• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Kesadaran Multikulturalisme Cegah Fanatisme Agama dan Politik Identitas

Kesadaran Multikulturalisme Cegah Fanatisme Agama dan Politik Identitas
Ilustrasi/intagram @ruang.hikmah
Ilustrasi/intagram @ruang.hikmah

Oleh Sandy Rezkia

Istilah fanatisme beragama dan politik identitas kembali lagi menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Istilah-istilah tersebut kerapkali muncul terutama dalam kontestasi di kancah politik mulai dari lingkup daerah hingga nasional. Keduanya seolah menjadi alat tercapainya keinginan masing-masing individu maupun kelompok. 


Denny Sanusi selaku Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) pernah menyatakan bahwa hal tersebut layaknya pisau tajam yang bila salah penggunaan akan menyebabkan hal yang menakutkan dan membahayakan.

 

Fanatisme beragama cenderung mengarah kepada sebuah konsekuensi individu maupun kelompok yang percaya pada suatu agama bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Karenanya, fanatisme beragama seseorang tidak akan mencampurkan kebenaran agamanya dengan agama lain. 

 

Namun ada yang janggal, seringkali fanatisme beragama ini cenderung bersifat negatif karena individu beragama biasanya memiliki suatu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu pandangan atau suatu sebab. 

 

Sikap seperti ini ditunjukan untuk menghina dalam hal tertentu. Fanatisme beragama negatif merupakan individu atau kelompok yang memiliki keyakinan atau pemahaman terhadap sesuatu secara berlebihan dan mereka akan tetap pada pendiriannya. 

 

Hal semacam ini tentu memungkinkan mengikis dan memecah belahkan umat, karena umat yang beragama sebenarnya harus menciptakan toleransi, baik pada kelompoknya sendiri maupun umat yang memiliki agama selain agamanya, hanya saja sifat fanatisme yang justru membuat dan menciptakan persatuan ini menjadi terpecah.

 

Begitu juga dengan politik identitas, tak jarang beberapa kelompok menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai misinya. Karena agama dipandang sebagai sumber nilai yang berbicara baik dan buruk, benar dan salah.

 

Dalam perspektif islam terdapat dua sumber nilai, yaitu tuhan dan manusia atau kita sebut dengan istilah hubungan kepada Tuhan (Hablun min Allah) dan hubungan sesama manusia (Hablun min An Nas). Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Sedangkan nilai yang dari manusia beragam versi bisa diterjemahkan, kadang yang salah jadi benar atau sebaliknya. 

 

Lantas apa yang menjadi masalah besar dari hal kompleks tersebut? 

 

Disadari ataupun tidak setiap individu maupun kelompok selalu berkutat pada kepentingan yang beragam. Itu sebabnya dinamika konflik terus berkembang, masing-masing individu maupun kelompok berjibaku dengan kepentingan bukan pada kebutuhan. 

 

Sesuatu yang kita butuhkan seharusnya lebih menjadi prioritas seperti makan (kebutuhan) terlepas makanan apa yang akan kita lahap (kepentingan). Kita sering lupa bahwa menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang mewarisi banyak kearifan dan kecerdasan dalam mengelola keragaman. Disinilah pemahaman multikulturalisme dibutuhkan. 

 

Kesadaran dalam keragaman perlu ditanam sehingga corak pandang beragama lebih inklusif bukan ekslusif. Maka konsep multikulturalisme akan mengantarkan toleransi beragama yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan melahirkan sikap inklusif umat beragama. 

 

Dengan demikian lambat laun akan lahir sikap yang menganggap pemahaman yang kita yakini adalah benar tetapi masih memberikan ruang untuk menyatakan kebenaran atas pemahaman lain yang diyakini oleh setiap individu  maupun kelompok. Sikap ini akan mampu menurunkan sikap ekstrimis dan ekslusif, yang biasanya melahirkan paham fanatik dan radikalisme terhadap individu maupun kelompok yang berbeda paham.

 

Bagi individu maupun kelompok yang memaknai betul multikulturalisme, tak ada lagi prejudice dan stereotip negatif pada orang lain. Kesadaran mengelola keragaman melahirkan sikap menghargai dan menghormati perbedaan. 

 

Maka perlu kiranya kesadaran multikulturalisme dibangun agar mampu memberi kesempatan kepada masing-masing umat beragama apalagi individu maupun kelompok sesama agama. untuk menjalankan ajaran atau pemahaman agamanya serta saling memaafkan, dan lebih bersabar dalam menerima perbedaan. Sehingga tak ada lagi fanatisme agama dan politik identitas.

 

Penulis adalah Santri PP Riyadussalikin sekaligus Kader IPNU Pangandaran.


Opini Terbaru