• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 1 Mei 2024

Profil

Khoeru Faruq, Ajengan Muda Terpincut Karya Ulama Nusantara dan Musik Rock

Khoeru Faruq, Ajengan Muda Terpincut Karya Ulama Nusantara dan Musik Rock
Ajengan Khoeru Faruq (Foto: NU Online Jabar/Abdullah Alawi)
Ajengan Khoeru Faruq (Foto: NU Online Jabar/Abdullah Alawi)

Saya berupaya hadir pada kegiatan rutinan pelajar NU Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, di Pondok Pesantren Al-Iman Desa Cipeujeuh, akhir pekan lalu. Tak dinyana, majelis taklim di pesantren itu dipenuhi pelajar NU dari beberapa desa kecamatan itu.

Sebelum hadir ke acara itu, saya mendapatkan informasi dari salah seorang pengurus IPPNU bahwa kegiatan itu bernama Ngabaperan atau Ngaji Bareng Pelajar Bulanan. Ngaji bareng itu mengupas kitab Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunah wal Jama’ah dengan narasumber tetap, Ajengan Khoeru Faruq. Sistem pengajiannya sebagaimana berlaku di pesantren Sunda, yakni ngalogat. Kemudian dijelaskan narasumber.  

Sepertinya saya hadir pada saat Ngabaperan memasuki bagian akhir. Saya duduk di beranda majelis taklim sembari memperhatikan para pelajar NU ngalogat, memaknai tiap kalimat yang dituntun oleh ajengan muda dari Pondok Pesantren Syifaus Salam itu.

Memang, beberapa menit kemudian, pengajian usai. Kemudian foto-foto deh. Khusus pelajar putra dengan narasumber satu sesi. Kemudian khusus pelajar putri dengan narasumber sesi selanjutnya. 

Selepas Ngabaperan saya bertanya pembahasan pengajian itu kepada Ajengan Khoeru Faruq. Kemudian ia membuka kitab itu dan menunjukkannya, yaitu:

Fashlun fi bayani tamassuki ahli Jawa bimadzhabi ahlussunah wal jamaah, wa bayani ibtidai dhhuril bida'i wan tisyariha fi ardhi Jawa, wanbayani anwail mubtadiiina al-maujudina fi hadzal zaman.

Pada bagini ini, kata Ustadz Khoeru, Hadratussyekh menjelaskan bahwa pada mulanya amaliah dan pemikiran Islam di Nusantara itu sama. Namun, kemudian menjadi berbeda bahkan saling menentang satu sama lainnya setelah munculnya paham Wahabi. 

Belajar kepada Pelajar
Menurut salah seorang pengurus IPPNU, Pipih Faoziah, Ngabaperan sudah berjalan keenam kalinya. Tempatnya disepakati berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Biasanya di majelis taklim pesantren. 

Masih menurut IPPNU, kegiatan itu bermula dari narasumber tetap, Ajengan Khoreu Faruq. Sementara nama acaranya, Ngabaperan, dari salah seorang kader IPPNU. 

Saya lalu bertanya kepada Ajengan Khoeru Faruq terkait hal itu. Ia membenarkan penjelasan dari IPPNU. Menurutnya, ia menggagas acara itu kepada pelajar NU Pacet karena pertama ingin mencari ilmu.

“Belajar kepada pelajar,” katanya.  

Kedua, meyakinkan kepada pelajar NU bahwa amaliah Aswaja yang selama ini dilakukan warga NU ada dasarnya dari ajaran Islam sendiri. 

“Pelajar NU harus tahu dan mendapat bekal tentang dalil Aswaja dari pendiri NU. Pelajar NU harus mendapatkan referensinya,” kata ajengan yang akrab disapa Kang Heru ini. 

Terpincut Karya Ulama Nusantara
Kang Heru mengaku sangat terpincut karya-karya ulama Nusantara. Ia belum sepuluh tahun mengetahui bahwa karya ulama Nusantara itu punya kelebihan tersendiri, di antaranya adalah bahasa yang digunakan serta lebih kontekstual dengan kondisi di Nusantara. 

Selama ini, katanya, karya ulama Nusantara yang umum dibaca di pesantren-pesantren hanya karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Ternyata begitu banyak ulama Nusantara yang seharusnya dikaji para santri NU.   

Pada mulanya, ia mendengar beberapa karya ulama Nusantara pada tahun 2012 saat ia memulai aktif di GP Ansor Kabupaten Bandung.

“Di Ansor mendengar ada karya ulama-ulama Nusantara, kemudian dikaji,” katanya. “Pertama kali dikirim ku (oleh) NU Ranting Ciwidey kitab Adabul Alim wa Muta'alim karya KH Hasyim Asy’ari. Dia pernah nyantri di Tebuireng,” jelas ajengan yang kini menjadi Ketua Rijalul Ansor Kabupaten Bandung ini.  

