• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 23 April 2024

Opini

Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (II)

Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (II)
Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (II).
Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (II).

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Zakat yang Baik
Salah satu fungsi zakat adalah sebagai motor penggerak sosial ekonomi masyarakat. Fungsi ini tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan manakala zakat tidak dikelola dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, dibutuhkan managemen, pegawai yang berkarakter integrity, kredibel dan responsibility dalam mengelola zakat. Sehingga ia benar- benar menghasilkan manfaat yang melimpah terutama bagi kaum dhu’afa dan masyarakat sekitar. Karena itu, Yûsuf al-Qardhâwî mencanangkan sejumlah prinsip dalam mengelola zakat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:


1.    Harta-harta wajib zakat cakupannya diperluas


Tujuan dan manfaat dari pengelolaan zakat supaya cepat membuahkan hasil yang melimpah, diperlukan perluasan cakupan harta yang wajib zakat. Sebab itu, dalam menetapkan harta wajib zakat para petugas zakat mengacu pada pendapat mujtahid yang mewajibkan zakatdalam beberapa harta secara menyeluruh. Prinsipnya, semua harta yang tumbuh berkembang bisadijadikan sebagai sumber-sumber zakat. Misalnya merujuk pada pendapat imam Abu Hanîfah. Menurutnya, setiap tanaman yang ditanam di muka bumi dan dimaksudkan agar tumbuh berkembang wajib dikeluarkan zakatnya. Begitu juga, kuda dan semua hewan yang berkembang biak dikenakan wajib zakat. Semua jenis perhiasan wajib dikeluarkan zakat. 


2.    Memungut harta zakat yang dhahir maupun bathin


Para fuqaha’ mengklasifikasi harta yang dikenai wajib zakat pada dua macam, yaitu: harta dhahir dan harta bathin.Harta dhahir adalah harta yang dapat diketahui dan dihitung oleh orang lain, seperti buah-buahan, biji-bijian; unta, sapi, kambing dan sebagainya dari jenis hewan.


Sedangkan harta bathin adalah mata uang, harta perdagangan dan semacamnya. Para ulama’ juga mendekati kata sepakat bahwa yang berwenang dalam menghimpun dan mendistribusikan harta zakat dhahir maupun bathin adalah pemerintah atau petugas yang sudah diberi mandat.Hal ini mendasarkan pada sejumlah hadits mutawatir yang menerangkan bahwa Nabi saw pernah mengutus delegasi dan para petugas dalam mengambil harta zakat bagi yang telah memenuhi kewajiban untuk mengeluarkan zakat. Bahkan para petugas itu diperkenankan untuk memaksa mereka manakala enggan menunaikannya. 


3.    Administrasi yang baik


Salah satu kunci sukses sebuah lembaga, tak terkecuali lembaga zakat adalah administrasi yang baik. Pengeluaran, pemasukan, penditribusian dan semacamnya dapat diketahui di ranah ini. Untuk itu, sebagus apapun sebuah lembaga tanpa diisi oleh petugas yang integrity, kredibel dan responsibility tidak dapat diharapkan bisa berkembang maju. Karenanya, menurut Yûsuf al- Qardhâwî ada dua unsur penting dalam mengelola administrasi zakat, yaitu:


a.    Merekrut petugas yang berkompeten, jujur dan amanah.


Petugas yang berkompeten, jujur dan amanah sangat menentukan untuk memperoleh hasil yang baik dalam pengelolaan zakat.Karena pekerjaan ini sangat rentan menggelincirkan bilamana dipegang oleh orang yang tidak memiliki sifat semacam itu.Selain itu, petugas zakat juga diharuskan memiliki sifat adil. Tidak condong, lebih memihak pada yang disenangi, tidak sewenang-wenang pada yang tidak disukai. Tujuannya bukan untuk memihak pada yang berharta dan tidak pula semata menyenangkan fakir miskin, melainkan hanya mengharap ridha Allah swt. Disamping itu, petugas zakat mesti berkarakter sifat ‘iffah (menjauhkan diri dari segala hal yang tidak halal dan tidak baik). Dalam pengertian, tidak tergiur dengan tumpukan harta zakat karena itu haknya fakir miskin dan para mustahiq serta ia hanya berhak atas upah dari pekerjaannya saja. 


