• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Opini

Pancasila Sebagai Jalan (Siger) Tengah

Pancasila Sebagai Jalan (Siger) Tengah
Dialog Kebangsaan PWNU Jawa Barat dengan BPIP. (Foto: Bagus Arya).
Dialog Kebangsaan PWNU Jawa Barat dengan BPIP. (Foto: Bagus Arya).

Oleh: Rudi Sirojudin Abas
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat menggelar dialog kebangsaan bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sabtu (18/12/2021) dengan tema “Peran NU dalam Mengarustamakan Pancasila”. Bertindak sebagai pembicara utama adalah Kepala BPIP Yudian Wahyudi.

 

Menarik apa yang disampaikan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, bahwa kiai adalah simbol kepahlawanan, karena memperjuangkan agama dan negara. Menurutnya, para kiai sangat berperan dalam menggelorakan nasionalisme sehingga mampu menyatukan seluruh umat muslim dalam melawan penjajah.

 

“Walau pada zaman penjajahan umat Islam itu kalah secara politik, namun secara akidah justru menang. Islam menjadi agama terbesar di Indonesia. Indonesia yang dijajah lebih dari 434 tahun yang terdiri dari kerajaan/penguasa lokal menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak menyerahkan konsekuensi kekuasaannya kepada negara yang terbentuk, kecuali di Indonesia” (NU Jabar Online, 18/12).

 

Sebagaimana diketahui, dasar dan ideologi negara Indonesia adalah Pancasila. Semua aktivitas masyarakat Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sementara dalam Islam, sumber utama, norma, serta pijakan masyarakat Islam Indonesia dalam mengatur kehidupan keberagamaannya adalah Al-Qur’an.
Pancasila dan agama (Islam) telah menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan.

 

Mohammad Natsir dalam ceramah Apakah Pancasila Bertentangan Dengan Ajaran Al-Qur’an? menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar hidup umat Islam dan induk dari lima sila dalam Pancasila yang memberi nilai-nilai hidup yang menghidupkan. Nilai-nilai Pancasila senapas dengan Al-Qur’an disebabkan Al-Qur’an membawakan tauhid kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan induk dari sila-sila dalam Pancasila.

 

Siger Tengah 
Penulis ingin melihat permasalahan etika sosial kenegaraan di atas dari ajaran Sunda yang semestinya menjadi pijakan kita dalam menjalani kehidupan berbangsa dan beragama. Etika sosial itu adalah kearifan lokal Siger Tengah (Jalan Tengah). Hakikatnya, ajaran Siger Tengah adalah perilaku sosial masyarakat yang berasal dari identitas bangsa Indonesia secara keseluruhan yang bercirikan cinta damai, toleran, dan moderat.

 

Semakin dekat kepada ajaran Siger Tengah, maka kehidupan akan semakin beradab dan terarah. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk diharmoniskan. Namun sebaliknya, jika perbedaan dipertentangkan, maka yang terjadi adalah disharmoni. Dan yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya potensi konflik. Jika potensi konflik dibiarkan maka akan menimbulkan kelemahan dari salah satu atau dari kedua-duanya.

 

Jakob Sumardjo dalam Struktur Filosofis Artefak Sunda (2019) menyebutkan Siger Tengah merupakan inti dari kearifan lokal Sunda. Pemikiran Siger Tengah bersifat moderat. Pemikiran moderat memperlakukan segala sifat atau kualitas segala sesuatu yang saling bertentangan sebagai keberadaan yang saling mengeksistensi, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan.

 

Kesempurnaan adalah mengharmonikan segala sesuatu yang bersifat kontradiktif dalam suatu entitas (keberadaan) baru yang mengandung sifat-sifat yang saling bertentangan itu yang dengan sendirinya bersifat paradoks. Paradoks disini harus diartikan positif, yakni saling melengkapi kekurangan masing-masing oleh kelebihan masing-masing.

