• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF ALI

Kampanye Pilpres: Mencermati Motif Kandidat

Kampanye Pilpres: Mencermati Motif Kandidat
Tiga bakal calon presiden, Ganjar, Prabowo dan Anies (Sumber foto: Channel Youtube Ganjar Pranowo, Gerindra TV, dan Anies Baswedan, diolah oleh M. Iqbal).
Tiga bakal calon presiden, Ganjar, Prabowo dan Anies (Sumber foto: Channel Youtube Ganjar Pranowo, Gerindra TV, dan Anies Baswedan, diolah oleh M. Iqbal).

Masa kampanye politik sebentar lagi tiba. Para calon presiden akan mulai berkampanye. Mereka harus bergErilya mencari dukungan dengan mengunjungi daerah-daerah di Indonesia sambil membeberkan masing-masing visi, missi dan programnya jika terpilih menjadi presiden. Bahkan untuk memuluskan jalannya menuju RI-1, para calon presiden tak segan-segan mengadakan ‘silaturahim politik’ kemana-mana.

 

Dalam masyarakat yang demokratis, hal tersebut adalah sesuatu yang wajar. Adalah hak setiap calon presiden untuk berkampanye dan menyatakan dirinya sebagai orang yang paling pas untuk dipilih menjadi presiden yang akan membawa perubahan dan perbaikan bagi masyarakat Indonesia.

 

Karena jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan publik, maka seluruh masyarakat Indonesia berhak mengetahui program, visi dan misi seorang publik figur untuk menjadi presiden. 

 

Salah satu hal penting yang perlu diketahui oleh masyarakat dari publik figur pilihannya adalah motif yang mendorongnya untuk menjadi presiden. Hal ini bisa dengan jelas dicermati oleh publik ketika sang kandidat mengadakan kampanye politik.

 

Kurt Lewin (1951) dalam bukunya Field Theory in Social Science mendefinisikan motif sebagai kekuatan yang menggerakan seseorang untuk mencapai tujuan karena adanya ancaman atau kesempatan yang berhubungan dengan suatu nilai. 

 

Karena nilai dan tujuan seseorang sangat bervariatif dan subyektif, maka motif setiap individu pun tentunya sangat bervariasi tergantung kepada setting sosial masyarakat yang mengitarinya dan kepentingan individu itu sendiri. 

 

Karena masing-masing calon presiden Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda-beda baik itu akademik, politik, dan kondisi sosial budaya dimana dia berasal, maka masyarakat harus jeli melihat motif masing-masing dari calon presiden tersebut dengan melihat visi, misi dan program yang ditawarkannya selama masa kampanye.

 

Batson (2002) membedakan motif seseorang melakukan sesuatu, terutama dalam aktifitasnya berpartisifasi dalam urusan-urusan publik, kepada empat  macam yaitu egoism, altruism, collectivism, dan principlism. Pembedaan tersebut didasarkan pada perbedaan tujuan utama (ultimate goals) setiap individu dalam beraktifitas. 

 

Motif pertama disebut egoismE yaitu motif seseorang ikut berpartisifasi dalam kepentingan publik hanya untuk keuntungan pribadi, baik itu keuntungan materi atau status sosial. 

 

Jika seorang calon pemimpin hanya berkeinginan untuk mengejar keuntungan pribadi termasuk memperkaya dan ingin mengejar popularitas, maka calon pemimpin itu bisa kita cap sebagai calon pemimpin yang egois. 

 

Pada kampanye pemilihan presiden, masyarakat harus jeli sejauh mana para kandidat menyampaikan visi dan programnya selama kampanye. Tentunya masing-masing calon akan mengumbar janji-janji program bagi perbaikan Indonesia ke depan, karenanya tutur kata, gerak-gerik dan emosi sang kandidat dalam berorasi dan menyampaikan programnya perlu menjadi perhatian publik untuk mengukur sejauh mana sang kandidat mampu lepas atau paling tidak mereduksi sifat-sifat egois yang biasa muncul pada calon pemimpin.

 

Kedua motif altruisme, yaitu motif seseorang berpartisifasi dalam urusan publik dengan tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan seseorang selain dirinya sendiri karena simpati. 

 

Jika seorang calon pemimpin hanya ingin mensejahterakan seseorang selain dirinya karena merasa belas kasihan, maka calon presiden itu masuk kategori ini. Publik harus jeli sejauh mana sang kandidat mampu meyakinkan pemilih bahwa dia akan mewakili kepentingan publik dan bukan kepentingan segelintir orang seperti pengusaha dan kroninya. Rasa simpati yang berlebihan dari seorang calon pemimpin terhadap segelintir orang atau kelompok akan berbahaya bagi kemaslahatan publik. Dia tidak akan segan-segan mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan segelintir orang.

 

Motif ketiga dikenal dengan motif kolektivisme yaitu motif seseorang terlibat dalam urusan publik karena terdorong oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan grup atau kelompoknya. Jika calon presiden hanya ingin mensejahterakan keluarga, partai politik pendukung atau kelompok pendukung tertentu, maka dia termasuk calon presiden dengan motif collectivism. Mensejahterakan kelompoknya tanpa menghiraukan penderitaan kelompok yang lain akan jelas terlihat ketika masa kampanye.

 

Keempat adalah motif prinsipilisme yaitu motif seseorang terlibat dalam urusan publik karena didorong oleh tujuan utama untuk menegakkan prinsip-prinsip moral universal seperti keadilan. Karenanya tak heran kalau para filosof moral menekankan pentingnya motif ini.

 

Dari keempat motif tersebut, nampaknya motif terakhirlah  yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan keinginan dari seorang calon pemimpin untuk memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, persamaan hak, kesejahteraan bersama dan nilai-nilai moral universal lainnya, diharapkan pemimpin tersebut mampu mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat yang dipimpinnya.

 

Para filosof moral menolak motif altruisme karena motif yang hanya didasari oleh simpati, empati, atau kasihan, hanya bersifat konstan dan mudah berubah. Motif kolektivisme juga ditolak karena terbatas atau terikat oleh kepentingan kelompok.

 

Jika masing-masing calon presiden konsekuen dan teguh memegang motif principilisme, bukan hanya slogan-slogan lip service ketika berkampanye yaitu siap memajukan kesejahteraan untuk semua kalangan tanpa memandang suku agama, kelompok partai pendukung dan kelompok simpatisan lainnya maka kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di Indonesia ini bisa diharapkan.

 

Tetapi jika calon-calon pemimpin Indonesia ini lebih mengutamakan kepentingan pribadi (egoisme), kepentingan simpati sesaat (altruisme) dan lebih parah lagi hanya mementingkan kepentingan kelompoknya (kolektivisme), maka jangan diharap visi, missi dan program yang nampak manis, yang digembor-gemborkan selama berkampanye, akan menjadi kenyataan.

 

Semuanya tentu akan berpulang kepada individu masing-masing calon presiden tersebut, tapi bukan berarti kita sebagai masyarakat kebanyakan tidak bisa memberikan sumbangsih pemikiran atau menjadi kelompok penekan bagi sang calon presiden. 

 

Karenanya sebagai masyarakat yang peduli terhadap kemajuan Indonesia, adalah penting bagi kita untuk mencermati motif jenis apakah yang tersirat ataupun tersurat dalam kampanye politik para kandidat. Tanpa partisipasi masyarakat, jangan harap kita mendapatkan presiden yang benar-benar bisa berdiri di atas semua golongan dan bekerja untuk kemakmuran bersama. Wallahu a’lam.

 

Prof. Ahmad Ali Nurdin, guru besar ilmu politik UIN Bandung.


Editor:

Opini Terbaru