Opini

Sudah Sejak Lama Banser Hadir di Papua

Ahad, 6 Desember 2020 | 19:30 WIB

Sudah Sejak Lama Banser Hadir di Papua

Banser Papua dalam Kirab Satu Negeri (NU Online Jabar/Foto: dok Ansor)

Oleh: Imam Mudofar

Setiap kali terjadi kasus makar, pemberontakan di Papua, selalu muncul narasi-narasi bernada miring dan nyinyir yang meminta agar Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dikirim ke Papua. Masih hangat dalam ingatan, Desember 2018 silam saat terjadi penyerangan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) terhadap pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun jalan dan jembatan di Papua, narasi permintaan agar Banser turun ke Papua ramai di sosial media. Dan akhir-akhir ini, pasca munculnya deklarasi Negara Papua Barat oleh Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda, narasi bernada nyinyir agar Banser turun ke Papua Barat untuk melawan mereka juga kembali muncul dan ramai di tebar di sosial media.

Tentu ini lucu. Banser yang dalam yel-yelnya selalu meneriakkan kata “NKRI HARGA MATI” di minta untuk tidak hanya berteriak, tapi turun langsung menghadapi para pemberontak di Bumi Cendrawasih Papua. Besar kemungkinan narasi miring dan nyinyir itu sengaja dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang tidak suka dengan keberadaan dan eksistensi Banser selama ini. Tujuannya untuk melegitimasi bahwa Banser hanya bisa berteriak, tapi lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa saat upaya makar dan pemberontakan itu ada dan nyata terjadi di bumi Papua. Narasi miring yang konyol dan cacat pengetahuan.

Pertama, tanpa diminta, Ansor Banser ada dan sudah lama hadir di Papua. Termasuk di Papua Barat. Struktur kepengurusan Ansor Banser di sana sudah lama terbentuk. Menurut Amir Mahmud Madubun, Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Papua (2014-2020), Ansor dan Banser sudah hadir di Papua sejak tahun 1966 pada saat pembebasan Irian Barat. “Saat itu ada satu momen pengibaran bendera Merah Putih di Taman Imbi Kota Jayapura tahun 1966 sebagai penanda Irian Barat masuk dan menjadi bagian NKRI, Ansor dan Banser sudah ada dan ikut hadir dalam upacara tersebut,” kata Amir yang saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor. Hanya saja, imbuh Amir, saat itu kehadiran Ansor dan Banser di Papua baru sebatas persamaan faham ideologi. Belum sampai pada tahap penguatan organisasi seperti sekarang ini. Baru pada saat Nusron Wahid menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, eksistensi Ansor Banser di Papua secara organisasi mulai diperkuat. 

Baca juga: Mengubah Paradigma Tentang Banser

Saat ini struktur kepengurusan Ansor Banser di Papua sudah sangat lengkap. Dari mulai tingkat wilayah (provinsi) sampai dengan tingkat cabang (kabupaten) dan bahkan sudah sampai ke tingkat Anak Cabang (kecamatan). Ansor Banser sudah lama eksis di bumi Papua. Sahabat-sahabat Ansor Banser di sana tidak hanya aktif di kegiatan-kegiatan sosial keagamaan saja. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan kedaerahan lainnya. Berbaur dan bersatu padu dengan masyarakat asli Papua dan bahkan diterima dengan baik oleh masyarakat Papua yang notabene mayoritas non muslim. 

Kehadiran Ansor Banser di Papua tidak ujug-ujug. Mereka hadir dan lahir dari jenjang kaderisasi organisasi yang jelas. Proses kaderisasinya juga berjalan dari waktu ke waktu. Bahkan baru-baru ini di Kab. Sorong Selatan, mereka baru saja mengadakan kegiatan kaderisasi anggota dan pesertanya didominasi oleh pribumi, putra-putra terbaik Papua. Dan yang tidak kalah menarik, saat ini, Kepala Satuan Koordinasi Wilayah (Kasatkorwil) Banser Papua Barat adalah sahabat Hamzah Edoba, putra asli Kurwoto Kab. Sorong Papua Barat. Ini adalah sebuah fakta jika tanpa di minta, sudah sejak lama Ansor, Banser dan NU hadir di tanah Papua dan menjadi bagian penting perjalanan peradaban masyarakat Papua.

Kedua, meminta Banser untuk menghadapi langsung pemberontak di Papua secara fisik adalah bentuk kebodohan dan ketidakpahaman dalam menjalankan peran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sederhananya begini, Banser itu hanya sebatas organisasi massa (ormas) milik Ansor dan Nahdlatul Ulama. Banser bukan lembaga resmi Negara yang dipersenjatai dan difungsikan sebagai lembaga inti Negara untuk menegakkan kedaulatan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Banser adalah organisasi tempat sekelompok orang yang memiliki pemahaman dan kecintaan yang sama terhadap Agama dan Negara berhimpun dan berkontribusi dengan peran dan fungsi yang berbeda dari lembaga resmi Negara. Bahwa ada persamaan dalam keyakinan soal “NKRI HARGA MATI,” tentu harus dibedakan peran dan fungsinya. Tidak bisa disamaratakan.