 

Siger Tengah adalah jalan perdamaian, harmoni, terbuka, toleran, saling membenarkan, menyadari kodrat perbedaan, hidup saling mengasihi (silih asih), saling mengingatkan (silih asah), dan saling melindungi atau memelihara perbedaan masing-masing (silih asuh).
Kaitannya dengan permasalahan Pancasila dan Agama, yang mesti diketahui adalah perjalanan historis bangsa Indonesia sehingga kini menjadi bangsa yang berdaulat dengan keberagaman etnis, bahasa, budaya, maupun agama. 

 

Sebelum berdaulat,kerberagaman etnis, bahasa, budaya, dan agama lokal (primordial) menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Sementara agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, dan agama besar lainnya baru datang kemudian.

 

Sebelumnya, bangsa Indonesia mempunyai agama lokal masing-masing seperti animisme dan dinamisme (bisa dikategorikan al shabi’in). Di sinilah karakter Siger Tengah masyarakat Indonesia muncul yang mengakibatkan agama baru (Islam, Hindu, Budha, Kristen, Kong Hu Cu, dlsb) diterima dengan baik sesuai dengan pilihan masing-masing meskipun agama lokal seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Aliran Kebatinan, dan kepercayaan yang lainnya masih berkembang.
Sementara Pancasila telah menjadi sebuah kesepakatan (konsensus) sebagai pijakan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pancasila dapat diterima dengan baik oleh para pendiri bangsa disaat mereka merumuskan ideologi negara pada tahun 1945.

 

Meskipun saat itu masih ada teks normatif agama tertentu (Islam) dalam sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya yang kemudian diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi momen penting dalam usaha menjalin rasa persatuan satu bangsa dan negara tanpa mempertentangkan Pancasila dan Agama.

 

Pancasila sebagai produk ideologi bangsa Indonesia sebagai wadah untuk mengikat keberagaman perbedaan menjadi satu kesatuan perlu dijaga dan dipelihara. Nilai-nilai esensial agama pun sejatinya telah terkandung dalam keseluruhan butir-butir Pancasila. Oleh karena itu, maka tidak berlebihan jika penulis berpendapat bahwa Pancasila merupakan jalan (siger) tengah yang dijadikan asas bernegara dalam mengakomodir setiap perbedaan-perbedaan dengan tujuan utamanya yaitu menciptakan keselarasan (harmoni) hidup berbangsa, bernegara, dan beragama.

 

Dalam praktik sosial keberagamaan, pada masyarakat Sunda (umumnya pada masyarakat Indonesia primordial) telah memiliki hukum adat tersendiri. Masyarakat Sunda mengenal tiga kesatuan hukum, yakni kesatuan buhun (adat Sunda), nagara (pemerintahan nasional), dan sarak/syariat (Islam). Tiga kesatuan Sunda-Nagara-Islam asal muasalnya dua entitas, yakni Sunda (lama) dan Islam (baru). Keduanya dapat harmoni dalam satu kesatuan yaitu melalui mediasi Nagara. Jadi Nagara (negara) atau pemerintahan di sini adalah Siger Tengah yang dimaksud. Maka peran pemerintah akan menjadi sangat sentral keberadaannya sebagai penyeimbang (penengah) dua entitas yang berbeda, yakni adat dan agama.

 

Dengan demikian,jika dibawa pada konteks keindonesiaan, negara sendiri itu adalah Pancasila sehingga Pancasila sendiri adalah sebagai Siger Tengah.

 

Siger Tengah dalam konteks beragama senada dengan kaidah ushul fikih “al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah” (melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik). Jika merujuk pada penjelasan tersebut, maka yang lama adalah Adat. Yang baru adalah Agama. Sementara Siger Tengahnya  adalah Pancasila. 

 

Mengutip pendapat Bung Karno tentang Pancasila, maka Siger Tengah dalam konteks kenegaraan senapas dengan pidatonya pada 1 Juni 1945 bahwa lima sila dalam Pancasila bisa dipadatkan menjadi tiga (trisila). Dan yang tiga itu itu bisa dirampingkan menjadi satu (ekasila). Dengan demikian ekasila sendiri yaitu Pancasila sebagai Siger Tengah itu sendiri.

 

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru