Abdullah Alawi
Penulis
Ketika waktu memasuki pecat sawed, pada awal Agustus 2018, tanpa diundang saya datang ke Pondok Pesantren Assalafiyah. Letaknya tak jauh dari Pondok Pesantren Al-Masthuriyah. Hanya terhalang jalan raya.
Ketika sampai di lokasi pesantren, kiai dan santri memasuki akhir pengajian. Kalimat wallahu 'alam bishawwab dan doa-doa pun didendangkan bersama. Dengan riang dan gempita. Kemudian sepi.
Lalu seseorang berpakaian putih-putih, hanya penutup kepalanya yang hitam, berjalan perlahan, sangat perlahan, dengan muka menunduk ke tanah; meninggalkan majelis.
Beberapa saat seolah hanya dia penghuni majelis itu karena yang keluar sendirian. Namun beberapa menit kemudian anak-anak muda yang berpeci dan bersarung, dan tentu saja berbaju, hanya saja tidak seragam, berhamburan keluar juga seperti kelereng tumpah dari keler. Namun tidak semuanya, ada juga yang kalem sembari mendekap kitabnya.
Seseorang yang berpakaian putih-putih dengan penutup kepala hitam itu sekarang sepertinya sudah berada di kediamannya. Beberapa meter dari majelis. Dialah Ajengan KH Ahmad Makki, kiai yang baru saja mengajar ngaji kepada santri-santrinya itu.
Saya kemudian meminta diantar seorang santri ke kediaman sang kiai. Kebahagian entah lahir dari mana karena seketika saya merasakannya saat diterima sang kiai. Mungkin karena saya pernah nyantri. Tak hanya itu, guru saya, KH Fariduddin Sholeh merupakan murid dari ayahnya, KH Abdullah Mahfud. Selain itu, KH Ahmad Makki sendiri pernah nyantri kepada KH Mahmud Mudrikah Hanafi (Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Sukabumi) yang merupakan guru dari ayah saya juga.
Dengan dua alasan itulah saya beranikan diri untuk silaturahim, yang sudah sejak lama direncanakan. Hanya meminta didoakan dan nyantri kilat. Nyantri tentang spirit dari ruang-ruang kecil yang disebut kobong. Tabarukan!
Tentang KH Ahmad Makki ini, pada catatan Kang Iip D Yahya, berjasa menerjemahkan ratusan kitab kuning ke dalam bahasa Sunda. Terjemahannya yang dicetak di pesantrennya sendiri tersebar di toko-toko kitab dari ujung Banten hingga Cirebon.
Dalam obrolan dengan saya saat itu, KH Ahmad Makki menyebutkan ada sekitar 200 kitab yang diterjemahkannya. Tak heran kemudian ia mendapatkan anugerah Rancage pada 2001.
"Kitab Alfiyah Ibnu Malik karya yang pertama diterjemahkan," katanya.
Mulanya penerjemahan kitab itu hanya untuk kalangan santrinya. Namun, kemudian diminta penerbit untuk diperbanyak. Dan ternyata laris di pasaran sehingga ia menerjemahkan kitab lain.
Karena penerbit tersebut kemudian gulung tikar, akhirnya dia membikin penerbitan sendiri yang bernama sama dengan pondok pesantrennya, Assalfiyah.
Namun saya harus tahu diri karena dia sepertinya sedang kurang sehat. Memang sebelumnya saya dapat kabar dia sakit-sakitan, tapi urusan mengajar santri urusan lain, dia masih melakukannya sebagaimana pagi itu saat saya datang.
Jadi, saya mengurungkan niat untuk menggali lebih dalam tentang proses kreatifnya dalam menerjemahkan kitab. Setidaknya saya sudah minta didoakan plus difoto bareng. Itu lebih dari cukup.
Dua hari lalu, kita baru saja memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional. Orang-orang yang melek hari-hati penting, memperingatinya dengan webinar atau perlombaan terkait bahasa ibu. Paling banter update status tentang bahasa ibu di media sosial.
Namun, sepertinya hanya sedikit para santri, untuk mengatakan tidak, yang memperingatinya. Apakah itu berarti kalangan pesantren tak peduli bahasa ibu mereka?
Berdasarkan secuil pengalaman saya jadi santri, dan cerita ajengan-ajengan tentang pesantren salafiyahnya, saat mengaji setidaknya ada dua atau tiga bahasa yang digunakan. Pertama, bahasa Arab saat membaca teks kitab kuning. Kedua, bahasa Jawa saat proses ngalogat. Ketiga, bahasa Sunda saat menjelaskan.
Jika pada sebuah pesantren ada santri yang tak mampu ketiga bahasa ibu, biasanya sang kiai menggunakan bahasa yang keempat, Indonesia atau campuran. Mungkin sekali dua ditambah dengan menjambret bahasa Inggris.
Jadi betapa kayanya santri dalam proses berbahasa, dan itu dilakukan tiap hari. Bagaimana bisa mereka dikatakan tak peduli bahasa ibu, bukan?
Sastrawan Usep Romli HM (almarhum) pernah mengatakan kepada saya bahwa menjaga bahasa ibu bisa dengan dua cara, yaitu lisan dan tulisan.
Jika ditilik dari pendapatnya, salah satu contoh terbaik dalam hal ini adalah Pondok Pesantren Assalafiyah yang dipimpin KH Ahmad Makki ini. Selain dengan lisan sebagaimana proses memahami kitab kuning di atas, juga dengan tulisan. Dengan tulisan bahasa Sunda dengan aksara Arab Pegon.
Kalangan pesantren merawat bahasa ibu bukan karena ada Hari Bahasa Ibu Internasional, tapi berdasarkan Al-Qur'an, surat Ibrahim ayat 4:
"Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka."
KH Ahmad Makki dengan ratusan karya terjemahannya adalah bukti melaksanakan titah ilahiyah.
Apa yang dilakukan KH Ahmad Makki adalah teladan bagi para santri Sunda. Teladan agar dilanjutkan sampai dijemput kematian.
Saya kemudian teringat penulis populer pada masa H. Mahbub Djunaidi (almarhum). Konon ia ingin menulis sampai tak mampu menulis.
Dan mulai hari ini, 23 Februari 2022, KH Ahmad Makki tak menerjemahkan kitab lagi karena dipanggil pulang ke pangkuan-Nya. Allahumaghfirlahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu. Alfatihah.
Abdullah Alawi, Dewan Redaksi NU Online Jabar
Terpopuler
1
Inilah Rincian Zakat Fitrah Tahun 2025 di Kota dan Kabupaten se-Jawa Barat
2
RMINU Jabar Gelar Safari Ramadhan Volume 4 Bersama LDNU dan LPBHNU
3
Operasi Pasar Murah PCNU Kabupaten Cirebon: Upaya Kendalikan Harga Bahan Pokok Jelang Idulfitri
4
MAPK Al-Hikmah Gelar Festival Pelajar Se-Kota Tasikmalaya, Cetak Generasi Kreatif dan Kompeten
5
Tantangan Menghadang Gubernur Dedi Mulyadi
6
Muslimat NU Sukasari Bagikan 500 Takjil Gratis untuk Masyarakat
Terkini
Lihat Semua