Negara ini telah menyusun dan merumuskan lembaga-lembaga Negara yang memiliki tugas dan peran yang berbeda-beda. Khusus dalam hal menegakkan kedaulatan Negara dari berbagai macam ancaman, sudah ada TNI (Tentara Nasional Indonesia). TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Baca juga: Gus Yaqut: GP Ansor dan Banser Punya Tanggung Jawab kepada NKRI dan Ulama

Lantas di mana posisi Banser dalam kerangka menjaga kedaulatan Negara? Ada. Tapi tentu dengan cara yang berbeda. Tidak dengan angkat senjata sebagaimana yang dilakukan oleh tentara. Karena memang Banser bukan lembaga resmi Negara dan juga tidak pernah dipersenjatai apa-apa oleh Negara. Banser hadir untuk kedaulatan NKRI dengan cara memupuk pemahaman dan memperkokoh ideologi masyarakat untuk sama-sama mencintai Negara ini. Proses memupuk pemahaman dan memperkokoh ideologi itu disertai dengan pondasi pemahaman keagamaan yang kuat berdasarkan akidah Islam ala Ahlussunah Wal Jamaah Annahdliyah. Sebab NU dan ulama-ulama yang berhimpun di dalamnya selalu mengajarkan keterkaitan Agama dan Negara yang tidak boleh dipisahkan dan tidak boleh dibenturkan. Jika pemahaman ideologi beragama dan bernegara ini sudah kokoh terbangun dalam paradigma masyarakat, maka kecil kemungkinan ada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang akan melakukan pemberontakan. Dan pada bagian inilah kesamaan antara Banser dan TNI dalam kerangka menjaga kedaulatan Negara dengan cara yang berbeda. Lantas apakah Banser bisa angkat senjata menghadapi para pemberontak Negara? Bisa. Dengan catatan diminta oleh Negara jika memang dirasa Negara sudah tidak sanggup dan tidak mampu menghadapi mereka.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan satu cerita saat Banser yang berangkat ke Tolikara Papua dan jadi juru perdamaian di sana. Diceritakan oleh Kyai Faizin, Banser Batang Jawa Tengah yang memimpin misi perdamaian ke Tolikara Papua. Berawal dari tawaran Satkornas Banser kepada beberapa Satkorcab yang siap diberangkatkan ke Tolikara untuk misi perdamaian terhadap konflik sara yang berujung pembakaran masjid di Tolikara Papua. Dari sekian Satkorcab, ternyata Satkorcab Batang Jawa Tengah yang bersedia diberangkatkan ke Papua. Meskipun dengan syarat yang berat, di antaranya semua personil harus kebal senjata apapun dan ahli bela diri. 

Perjalanan diawali dari Batang menuju Jakarta untuk mendapat pembekalan. Selanjutnya setelah dua kali penerbangan, perjalanan dilanjutkan dengan jalur darat yang sangat panjang. Begitu mendekati lokasi konflik, tiba-tiba pasukan Banser Batang yang berjumlah lima belas orang itu dikepung oleh pasukan penduduk asli yang dibekingi kelompok pemberontak Papua. Dengan bersenjatakan panah, tombak dan golok, mereka siap menyerang rombongan banser yang berpakaian lengkap yang didampingi juru bicara atau pemandu bahasa dari orang asli Papua. 

Negosiasi panjang dilakukan dalam suasana sangat tegang dan mencekam. Tiba-tiba naluri Banser muncul dari Kyai Faizin. Dengan lantang beliau berteriak, "Kami pasukan Gus Dur. Datang ke sini untuk berdamai dengan saudara-saudara Papua." Begitu mendengar teriakan "Pasukan Gus Dur," maka sang pimpinan pasukan suku asli itu bangkit dan berteriak, "Stop. Kita kedatangan saudara. Gus Dur saudara, Gus Dur saudara." Maka, seketika semua pasukan pengepung itu meletakkan senjata dan maju merangkul dengan sangat akrab." Banser begitu diterima oleh semua komponen di Tolikara. Hingga misi perdamaian berhasil dengan kesepakatan-kesepkatan ke dua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Ketika pasukan Banser Batang hendak pulang, pakaian seragamnya dilucuti dan diminta oleh penduduk asli. Mereka ingin memakainya dan berminat menjadi anggota Banser. 

Penulis adalah Kepala Satuan Koordinasi Cabang (Kasatkorcab) Banser Kabupaten Tasikmalaya