• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Opini

Spirit Haji (3)

Spirit Haji (3)
Spirit Haji (3). (Ilustrasi: NUO).
Spirit Haji (3). (Ilustrasi: NUO).

Ibadah haji dan kurban mempunyai keterkaitan yang sama karena bersumber dari perjalanan nabi dan rasul yang sama, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Perjalanan yang kemudian terangkai dalam bentuk manasik haji menjadi sesuatu yang perlu direnungkan karena berkaitan dengan kesempurnaan syariat Islam.


Oleh karenanya, pada saat seseorang sedang melaksanakan ibadah haji ataupun kurban, maka pada dasarnya ia sedang melaksanakan apa-apa yang pernah dilakukan oleh dua nabi mulia tersebut. 


Kurban berasal dari bahasa Arab, udhhiyah atau dhahiyyah yang artinya sembelihan. Sementara secara umum, kurban diartikan sebagai ritual ibadah umat Islam yang dilakukan pada waktu tertentu (10 sd 13 Dzulhijah) melalui penyembelihan hewan kurban sebagai wujud persembahan dalam rangka meraih ridha Allah SWT. 


Secara historis, ibadah kurban erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim saat ia menerima wahyu dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail (QS as-Saffat [37]: 102).


Penyembelihan Ismail pada dasarnya merupakan sebuah ujian bagi Ibrahim atas apa yang pernah ia janjikan. Sebagaimana diketahui, Nabi Ibrahim gemar mengurbankan hewan ternak miliknya dalam skala besar (ratusan bahkan ribuan). 


Dikisahkan Nabi Ibrahim pernah berjanji “… Seandainya aku mempunyai seorang anak pun, dan kemudian Allah memerintahkan kepadaku untuk mengurbankannya, maka akan aku kurbankan anak tersebut.”. Dari inilah awal kisah Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. 


Perintah penyembelihan Ismail tersebut menjadi semacam uji ketakwaan bagi Nabi Ibrahim atas apa yang pernah ia janjikan. Penyembelihan Ismail yang dilakukan Nabi Ibrahim juga menjadi semacam bentuk realisasi totalitas penghambaan dari seorang manusia kepada tuhannya dalam memegang teguh janjinya meskipun pada akhirnya penyembelihan itu diganti dengan penyembelihan hewan kurban (QS as-Saffat [37]: 107).


Esensi Kurban


Jika direnungkan, ada beberapa esensi (hikmah) dari ibadah kurban yang dilakukan oleh seorang muslim. Paling tidak ada beberapa hikmah yang dapat kita peroleh dari disyariatkannya ibadah kurban.


Pertama, ibadah kurban sebagai simbol tauhid. Jika kurban hanya dimaknai sebagai penyembelihan hewan saja, maka apa bedanya dengan ritual kurban yang kadangkala dilakukan oleh kepercayaan di luar agama tauhid (Islam)? 


Misalnya, sebelum Islam masuk ke Indonesia, ada sebuah tradisi (sesaji maesa lawung) yakni kegiatan mengurbankan (menyembelih) hewan berupa kerbau liar yang diperuntukkan bagi arwah leluhur sebagai tumbal untuk mendapatkan keselamatan, ketentraman, dan kesejahteraan sebuah tempat.


Begitupun di tempat Nabi Ibrahim lahir (Mesopotamia, Irak, dan sekitarnya) sekitar 30 abad SM masih berkembang tradisi mengurbankan anak pertama sebagai persembahan bagi dewa-dewi yang dipuja. Namun, tradisi ini kemudian terkikis oleh tradisi kurban yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim yang bersumber dari syariat yang diperintahkan oleh Allah SWT, yaitu prosesi pengurbanan dengan hewan yang berawal dari perintah penyembelihan manusia (Nabi Ismail). 


Berkenaan dengan kurban sebagai wujud tauhid (pengesaan) kepada Allah SWT, menarik mencermati apa yang diutarakan oleh M Amin Abdullah, seorang cendekiawan muslim dalam karyanya “Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (2004) bahwa kurban yang dilakukan oleh seorang muslim sesungguhnya memiliki makna mendalam yaitu mengajak umat manusia kembali kepada ajaran tauhid (monoteis), yang berdimensi pada keberpihakan secara sosial kemasyarakatan.


