• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (I)

Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan (I)
Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan
Prinsip Pengelolaan Zakat Produktif untuk Pengentasan Kemiskinan

Zakat Produktif dan Pengentasan Problem Kemiskinan
Penyaluran zakat yang lumrah terjadi di tengah masyarakat yang diberikan kepada para mustahiq bersifat konsumtif, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hal ini dilakukan agar mereka dapat segera menggunakannya dalam berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, cara semacam ini kurang efektif dalam mengatasi problem kemiskinan yang mereka hadapi. Sebab sesudah pemberian harta zakat habis, mereka kembali hidup susah, morat-marit berhutang guna memenuhi kebutuhan hidupnya.


Oleh karena itu, cara efektif dalam mengentaskan problem kemiskinan yang melilit hidup mereka melalui pengelolaan zakat produktif sehingga bisa membantu dan bahkan mengangkat perekonomiannya dalam waktu panjang. Bisa saja melalui zakat produktif mampu mengubah nasib mereka yang dahulu berposisi sebagai mustahiq terangkat menjadi mujakki.


Kendati bahasan zakat produktif secara komprehensif tidak dijumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik, tetapi bila kita merujuk pada al- sunnah maka akan mendapati keterangan yang mengarah pada pendayagunaan zakat seoptimal mungkin supaya dapat tumbuh berkembang. Pernah suatu waktu Nabi SAW memberikan harta zakat kepada Umar ibn Khatthab yang bertugas sebagai amil untuk mendayagunakannya sebagai modal usaha.


Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Nabi bersabda:


"Ambilah dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutukannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan apa-apa yang tidak berlaku semacam itu maka janganlah engkau turutkan nafsumu. (HR. Muslim)


Praktek zakat produktif sebenarnya pernah dilakukan oleh Umar ibn Khatthab.Sang revolusiner hukum islam itu kerapkali menyerahkan zakat pada fakir dan miskin bukan hanya sebatas untuk membeli sesuap nasi, melainkan ia memberikan sejumlah uang, unta dan semacamnya bagi mereka untuk dipergunakan secara produktif sehingga bisa memenuhi kebutuhan diri beserta keluarganya dalam waktu panjang. Ia mengatakanJika kamu memberi, cukupkanlah mereka.


اذا اْﻋﻄﻴﺘﻢ ﻓﺎﻏﻨﻮا


Ia pun menghimbau pada petugas yang membagi-bagi zakat pada para mustahiq seraya berkata:
Berikanlah mereka zakat secara berulang-ulang, meskipun salah seorang diantaranya telah mendapat sebanyak seratus ekor unta. 


Bila kita menelisik bab zakat dalam lembaran kitab-kitab fiqh klasik akan menemukan keterangan yang mengandung pendistribusian zakat secara produktif.Imam asy-Syairazî mengemukakan bahwa pemberian zakat kepada fakir miskin sepatutnya terlebih dahulu memperhatikan apa yang mereka butuhkan dan potensi yang dimilikinya. Tujuannya, supaya harta zakat yang diserahkan pada mereka tidak segera habis, melainkan senantiasa berkembang secara produktif dalam rentang waktu yang lama.


Bila ia mampu dalam bekerja, diberikan alat kerja, yang punya kemampuan untuk berwirausaha diulurkan bantuan modal. Besar maupun kecilnya modal usaha disesuaikan dengan kemampuan ia dalam mengelola usahanya.18Bertalian dengan hal ini, an-Nawawî (Tokoh madzhab Syâfi’î)


Imam al- Ramlî berpendapat bahwa apabila orang fakir dan miskin tidak mempunyai pekerjaan dan kurang cakap dalam berdagang, maka ia diberikan zakat yang bisamencukupi kebutuhan sisa umurnya sekedar batas usia orang semisal dengan dia yang hidup di daerahnya, karena tujuan zakat diperuntukkandalam mencukupi kebutuhannya. Sesudah itu, jika ia dianugerahi umur panjang maka diberikan pertahun.


Dalam pengertian, ia –fakir dan miskin tersebut- tidak diberikan uang atau zakat secara kontan guna menopang kebutuhannya seumur hidup, melainkan diberikan uang atau zakat untuk memenuhi kebutuhannya kemudian dikembangkan, misalnya dibelikan tanah, kebun untuk dikelola sehingga ia di kemudian hari tidak lagi membutuhkan uluran zakat, dan bahkan mengalami peningkatan ekonomi yang membuatnya menjadi muzakki. Ketentuan tersebut bagi mustahik yang belum memiliki pekerjaan atau mata pencaharian.


Namun, bagi mereka yang sudah memiliki pekerjaan yang pantas dan mencukupinya, maka diberikan zakat untuk dibelikan alat kebutuhan pekerjaannya agar bisa lebih berkembang dan meningkat penghasilannya. Begitu juga, bagi yang punya kredibelitas dalam berbisnis maka dimodali dari harta zakat sehingga membuahkan laba yang banyak. Demikian halnya, kalangan mazdhab Hanabilah membolehkan bagi mereka untuk mengambil bagian zakat yang dapat memenuhi kebutuhannya sepanjang hidupnya, dengan diberikan modal dagang, alat pekerjaan dan sebagainya.


Setali tiga mata uang dengan keterangan sebelumnya, Yûsuf al- Qardhâwî memberikan solusi dalam pendayagunaan zakat agar membuahkan manfaat yang lebih besar yang terus mengalir pada para mustahiq, terutama orang fakir dan miskin. Menurutnya, diperbolehkan oleh syara’ dalam membangun pabrik-pabrik atau perusahaan- perusahaan dari himpunan uang zakat untuk dikelola kemudian kepemilikan dan laba yang dihasilkan diperuntukkan secara utuh maupun sebagiannya bagi kepentingan mereka, sehingga biaya hidupnya akan tercukupi dengan sempurna. 


Namun, perlu digarisbawahi bahwa harta-harta zakat yang sudah terhimpun untuk dikelola secara produktif tidak boleh serta merta dilakukan oleh petugas zakat dan pemerintah, kecuali terlebih dahulu mendapat persetujuan dari para mustahiq atau diberi kuasa atas pengelolaan zakat itu untuk kemashlahatan mereka. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab, al-Syairazî mengatakan:


Petugas dan pemerintah tidak dibolehkan dalam mengelola harta yang dihimpun dari zakat sehingga diserahkan pada yang berhak menerimanya, karena fuqara’ punya kecapakan terhadap hartanya dan tidak bisa dikuasakan pada orang lain. Sebab itu, harta mereka tidak dapat dikelola, kecuali memperoleh persetujuan darinya. Jika petugas atau pemerintah mengambil separuh atau ditangguhkan zakatnya kemudian dikhawatirkan rusak maupun takut dijarah orang lain, maka diperbolehkan untuk menjualnya karena alasan darurat. (Bersambung).


Dede Rofiq, Sekretaris RMI PWNU Jawa Barat


Opini Terbaru