Opini

Hari Buruh: Saatnya Tokoh Agama Lebih Serius dalam Urusan Pekerja

Kamis, 1 Mei 2025 | 07:00 WIB

Hari Buruh: Saatnya Tokoh Agama Lebih Serius dalam Urusan Pekerja

Hari Buruh: Saatnya Tokoh Agama Lebih Serius dalam Urusan Pekerja. (Ilustrasi: NU Online Jabar/freepik).

Tanggal 1 Mei kembali mengingatkan kita untuk menghormati perjuangan dan hak-hak para pekerja. Memang hari ini tiap tahun diperingati sebagai Hari Buruh Internasional di banyak negara termasuk Indonesia oleh banyak pihak dari pekerja, pemerintah dan industri, namun isu-isu perburuhan tampak kerap absen dalam diskursus kalangan keagamaan, termasuk dalam ceramah-ceramah para pemuka agama Islam.


Padahal, ajaran Islam begitu kaya dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat pekerja dan menekankan keadilan dalam hubungan kerja. Sayangnya, suara-suara keagamaan terkait isu buruh sering kali tidak terdengar—baik dalam khutbah, diskusi fikih, maupun dakwah publik.


Hal ini menjadi persoalan serius mengingat posisi strategis pemuka kegamaan atau ulama dalam masyarakat Muslim, terutama di Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Ketidakpedulian atau setidaknya ketidakseriusan terhadap persoalan buruh tidak hanya menunjukkan kelalaian teologis, tetapi juga kegagalan menjalankan tanggung jawab utama kepemimpinan keagamaan: berpihak pada yang lemah (dhu’afa) dan yang dilemahkan (mustadh’afin) serta menegakkan keadilan sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Masalah buruh bukan semata-mata soal ekonomi; ini adalah persoalan moral dan teologis yang berakar kuat dalam teologi dan etika Islam.


Tanggung Jawab Teologis-Sosial Pemuka Agama 


Dalam Islam, ulama bukan hanya ahli fikih, tetapi juga penerus misi kenabian untuk menegakkan keadilan (al-‘adl) dan menyebarkan kasih-sayang (rahmah) di tengah masyarakat.  Diam atau pasif terhadap eksploitasi buruh seperti tempat kerja tidak layak, upah rendah atau ditahan dan pembungkaman serikat buruh bertentangan dengan perintah Islam untuk pembelaan kelompok bawah dan amar ma’ruf nahi munkar.


Nabi Muhammad SAW bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering". Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, tetapi juga seruan tegas untuk keadilan ekonomi dan pembayaran upah yang tepat waktu dan layak —sesuatu yang masih tidak dinikmati jutaan pekerja di sektor informal, termasuk di Indonesia. Bahkan, Al-Qur’an mengecam praktik penipuan dan eksploitasi dalam perdagangan dan pekerjaan (QS. Al-Muthaffifin: 1–3), namun praktik ini masih sering terjadi tanpa kritik serius dari lembaga keagamaan.


Tanggung jawab dan peran ulama tidak berhenti pada pengajaran ritual ibadah atau fikih, tetapi juga menyentuh persoalan ketimpangan struktural, termasuk ketidakadilan dalam dunia kerja. Seperti disampaikan oleh banyak cendekiawan Islam, ulama berperan sebagai jembatan antara hukum ilahi dan realitas kehidupan manusia modern. Ketika keadilan perburuhan tidak hadir dalam diskursus dan tindakan mereka, maka etika Islam menjadi pincang.


Islam sangat menekankan martabat kerja. Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan untuk bekerja keras (QS. Al-Balad: 4) dan bahwa setiap jiwa akan memperoleh sesuai dengan apa yang diusahakannya (QS. An-Najm: 39). Pekerjaan bukan hanya sarana mencari nafkah, tetapi juga bentuk kontribusi manusia dalam membangun masyarakat dan memakmurkan bumi.


Dalam ekonomi, Islam menjunjung perdagangan yang adil, upah yang wajar, serta pelarangan eksploitasi. Ini tercermin dalam prinsip-prinsip distribusi zakat kepada golongan yang membutuhkan dari kelompok lemah termasuk pekerja. Keadilan (‘adl) dalam Islam tidak hanya menyangkut hukum, tetapi juga keadilan ekonomi.