Karena urgensnya peran petugas zakat, Abu Yûsuf menasehati Hârûn al-Rasyîd selaku amîrulmukminîn untuk bersungguh-sungguh dalam menyeleksi petugas zakat. Abu Yûsuf mengingatkan, Hai amîrulmukminîn perintahkanuntuk memilik petugas zakat yang berkarakter amanah, ‘afif, tulus, dan bertanggungjawab padamu dan rakyatmu. Lebihlanjut ia menasehatinya, perintahkan pada para petugas zakat untuk mengambil zakat dan memberikannya pada yang berhak.35


b.    Memperhatikan kemudahan dan ekonomis dalam dana pengelolaanadministratif.


Administrasi yang diberlakukan di lembaga zakat seoptimal mungkin dapat membuka ruang kemudahan bagi para muzakki dan mustahiq. Persyaratan yang tidak membuat ribet dan jelimet bagi mereka. Dan juga, seminimal mungkin pengeluaran ujrah/gaji bagi para petugas. Untuk itu, ada dua cara dalam mewujudkan hal itu, yaitu: pertama, mengangkat petugas setempat. Dalam rangka menekan pengeluaran biaya zakat sebaiknya petugas pemungut zakat diangkat dari penduduk desa atau daerah dimana zakat dikumpulkan. Sehingga ia menerima diberi gaji sekalipun sedikitkarena biaya transport yang dikeluarkannya juga tidak seberapa. Dalam hal ini, bisa meminta bantuan pada petugas setempat, seperti guru, penulis dan sebagainya untukterlibat menjadi pengurus zakat. Di luar tugas profesinya, mereka masih ada waktu senggang untuk bekerja di lembaga zakat. Kedua, menerima petugas sukarela. Orang yang bekerja tulus ikhlas untuk menolong sesama, menjalan syari’at islam dan hanya mengharap ridha Allah swt. Hal ini sangat membantu dalam meminimalisir pengeluaran biaya zakat.


Diantara hal kemudahan dalam pengelolaan zakat adalah mengambil nilai/uang sebagai ganti dari harta zakat. Dalam konteks ini, ulama’ fiqh berselisih pendapat. Ada yang melarang dalam memungut harta zakat berbentuk uang, inilah pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Dhahiriyah. Sebaliknya, ulama’ Hanafiyahmembolehkan hal itu. Sementara ulama’ Malikiyah dan Hanabilah terdapat beberapa pendapat dan riwayat. 


4.    Pendistribusian/pembagian harta zakat secara baik


Prinsip ini penting diperhatikan supaya penditribusian zakat tepat sasaran, fakir miskinmesti diutamakan karena mereka yang berada dalam sebutan pertama dalam al-qur’an dan sunnah.


Mereka yang lebih membutuhkan daripada mustahiq lainnya. Cara penditribusiannya; para mustahiq zakat yang berdomisili di suatu desa atau wilayah dimana harta zakat dipungut, merekalah yang paling berhak untuk menerima. Setelah mereka secara keseluruhan mendapatkannya, barulah dapat dialihkan pada para mustahiq yang bertempat di desa atau wilayah terdekat.Dan bila masih tersisa kelebihan harta zakat untuk didistribusikan di suatu lembaga zakat maka bisa dipindahkan pada lembaga zakat yang berada di suatu daerah lain. Hal ini dilakukan guna membatu lembaga tersebut untuk disalurkan pada fakir miskin dan orang yang membutuhkan dari mustahiq. Strategi semacam ini yang pernah dipraktekkan baginda Nabi dan khulafâ` al-râsyidîn. Diterangkan dalam hadits shahih bahwa Nabi saw pernah mengutus Mu’adz ke Yaman dalam tujuan memungut zakat dari orang kaya dan memberikannya kepada golongan faqir di antara mereka. 