Kemudian, setelah mendapatkan kitab-kitab itu, ia mencari karya-karya yang lain. Kini ia baru mengoleksi beberapa kitab saja, di antaranya Risalah Ahlussunah wal Jamaah, At-Thibyan, Adabul 'Alim wal Muta’alim (karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari), Hujjah Aswaja karya KH Ali Ma’shum Krapyak, dan Ashilah fi Bayani Nikah karya Syaikhana Kholil Bangkalan, Madura.  

Karena menyukai kitab-kitab itu, Kang Heru kemudian rutin membaca dan memahami secara sendiri, kemudian mengajarkannya kepada santri-santri di pesantrennya sendiri. Sementara kakaknya, KH Yusuf Ruslan Faruq, mengajarkan kitab-kitab klasik sebagaimana umumnya di pesantren. 

Penggagas Sarung Kecamatan Pacet
Kang Heru dilahirkan pada tahun 1983. Ia dibesarkan dan dididik di pesantren Syifaus Salam yang didirikan ayahnya, KH Nu’man Faruq. Sedari kecil juga ia dikirim ke berbagai pondok pesantren. Sementara pendidikan formalnya sebagian dijalani selama nyantri, serta sebagian disusul kemudian.

Pada saat kelas lima SD, Kang Heru dikirim ayahnya ke pesantren Assyifa Cijantung 2 (Ciamis) tahun 1995-1996, kemudian ke Pesantren Bantar Gedang 1996-1998 (Tasikmalaya), ke Pesantren An-Nidzom 1998-2000 (Sukabumi), Cikalama 2000-2004 (Sumedang), Darul Hikam 2004-2008 (Sukabumi). Ia juga pernah pasaran ke berbagai daerah seperti ke daerah Sadang (Garut), Bogor, Karawang, Banjar, Al-Hidayah. Lalu baru mengejar S1 dengan kuliah At-Taqwa-2008-2012. 

Pada saat-saat kuliah itulah, sembari memulai mengajar di pesantrennya, ia menikah pada 2010. 

“Pulang ke rumah disuruh ngajar santri,” kata ayah dari empat putra ini. 

Kemudian, karena ingin menambah kenalan dan jaringan, ia ikut jam'iyah NU melalui GP Ansor pada 2012 sembari ikut di kepengurusan Ranting NU Desa Maruyung. 

Pada tahun 2017, dua tahun ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri, Kang Heru menggagas Santri Ngariung (Sarung) Pacet. Ia menemui puluhan pesantren yang ada di Kecamatan Pacet. Kemudian berkomunikasi dengan lurah-lurahnya. Para lurah itu menyepakati terbentuknya Sarung dengan tagline Santri Aya, Santri Bisa. Dari warna asli menjadi pelangi.

Pada akhir pekan lalu, Ahad (25/10), sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Sarung Pacet menggelar peringatan Hari Santri 2020 di Pondok Pesantren Al-Istiqomah. Karena masih dalam situasi pandemi Covid-19, kegiatan tersebut dilaksanakan secara sederhana.   

Suka Musik Rock 
Sebagai seorang santri, ia tak pernah jauh dari kitab kuning. Namun, sebagai seorang santri pula, apresiasi terhadap kesenian tumbuh dengan sendirinya. Bagaimana tidak, di pesantren juga ada nilai-nilai seni yang berkaitan langsung dalam kesehariannya, misalnya, nadham-nadham yang dihafal seperti Nadham Almaqshud, Imrity, Alfiyah Ibnu Malik, Jauhar Maknun merupakan karya sastra. 

Para santri, biasanya menghafal karya yang merupakan perpaduan nahwu dan sharaf itu dengan langgam-langgam kekinian, bahkan diiringi dengan alat musik dadakan, semisal galon atau rebana. 

Lebih dari itu, para santri di pondok pesantren salaf juga mengakses karya musik dari Barat. Termasuk Kang Heru. Ia menyebutkan semasa di pesantren ia mengoleksi kaset pita Guns 'N Roses, dan Metallica. 

“Itu yang salaf-nya, yang khalaf-nya saya suka Avanger 7 Fold, dan The Offspring,” katanya. “datang saja ke rumah kalau ingin tahu koleksi saya. Ti kobong keneh (semasa dari pesantren) saya suka Metallica The Black Album dan And Justice for All,” kata pengagum Imam Ghazali ini yang rutin membaca Ihya Ulumuddin.  

Penulis: Abdullah Alawi
 


Profil Terbaru