki Indonesia seusai mengusir Belanda.


Perlu diketahui Dai Nippon Kaikyo Kyokai ini didirikan oleh Pemerintah Jepang pada 1938. Hal ini sebagai proxy dari negara kekaisaran itu dalam mendekati Islam. Sebuah upaya yang mulai dirintis sejak usai perang dunia pertama. Pada tahun berdirinya yang ditandai dengan peresmian Masjid Tokyo itu, PIN mengundang perwakilan umat Islam Indonesia. Salah satu undangan yang terlacak oleh saya adalah Muhammadiyah. Tapi, organisasi berlambang matahari itu menolak dengan alasan adanya konflik dan persiapan yang mendadak. Meski demikian, dalam sumber-sumber Jepang sendiri disebut jika ada perwakilan dari Hindia Belanda. Entah siapa utusan yang hadir kala itu?


Hadirnya para utusan MIAI itu juga menandai perhubungan Islam Indonesia dengan umat Islam di belahan bumi yang lain selain dunia Arab (Timur Tengah, Turki dan Mesir). Sehingga, peristiwa ini, juga patut dikenang sebagai momentum diplomatik umat Islam Indonesia.


Sebagaimana disinggung di atas, tak banyak buku yang mengupas peristiwa penting itu. Jadi, cukup sulit bagi kita jika ingin tahu lebih jauh tentang kunjungan yang diketuai oleh Abdul Kahar Moedzakkir dari Muhammadiyah itu. Atas hal itulah, dalam sepekan terakhir, mendorong saya untuk sesegera mungkin merampungkan mengedit sebuah naskah pidato dari KH. Machfudz Siddiq saat menceritakan kunjungan ke negeri para samurai itu.


Namanya pidato, apalagi oleh seorang kiai NU, tentu amat segar. Cara pandangnya lebih leluasa, diselipi guyon dan renungan-renungan. Berbeda misalnya dengan bukunya Farid Ma'roef, Melawat ke Japan (1940). Buku yang melaporkan kunjungan itu secara kronologis tersebut sangat formal sekali. Tak banyak mengungkapkan sisi humanis ataupun pandangan-pandangan pribadi penulisnya yang saat itu menjadi Sekretaris II dari utusan MIAI itu.


Pidato Kiai Machfudz menceritakan bagaimana suasana saat di kapal. Mabuk laut hingga makannya yang hanya sepotong roti dan pisang sale karena takut makan daging yang tak jelas kehalalannya. Atau saat beliau mengomentari para pelayan hotel di Jepang yang cantik-cantik.


Tak ketinggalan tentunya refleksi-refleksi atas kemajuan dan kebaikan di Jepang yang bisa diterapkan oleh masyarakat Nahdliyyin di Nusantara. Seperti halnya attitude rakyat Jepang yang mencerminkan atas konsep Mabadi Khoiri Ummah yang sedang NU dengung-dengungkan kala itu.


Tak panjang naskah pidato tersebut. Namun, memang perlu mempelajari dengan seksama untuk bisa memahami, menangkap esensi hingga mengkontekstualisasinya dalam perjalanan sejarah bangsa dan dunia sendiri. Semoga saja, saya bisa diberikan kemampuan untuk menyajikan kisah perjalanan yang luar biasa itu dengan ciamik. Mohon doanya...!!!


Ayung Notonegoro, peneliti NU


Sejarah Terbaru