Menurutnya, kurban juga merupakan usaha untuk menyatukan dimensi tauhid yang bersifat trasendental fungsional dan dimensi kepedulian sosial yang bersifat historis-empiris ke dalam satu keutuhan pandangan hidup yang mencerminkan sikap hidup keberagamaan Islam yang autentik dan tulus demi mematuhi perintah Allah SWT. (M. Amin Abdullah, 2004).


Dengan demikian, Islam datang dan hadir tidak hanya membawa pesan secara vertikal melalui tauhid saja, melainkan juga sekaligus membawa pesan humanis yang secara horizontal bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Hal semacam inilah yang sejatinya terdapat dalam prosesi ibadah kurban dalam Islam yang dibuktikan dengan prosesi, tujuan, dan peruntukkannya memperhatikan norma dan etika syariat Islam.


Kedua, esensi kurban adalah manifestasi dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Hal inilah yang tersirat dari penyembelihan hewan ternak kategori hewan besar dan mahal (unta, sapi, kambing, kerbau, dsb).


Dalam ibadah kurban, Allah SWT tidak membutuhkan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Melalui ibadah kurban, sejatinya Allah SWT ingin menguji kesempurnaan iman  dari diri setiap muslim atas apa yang telah diberikan-Nya berupa nikmat, kekayaan, dan jabatan. Hal tersebut kiranya sesuai dengan apa yang Allah SWT firmankan dalam QS al-Hajj ayat 37: “Daging-daging (unta, sapi, kerbau, kambing) dan darahnya itu tidak sekali-kali dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah…” (QS al-Hajj [22]: 37).


Dengan demikian bukan daging kurban yang sebenarnya mempunyai nilai di sisi Allah SWT, tetapi keimanan dan ketakwaannya yang sebenarnya mempunyai nilai besar.


Ketiga, ibadah kurban sebagai bentuk penghormatan atas kemuliaan manusia. Perintah penyembelihan Ismail yang kemudian diganti dengan sembelihan hewan mengisyaratkan kepada kita akan nilai humanisme bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi dan memuliakan jiwa manusia (QS al-Maidah [5]: 32, QS al-Isra [17]: 70).


Kaitannya dengan ibadah kurban sebagai pengganti penyembelihan Ismail,  mengisyaratkan kepada kita bahwa senyatanya jiwa Ismail itu tidak sepadan kalau hanya ditebus dengan seekor hewan kurban (kibasy), bahkan juga dengan seluruh hewan kurban yang hidup di permukaan bumi ini. Karena seekor kibasy saja tidak sepadan, maka Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada semua orang yang beriman dari dahulu hingga sekarang dan sampai hari kiamat agar menyembelih hewan sebagai kurban maupun aqiqah.


Dengan demikian, pada dasarnya syariat kurban/aqiqah sebagai bagian menebus pengorbanan dari kemuliaan Nabi Ismail.


Dan inilah kiranya Allah SWT menyebut peristiwa penggantian penyembelihan Ismail dengan kata-kata: “Dzibhin ‘Adhim”, yakni suatu penyembelihan yang amat agung di mana dasar dan tujuannya berbeda dengan penyembelihan-penyembelihan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang di luar agama Islam.


Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perintah penyembelihan ini benar-benar suatu ujian yang nyata, yang bisa dilewati dengan sukses oleh Ibrahim. Dengan ujian seperti ini, akan tampak siapa yang ikhlas dan yang tidak. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor binatang sembelihan yang besar dan gemuk. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) kesejahteraan dari Kami terlimpah atas Ibrahim dan pujian yang bagus dari manusia atasnya”. (Tafsir QS as-Saffat [37]: 106-109 dalam Kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’ani Al-Quranul Azim: Wahbah Zuhaili dkk, hal 451, Darul Fikr Damaskus, 1416 H). Waallahu’alam.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru