• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

KOLOM PROF BAMBANG

UIN: Kekhawatiran Gusmen dan Cita-Cita Ulama-Intelek, Intelek-Ulama

UIN: Kekhawatiran Gusmen dan Cita-Cita Ulama-Intelek, Intelek-Ulama
Prof. KH. Anwar Musaddad dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Sumber foto: Dok. Tempo & Web Kemenag RI. Grafis: Iqbal)
Prof. KH. Anwar Musaddad dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Sumber foto: Dok. Tempo & Web Kemenag RI. Grafis: Iqbal)

Hari Rabu, 31 Mei 2023, saya membaca kekhawatiran Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengatakan perlu perhatian khusus pada jurusan agama Islam di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Gusmen khawatir program studi agama gulung tikar. 

 

"Saya kira harus ada treatment khusus untuk prodi agama. Saya khawatir prodi agama yang harusnya jadi ciri khas PTKIN justru malah gulung tikar lebih cepat karena tidak ada treatment khusus," kata Yaqut melakukan pemantauan ujian masuk di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten di Serang, sehari sebelumnya sebagaimana dimuat pada laman detik.com.

 

Kekhawatiran ini cukup mendasar, terutama di masa depan. Prodi-prodi agama di masa depan dapat saja kehilangan peminat, walaupun sampai saat ini –paling tidak di UIN Bandung—masih menunjukkan pendaftar yang cukup banyak. Prodi agama akan berhadapan dengan prodi umum yang memiliki keterserapan dunia kerja, ini masalah relevansi pasar yang belum dipecahkan. Pada titik tertentu, saat alumni merasakan susahnya bekerja mengandalkan ijazah prodi agama, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap prodi agama. 

 

Kekhawatiran Gusmen harus dijawab, terutama oleh civitad akademika UIN. Jika di masa depan prodi agama gulung tikar, UIN akan kehilangan jati dirinya. Beberapa Universitas Islam di Kota Bandung (seperti UNISBA dan UNINUS) telah menunjukkan gejala ini, mulanya memiliki beberapa fakultas seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, dan sejenisnya, kini tinggal Fakultas Agama Islam yang berisi sedikit prodi agama. Alasannya tentu saja sangat jelas: kurang peminat.


Tulisan ini akan mendudukkan beberapa masalah dan ikhtiar penyelamatan prodi agama di UIN.

 

Dari KH Anwar Musaddad ke Wahyu Memandu Ilmu

Tujuan pendirian IAIN itu, ujar seorang dosen senior, agar menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi ulama intelek, intelek ulama. Inilah pesan KH Anwar Musaddad, rektor pertama IAIN pada tahun 1968. Pada saat itu KH Muiz Ali (Ketua Partai NU Jawa Barat dan PWNU Jawa Barat) memiliki inisiatif agar Jawa Barat memiliki Perguruan Tinggi Islam.Setelah kepanitiaan siap, gubernur Jawa Barat juga mendukung, panitia kebingungan ihwal siapa yang akan menjalankan IAIN. Yang menjalankan IAIN haruslah PNS sekaligus mumpuni secara keilmuan, saat itu di Jawa Barat tak ada SDM sehebat itu. Panitia lalu menghubungi tokoh Jawa Barat yang menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, KH Anwar Musaddad. Singkat cerita, ia kemudian memimpin IAIN dalam kondisi darurat dan menetapkan mimpi besar “Ulama Intelek, Intelek Ulama”.

 

Di sini, ulama dan intelek dibedakan. Ulama yang dimaksud adalah lulusan yang menguasai ilmu agama Islam, seperti lulusan pesantren. Sementara intelek adalah lulusan yang menguasai ilmu umum, seperti lulusan ITB, UNPAD, UI. Lulusan IAIN harus bisa menggabungkan dua arus itu: Kyai sekaligus Cendekiawan. Cita-cita ini dapat juga ditafsirkan sebagai dorongan untuk melakukan “islamisasi sains” dan “saintisasi islam”. Ini cita-cita yang mendahului zaman, karena wacana baru tercetus sebagai kesadaran bersama pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di Makkah pada tahun 1977. Pada konferensi itu, Naquib  Al-Attas dan Ismail Razi al-Faruqi menggagas perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu.  Kemudian pada tahun 2007 Kuntowijoyo mengumandangkan perlunya Ilmuisasi Islam.

 

Cita-cita ini tentu tak mudah. Prof.Dr. Harun Nasution, lulusan McGill dan Kairo, yang pada tahun 1969 menjadi rektor IAIN Syarif Hidayatullah membuat jalur melingkar, ia meletakkan pondasi Islam rasional terlebih dahulu pada kurikulum IAIN. Semua jurusan IAIN wajib belajar ilmu-ilmu umum seperti, Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Kemudian Harun Nasution juga mewajibkan mata kuliah Filsafat Islam dan Ilmu Kalam dengan penekanan pada rasionalisme Muktazilah. Tujuannya kira-kira agar mahasiswa IAIN dapat memikirkan dan mengkonstruksi ilmu agama dengan pendekatan rasional khas para intelektual. 