Nabi Muhammad SAW sendiri terlibat dalam perdagangan dan memuji orang-orang yang bekerja dengan tangan mereka sendiri. Beliau bersabda: “Tidak ada makanan yang lebih baik daripada yang didapat dari hasil kerja tangannya sendiri”. 
Dalam aspek sosial dan politik, tradisi Islam mengenal sistem hisbah, yakni lembaga pengawasan etika publik yang bertugas memastikan keadilan dalam pasar dan pekerjaan. Sistem ini kini banyak ditinggalkan, tetapi semangat moralnya tetap relevan dan bentuknya disesuaikan dengan kondisi zaman sekarang.


Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019 mencatat bahwa lebih dari 50% pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal dengan keamanan kerja yang rendah dan tanpa perlindungan sosial. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian utama para pemuka agama. Di Indonesia, organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memiliki pengaruh besar. Meski ada beberapa dukungan terhadap isu buruh, seperti advokasi NU untuk petani dan nelayan, wacana keadilan perburuhan tampak masih belum memperoleh perhatian masif dalam forum-forum keagamaan dan majelis taklim.


Mengapa Ulama Harus Peduli


Dengan demikian, tokoh keagamaan sudah saatnya serius memperhatikan urusan pekerja. Diam terhadap ketidakadilan buruh bertentangan dengan teladan kenabian yang berpihak kepada kaum lemah dan tertindas (mustadh‘afin). Nabi Muhammad SAW secara aktif membela budak, pekerja, dan masyarakat miskin. Tradisi kenabian ini perlu dihidupkan kembali dalam dakwah dan fatwa kontemporer.


Ulama memiliki posisi strategis untuk membingkai ulang isu buruh dalam kerangka moral dan spiritual. Ketika keadilan perburuhan disuarakan dari mimbar masjid, ia tidak hanya menjadi isu sosial dan ekonomi, tetapi juga persoalan keimanan.


Selain itu, kini generasi muda di Indonesia semakin kritis terhadap institusi keagamaan yang mereka anggap abai terhadap realitas hidup seperti pekerjaan, pendidikan, dan ketimpangan. Dengan mengangkat isu buruh, ulama dapat menjembatani ajaran agama dengan pengalaman nyata umat dan menarik kembali simpati dan kepercayaan generasi muda yang mulai luntur terhadap agama.


Terakhir, dalam konteks global yang semakin tidak pasti akibat kebijakan ekonomi neoliberal, migrasi buruh, dan krisis iklim, para pemimpin agama harus tampil sebagai pembela moral bagi hak-hak pekerja lintas batas. Di negara-negara Teluk seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Arab Saudi, banyak buruh migran Muslim dari Asia Selatan dan Asia Tenggara yang hidup dalam kondisi seperti perbudakan modern. Di manakah suara keagamaan yang mengecam ketidakadilan sistemik ini atas nama Islam?


Penutup


Tanggal 1 Mei seharusnya bukan hanya peringatan bagi buruh, tetapi juga momen refleksi dan aksi moral bagi umat beragama. Keliru memandang keadilan bagi pekerja sebagai urusan di luar wilayah agama; ia adalah inti dari ajaran Islam itu sendiri. Islam menawarkan kerangka moral yang kokoh untuk membela hak-hak buruh melalui ajaran tentang kerja, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Pekerjaan dalam Islam adalah hal yang suci. Sudah saatnya para pemuka agama memperlakukan urusan pekerja dengan penuh keseriusan.


Ulama dan pemuka agama, khususnya di negara Muslim yang berpengaruh seperti Indonesia, harus menjawab panggilan ini. Tugas mereka bukan sekadar mengutip ayat dan meriwayatkan hadis, tetapi juga menghidupkan kembali misi kenabian: membela yang lemah, melindungi pekerja, dan memastikan keadilan ditegakkan—bukan hanya di masjid, tetapi juga di pabrik, di ladang, dan di pasar.


Asep Muhamad Iqbal, Ph.D., Dosen FISIP UIN Bandung; Direktur CASSR (Centre for Asian Social Science Research).