Selain itu, pendistribusian zakat harus dilakukan secara adil diantara para mustahiq. Adil bukan berarti harus sama pembagiannya, namun adil disesuaikan dengan memperhatikan kelayakan dan kadar kebutuhannya. Dan dipastikan pendistribusian benar-benar menyentuh pada para mustahiq.


5.    Bekerja untuk menjalani ajaran islam yang sempurna


Dengan menghidupkan syari’at zakat di tengah-tengah masyarakat bisa meringankan beban hidup fakir miskin. Sehingga mereka tergugah hatinya untuk tetap berpegang teguh pada syari’at islam, sekalipun dalam  kondisi  ekonomi kurang mampu. Berkemantapan hati dalam menjalani hukum-hukum Allah swt, fardhu-farduNya dan menjauhi larangan-laranganNya. 


Penutup
Pembahasan artikel ini menyimpulkan bahwa secara umum zakat produktif belum dikupas oleh fuqaha klaik, hal ini dapat ditunjukkan dengan berbagai pendapat para fuqaha berkaitan dengan zakat saja. Namun, proses pendistribusian zakat produktif sesungguhnya telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw dan ‘Umar ibn Khattab. Zakat memberikan dampak yang luar biasa ketika pengelolaannyanya optimal yang mampu mewujudkan kesajhteraan.


Oleh karena itu Yusuf Qardawi memberikan lima prinsip dalam proses pengelolaan Zakat sehingga memberikan dampak yang lebih besar dalam proses pendistribusaianya yakni

  1. Harta-harta wajib zakat cakupannya diperluas,
  2. Memungut harta zakat yang dhahir maupun bathin,
  3. Administrasi yang baik,
  4. Pendistribusian/pembagian harta zakat secara baik,
  5. Bekerja untuk menjalani ajaran islam yang sempurna.


D​​​​​​​AFTAR PUSTAKA


 ‘Âbidîn, Ibnu.Raddu al-Mukhtâr, Juz III. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah.
2003.
al-Hanafî, Hasan Ibn ‘Ammâr ibn ‘Alî Marâqî. al-Falâf bi Imdâdi al-Fattâh.
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah. 2004.
al-Hanbalî, Ibrahîm Ibn Muhammad. al-Mubdi’ Syarh al-Muqni’, Jld II. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah. 1997.
al-Mâwardî, Muhammad. al-Hâwî al-Kabîr, Juz III. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah. 1994.
al-Mâwardî,‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb. Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyah wa al-Wilâyât al-Dîniyah. Kuwait: Maktabah Dâr Ibn Qutaibah. 1989.
al-Nawawî, Muhyuddîn ibn Syarf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz
VII. Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyah. 1929.
al-Qardhâwî, Yûsuf.Daur al-Zakât fî ‘Ilâj al-Musykilât al-Iqtishâdiyah.
Kairo: Dar al-Syuruq. 2001.
al-Qardhâwî,Yûsuf. Fiqh al-Zakât, Juz I, II. Beirut: Mu`ssasah al-Risâlah.
1973.
al-Ramlî, Syamsuddîn. Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarhi al-Minhâj, Juz VI. Ttp: Tnp. tt.
al-Syairâzî, Ibrahîm Ibn ‘Alî al-Fairûz Abâdî. al-Muhadzdzab, Juz I. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah. 1995.
al-Syarbînî,Muhammad Ibn al-Khathîb. Mughnî al-Muhtâj ilâ Ma’rifat Ma’ânî Alfâdh al-Minhâj, Juz I. Beirut: Dâr al-Ma’rifah. 1997.
http://m.antaranews.com/berita/553539/tiga-upaya-kemenag-
optimalkan-pengelolaan-zakat&ei. https://www.bps.go.id/brs/view/id1227&ei.
Khallâf, Abdulwahhâb. ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-‘Ilmi. 1978.
Qudâmah, Abdullah Ibn Ahmad Ibn. al-Mughnî, Juz IV. Riyâd: Dâr ‘Âlam al-Kutub. 1997.
Sâbiq,Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz I. Kairo: al-Fath li al-I’lâm al-‘Arabi. tt.


Dede Rofiq, Sekretaris RMI PWNU Jawa Barat 
 


Opini Terbaru