• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Makna Idul Fitri

Makna Idul Fitri
Ilustrasi: NUO
Ilustrasi: NUO

Saya kira Idul Fitri  memang bukanlah terminal atau tempat khusus untuk meminta maaf. Meminta maaf  bisa dilakukan setiap saat, (terutama setelah berbuat kesalahan dan melakukan kekeliruan) dan dimana saja. Kapan saja kita bisa melakukannya dan itu adalah sangat baik. 


Tetapi ini adalah  moment spesial dan sangat baik, karena nuansa dan suasananya. Dalam ramadlan, yang baru kita lalui, kita mengalami puasa (sepanjang hari menahan lapar dan dahaga, sampai tenggorokan terasa pahit, bibir kering; berupaya menjaga pandangan, tutur kata dan tingkahlaku; tidak bercampur dengan pasangan; dan ada moment-moment tertentu seperti menunggu saat-saat berbuka, sahur dan imsak, yg khas) dengan segenap peribadatan yang menyertainya dan pada akhir membayar zakat fitrah, selama kurang lebih sebulan. 


Saya kira itu semua secara langsung mengajarkan kepada kita tentang kejujuran (minimal pada diri sendiri), kesabaran yg dinamis, kontrol diri, agar tidak mudah terjebak dalam hawa nafsu dan keserakahan, menguatkan empati dan mempertajam kepekaan (yang mungkin sudah tumpul karena tekanan kehidupan yg berjalan beringinan dengan mimpi-mimpi menggiurkan yang berseliweran dihadapan kita, yang setiap saat ditawarkan kepada kita, dimanapun kita berada, yang membuat kita , sengaja atau tidak, sadar atau tidak, telah  mencederai  dan melecekan  kemanusiaan; tidak hanya pada orang lain, terutama yang dilemahkan dan dipinggirkan, tetapi juga kepada diri sendiri). 


Seharusnya setelah melalui proses puasa ramadlan, membuat dada kita lebih lapang, membuat kita lebih bisa membuka diri untuk meminta maaf dan memberi maaf. Jika itu terjadi itu, jika kemampuan mengontrol diri dan kepekaan meningkat. Jika kita mampu menekan egoisme dan nafsu menyertainya, maka itu adalah keberuntungan atau kemenangan. Artinya kita beruntung menangkap hikmah ramadlan, dan mendapatkan Rahmat Allah SWT. 


Maka kita patutlah merayakannya. Saya kira itu makna ucapan 'ij al na minal 'aidin wal faidzin", atau "ja 'alanaa wa iyyakum minal 'aidinanwal faidzin", atau disingkat "minal 'aidin wal faidzin" (jadikanlah kami ya Allah, bagian dari orang2 yang berlebaran atau yang merayakan Idul Fitri dan meraih keberuntungan).


Saya kira kita menyebut ramadlan sebagai bulan suci atau bulan mulia (ramadlan karim) karena di dalamnya  kita menemui sebuah suasana khas yang menempa kita dan itu mengembalikan kwalitas kita sebagai makhluk yang dipersiapkan  sebagai khalifah yang diberi mandat untuk menegakkan relasi yang adil dengan sesama manusia dan menjaga keseimbangan alam. 


Saya kira  hasilnya itu  bisa kita lihat. Yakni, jika kita kemudian lebih ramah kepada diri sendiri dan keluarga, dengan pasangan, lebih ramah kepada sesama, tidak mudah curiga, lebih tenang (tidak mudah terprovokasi), lebih punya empati, lebih peka (terhadap nasib saudara-saudara kita, terutama yang tidak beruntung, terpinggirkan dan berada di lapis bawah), lebih perduli kepada dan aktif mengambil bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam, menjaga ekosistem bumi. 


Karena baru saja keluar dari suatu suasana yang khas itu (yg tidak kita jumpai di luar Ramadlan), tempat khusus yang penuh berkah itu, maka perkenan saya mengucapkan "Selamat merayakan Idul Fitri,  minal 'aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin". "Taqaballahu minna wa minkum". Semoga kita semua sehat dan berbahagia.


KH Helmi Ali, Penulis adalah aktivis senior, pengawas perhimpunan Rahima.


Opini Terbaru