 

Pada tahun 2003 spirit ini menguat beriringan dengan transformasi IAIN menjadi UIN. IAIN adalah Institut, hanya mengelola prodi Agama saja; sementara Universitas harus mengelola ilmu umum. Ada PR besar di situ,, apa distingsi pengajaran ilmu umum di UIN? Lalu Imam Suprayogo menggagas integrasi sains dan Islam di UIN Malang dengan “pohon ilmu, UIN Sunan Kalijaga mengembangkan pendekatan interdisipliner melalui interkoneksi dan inter-relasi, UIN Syarif Hidayatullah mengembangkan integrasi ilmu, dan UIN Bandung dengan paradigm “Wahyu Memandu Ilmu” Semua gejala ini adalah ikhtiar mewujudkan cita-cita KH Anwar Musaddad pada tahun 1968, “Ulama-Intelek, Intelek-Ulama”.

 

Apakah cita-cita itu sudah terwujud? Cita-cita adalah satu hal, aksi merealisasikannya adalah hal lain. Sialnya, cita-cita kadang menjadi sekedar jargon, akhirnya hanya tersisa dalam ingatan atau tertempel sebagai hiasan dinding. UIN Yogyakarta, saya kira,  cukup serius merealisasikan paradigm Integrasi-Interkoneksi. UIN Yogya telah menjadikan paradigm Integrasi-Interkoneksi sebagai metode pengajaran bahkan model pendekatan dalam penulisan karya Ilmiah (skripsi, tesis, disertasi). Sementara UIN Bandung belum menunjukkan keseriusan itu. Paradigma Wahyu Memandu Ilmu masih sekedar jargon, turunannya dalam kurikulum, metode pengajaran, pendekatan dalam penulisan karya tulis ilmiah belum terlihat wujudnya yang sistematis. Beberapa dosen agama di Fakultas Umum bahkan merasa kekurangan jam membimbing skripsi karena dianggap ilmu agama yang diampunya tidak relevan dengan bahasan skripsi yang dibimbing.


Tak ada kata terlambat, Wahyu Memandu Ilmu harus segera diwujudkan sebagai kerangka berpikir dan substansi penyelenggaran UIN Bandung. 

 

Ikhtiar Masa Depan UIN Bandung
 

Kekhawatiran Gusmen adalah kekhawatiran substansial. Secara historis IAIN atau UIN didirikan dari spirit Ulama NU untuk mendorong santri (pengampu ilmu keislaman) menjadi agen perubahan social di dunia modern. Tanpa prodi agama, berarti tak ada penanggung jawab Ilmu Keislaman, tanpa penanggung jawabnya niscaya akan membuat Ilmu Keislaman jadi punah. Pada saat ilmu keislaman punah, tak akan ada yang dapat diintegrasikan dengan ilmu umum.  

 

Ada dua ikhtiar yang dapat dilakukan, yakni pertama, perumusan mata kuliah keislaman untuk semua prodi (islam dan umum); kedua, menjadikan Wahyu Memandu Ilmu sebagai cara pandang, metode pendekatan, dan substansi penyelenggaraan Tridharma. 


Mari kita lihat yang pertama. Saat ini, di UIN Bandung,  sudah ada kebijakan yang menetapkan mata kuliah prodi Keislaman menjadi mata kuliah wajib, seperti Ilmu Tauhid, Ilmu-Tafsir Al-Quran, Ilmu Hadits, SKI, dan sejenisnya. Namun mata kuliah tersebut belum diberi daging, isinya masih dibiarkan tanpa orientasi ideologis tertentu. Padahal mata kuliah–matakuliah tersebut dapat diisi dengan materi ajaran Islam dengan paradigm Wahyu Memandu Ilmu dan Moderasi Beragama. Ini berarti dibutuhkan penyusunan bahan ajar yang kemudian menjadi bahan ajar untuk semua prodi. Melalui mata kuliah seperti ini, semua mahasiswa (prodi Islam atau umum) memiliki asupan gizi ilmu yang sama. 


Ikhtiar kedua lebih rumit, namun sudah mulai dilakukan oleh UIN Yogyakarta. Ikhtiar kedua ini menjadikan Wahyu Memandu Ilmu sebagai pendekatan yang khas, cara pandang dunia, dan pendekatan pemecahan masalah. 


Selesaikah di sini? Belum. Kedua ikhtiar ini hanya akan menghasilkan lulusan prodi umum dari UIN yang unik, berbasis Ilmu Keislaman. Kedua ikhtiar ini baru merealisasikan Intelek-Ulama. Sementara bagi mahasiswa lulusan Ilmu Keislaman masih mengidap masalah relevansi dunia kerja. Kurikulum MBKM yang digagas Nadiem Makarim sebenarnya memberikan peluang untuk memberikan mahasiswa lulusan prodi Ilmu Keislaman mata kuliah keahlian hidup dan dunia kerja, paling tidak terdapat 40 SKS (2 semester) yang disiapkan dalam kerangka MBKM. Lagi-lagi, penyelenggaraan MBKM di UIN Bandung belum maksimal. Karena itu  di masa depan Kementrian Agama perlu merumuskan metode penerapan MBKM yang dapat memberikan keterampilan khas bagi mahasiswa prodi Ilmu Keislaman sehingga dapat menjadi Ulama-Intelek. Tentu saja ada ikhtiar lain yang perlu dilakukan. Insya Allah akan dikemukakan pada tulisan lain setelah ini. 


Ala kulli hal, terima kasih Gusmen yang telah mengingatkan kami, civitas akademika UIN, akan kemungkinan “kiamat kecil” yang melanda UIN. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik pada jalan ini. 

Penulis adalah Guru Besar UIN ‘SGD’ Bandung dan Ketua PW Lakpesdam Jawa Barat.


Editor:

Opini Terbaru