• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Palestina yang Damai di Era Islam

Palestina yang Damai di Era Islam
Palestina (Ilustrasi: freepik)
Palestina (Ilustrasi: freepik)


Ciri khas Islam semasa memerintah tanah Palestina adalah kedamaian, harmoni, dan toleransi di antara umat beragam. Umat Yahudi, umat Kristiani, dan Umat Muslim menjalani kebebasan beragama, tanpa diskriminasi.


Al-'Ahdah Al-'Umariyah (Perjanjian Umar) adalah tugu revolusi keberagaman. Khalifah Umar dan Abu Ubaidah al-Jarrah mengubah Palestina dari wilayah konflik menjadi wilayah damai. Kehormatan sebagai manusia, harta benda dan agama dijaga penuh (Steven Runciman, 1951:2-4).


Tidak saja itu, setelah era Khalafaurrasyidin berakhir, dengan turunnya Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra dan naiknya Muawiyah bin Abi Sufyan ke tampuk kekhalifahan, Yarussalem kembali dijadikan simbol kesucian. Penobatan Muawiyah sebagai Khalifah dilakukan di Yarussalem. Kemudian didirikanlah Masjid Kubah Batu di sana (Moshe Gil, 1997:329).


Kecintaan umat muslim kepada Palestina melampaui penguasa-penguasa Romawi, Sasaniyah, atau lainnya sebelum Islam. Hal itu salah satunya terlihat pada kebijakan Daulah Abbasiyah, yang menggantikan kekuasaan Daulah Umayah pada tahun 750 M. 


Sejak 750 M sampai berabad-abad berikutnya, Kota Ramalla dijadikan sebagai pusat administrasi Daulah Abbasiyah. Tidak saja itu, wilayah Tiberias berubah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak intelektual muslim lahir dari wilayah Tiberias ini (Daniel W. Brown, 2011:122).


Sejak 878 M., Daulah Abbasiyah memang tidak lagi memerintah Palestina. Karena Daulah Fatimiyah di Mesir bangkit menjadi kekuatan independen. Namun begitu, nasib Palestina jauh lebih baik di bawah kekuasaan Daulah Fatimiyah Mesir, karena hampir satu abad lamanya Palestina dijadikan kota semi independen (Moshe Gil, 1997:307-308).


Umat Islam betul-betul menghargai kesucian Yarussalem, Palestina, melebihi umat-umat beragama Abrahamik lainnya. Kedamaian, harmoni, dan toleransi beragama berlangsung sejak Khalafaurrasyidin sampai Daula-daulah berikutnya.


Tentara Salib Merusak Segalanya

Kehidupan damai yang diciptakan oleh umat Islam dirusak oleh orang-orang Kristen Eropa. Mereka adalah Tentara Salib, yang berhasil merebut Palestina dari Daulah Fatimiyah Mesir pada tahun 1099 M.


Daulah Fatimiyah sendiri memang terus melemah, karena perseteruannya dengan Abbasiyah di Baghdad dan Kekaisaran Saljuk Agung tahun 1073. Dalam kondisi Fatimiyah yang melemah ini, Tentara Salib mengambil keuntungan dengan merebut Palestina.


Tentara Salib menghidupkan kembali fanatisme agama yang berbasis Kristen Katolik. Di sanalah mereka mendirikan Kerajaan Yarussalem (Royoume de Yerussalem) pada tahun 1099. Sejak Kerajaan Yarussalem Katolik berdiri, masa lalu yang kelam terulang kembali.


Bukan hanya umat Muslim dan Yahudi Palestina, tetapi umat Kristen Ortodoks yang tinggal di Palestina juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orang-orang Katolik. Selain Umat Katolik, Yahudi, Muslim dan Ortodoks menjadi masyarakat kelas dua.


Satu abad diskriminasi terjadi di Palestina, sampai datang pejuang muslim yang tangguh, yaitu Salahuddin Al-Ayyubi, yang memimpin Pertempuran Hittin pada tahun 1187. Sejak itulah, Palestina kembali dipimpin oleh umat Muslim dan kedamaian kembali hidup. Palestina kembali damai di era Ayyubiah.


Palestina di Bawah Turki Utsmani
Setelah Ayyubiah berakhir, penguasa Muslim berikutnya atas Palestina adalah Mamluk. Namun, pada 1486, pecah konflik antara Mamluk dan Turki Utsmani. Sejak itulah, pada 1516, Turki Utsmani menjadi pengusaha tunggal Palestina.


Sebagaimana era awal Islam, pemerintah Turki Utsmani memberikan dampak besar yang positif terhadap Palestina. Kemakmuran ekonomi dan harmoni sosial berlangsung selama berabad-abad. Pelabuhan-pelabuhan, masjid, gereja, sekolah, pasar, istana, kantor administrasi didirikanlah di kota-kota seperti Yarussalem, Akka, Jaffa, Nablus, Jenin, dan Betlehem (Zuhaer Abdel Latif Ghanayem, 2001).


Kedamaian Palestina kembali terusik ketika Napoleon Bonaparte pada tahun 1799 berkampanye menaklukkan Mesir. Salah satunya tentara Napoleon berhenti di Tiberias dan Nazareth (Ali Hammoud, 2020). Eropa yang Katolik berusaha mengambil alih tanah Palestina dari umat muslim.


Walaupun Napoleon Bonaparte gagal menguasai sepenuhnya tanah Palestina, Inggris datang menggantikan Itali. Melalui Deklarasi Balfour tahun 1918, Inggris berkomitmen membangun kekuatan politik berbasis ras Yahudi di Palestina. Sampai tahun 1920, banyak kota Palestina jatuh ke Inggris dan migrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina terus berlanjut hingga tahun 1948, dan negara Israel berdiri.


Sejak bangsa Eropa masuk ke Palestina, maka tidak ada lagi kedamaian. Tidak ada lagi kesucian Yarussalem. Hal itu tidak saja terjadi sejak Perang Salib sampai Kolonialisme Inggris dan Amerika, tetapi sejak Romawi dan Sasaniyah Persi menguasai Palestina.

KH Imam Jazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, Jawa Barat.​​​​​​​


Opini Terbaru