Opini

Menyola Kenaikan UMP Tahun 2025

Senin, 9 Desember 2024 | 10:00 WIB

Menyola Kenaikan UMP Tahun 2025

Kenaikan UMP 2025. (Ilustrasi: freepik.com).

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) secara resmi telah mengeluarkan kebijakan tentang kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025, yakni sebesar 6,5% dari UMP tahun 2024 . Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024.


Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 memuat aturan soal ketetapan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan upah minimum sektoral untuk tahun 2025.  Dalam keterangannya, pemerintah menjelaskan bahwa Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 merupakan salah satu upaya untuk menjaga daya beli pekerja/buruh dan daya saing usaha, sekaligus mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu lainnya.


Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 juga menyebutkan bahwa kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) adalah sebesar 6,5% dari UMK tahun 2024.  Sementara Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) harus lebih tinggi dari nilai UMP, dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) harus lebih tinggi dari nilai upah minimum kabupaten/kota.


Kenaikan UMP sebesar 6,5% tersebut mendapat penolakan dari beragam kalangan, baik kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan berbagai asosiasi pengusaha lainnya. Hal yang sama juga dari kalangan buruh atau pekerja. Sebut saja KSPSI yang dengan tegas menolak kenaikan UMP sebesar 6,5% tersebut.


Mereka yang melakukan penolakan memiliki argumentasi masing-masing, mulai dari kondisi perekonomian yang belum memiliki kepastian, daya beli masyarakat yang menurun, inflasi, deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, bahkan menurut kalangan buruh atau pekerja, seharunya kenaikan UMP minimal 13% bukan 6,5%.


Terlepas dari penolakan-penolakan tersebut, diskursus mengenai upah senantiasa mewarnai diskusi-diskusi publik menjelang kenaikan UMP setiap tahunnya. Lebih tepatnya akan terus terjadi menjelang 2 bulan pergantian tahun. Pasalnya melalui skema UMP, UMK dan UMKS, memang mengamanatkan kepada pemerintah untuk meninjau upah buruh/pekerja setiap tahunnya.


Sistem pengupahan di Indonesia selama ini memang belum mampu mendorong sistem produktifitas dan menciptakan ekonomi usaha yang berkelanjutan. Bahkan cenderung mendorong terjadinya benturan antara pengusaha dengan buruh setiap tahun menjelang kenaikan UMP. 


Sebab setiap kali terjadi kenaikan upah selalu diikuti dengan kenaikan harga komuditas barang dan jasa (inflasi). Akibatnya daya beli buruh juga tidak mengalami peningkatan karena kaikan upah tidak dibarenggi dengan kenaikan nilai uangnya.


Sistem pengupahan yang demikian juga cenderung tidak adil dan hanya menguntungkan perusahaan besar khususnya multinasional company dan cenderung merugikan perusahaan kecil. Pasalnya sistem pengupahan yang ada tidak mempertimbangkan skala kegiatan ekonomi perusahaan, kemampuan usaha, lokasi usaha, termasuk kinerja perusahaan dari sisi kinerja keuangannya yang lazim disebut dengan financial steatment. Akibatnya kewajiban untuk membayar upah dalam semua level usaha adalah sama, baik itu perusahaan besar - baca multinasional company - dengan UMKM, besaran upah yang harus dibayarnya adalah sama.


Akibatnya akan terjadi distorsi ekonomi dan produktifitas. Distorsi ekonomi akan ditandai dengan ukuran kenaikan biaya produksi akibat kenaikan upah apakah sebanding dengan tingkat kenaikan produktifitas dan keuntungan atau tidak. Jika tidak maka perusahaan akan cenderung untuk merekrut tenaga kerja baru dengan beragam skema untuk menghindari terjadinya kenaikan biaya akibat kenaikan upah. Hal ini sangat mungkin dilakukan, pasalnya dalam mekanisme pasar tenaga kerja yang ada saat ini, sisi suplay tenaga kerja jauh lebih besar dibandingkan dengan sisi demand-nya.


Distorsi produktifitas ditandai dengan tidak adanya perbedaan upah antara tenaga kerja berbasis skill, rajin dan disiplin dengan tenaga kerja un-skill, malas dan tidak disiplin. Akibatnya rajin tidak rajin, disiplin dan tidak disiplin tidak akan mempengaruhi besaran upah yang diterimanya. Dampaknya adalah rendahnya rasa ownership buruh terjadap pekerjaan dan perusahaan tempatnya mencari nafkah.


Dengan demikian, idealnya pemerintah harus berani menerapkan prinsip upah sebagai jaring pengaman, dengan memperluas cakupan dan makna upah sebagai jaring pengaman. Bukan hanya bagi buruh, tetapi juga bagi perusahaan kecil dan UMKM. 


Selama ini konsep upah sebagai jaring pengaman semata-mata dilihat dari aspek untuk melindunggi buruh agar upah tidak terus merosot akibat ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, serta melindunggi upah buruh pada level paling bawah agar tidak terus jatuh akibat rendahnya posisi tawar dalam sistem pasar tenaga kerja.


Dimensi ini diperluas dengan juga mencantumkan dimensi perlindungan perusahaan dalam skala kecil, yang antara lain bisa dilakukan dengan skema insentif atau subsidi. Hal ini bisa diberikan dengan memberikan subsidi kepada buruh/pekerja yang bekerja pada perusahaan/industri kecil dari sisi skala ekonominya. Misalnya subsidi untuk kompensasi kenaikan harga komoditi akibat kenaikan upah. Sehingga penetapan upah harus dibedakan berdasarkan pada skala ekonomi perusahaan dan financial steatment-nya.


Skema ini bisa dilakukan dengan membuat sistem pengupahan dalam dua sistem. Yakni (1) Upah Minimum (UM) sebagai konsep jaring pengaman yang diberlakukan bagi semua perusahaan dari mulai perusahaan besar (multinasional company) sampai dengan perusahaan kecil dan UMKM. (2) Upah Hidup Layak (UHL) yang dikenakan hanya kepada perusahaan-perusahaan besar dengan kemampuan skala ekonomi perusahaan yang besar. Adapun para buruh/pekerja yang bekerja pada perusahaan kecil dan UMKM hanya dikenakan UM saja, dan selisih untuk standar hidup layak diberikan oleh pemerintah melalui skema subsidi.


Melalui skema yang demikian, maka upah akan berperan sebagai salah satu stimulus untuk menciptakan usaha berkelanjutan, serta menjamin tetap terjaganya derajat hidup layak bagi buruh, dimanapun dia bekerja. Jika hal yang demikian belum bisa dilakukan, dalam sistem pasar tenaga kerja yang terus berkompetisi secara ketat, distorsi ekonomi dan distorsi produktifitas sebagaimana yang dijelaskan tersebut diatas akan terus terjadi. Dimana ujungnya adalah perilaku kanibal antar perusahaan maupun perilaku kanibal antar buruh untuk dapat bertahan dalam sistem pasar bebas yang sangat kompetitif dan pasar bebas tenaga kerja.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Dosen Ekonomi Dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor