Opini

Fikih Peradaban; Mau Apa dan Kemana?

Ahad, 15 Oktober 2023 | 07:00 WIB

Fikih Peradaban; Mau Apa dan Kemana?

Fikih Peradaban; Mau Apa dan Kemana?

Serangan Israel ke Gaza telah menarik perhatian dunia, tidak terkecuali Nahdlatul Ulama (NU). Tanggal 9 Oktober 2023 Pengurus Besar NU (PBNU) mengeluarkan tujuh sikap yang intinya meminta semua pihak untuk menghentikan konflik dan kekerasan. Meski sayangnya tidak ada butir yang secara lebih eksplisit menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, komitmen NU terhadap perdamaian dunia semakin mengemuka. Pertanyaannya, sejauh mana komitmen tersebut disebarluaskan di kalangan warga NU sendiri?


Satu hari setelah pernyataan PBNU mengenai serangan Israel ke Gaza dikeluarkan, halaqah fikih peradaban jilid II digelar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Di pesantren yang dulu pada 1984 dilaksanakan muktamar NU ke-27 itu, para ulama NU kembali berkumpul untuk merumuskan apa yang bisa dilakukan oleh Islam bagi perdamaian dunia. Jika pada 1984 para ulama NU menyatakan sikap “kembali ke khittah”, maka sekarang saatnya mereka memikirkan apa yang dimaksud itu dalam dimensi yang lebih luas.


Harus diakui selama ini pemikiran keagamaan NU, termasuk dalam serial fikih peradaban jilid I, masih terbatasi oleh teritorial negara nasional. Produk-produk fikih yang dihasilkan merujuk pada hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah kemasyarakatan di sebuah negara tertentu. Bahkan termasuk pandangan mengenai muwâthin (warga negara) yang diharapkan bisa mengganti konsep kafir dalam konteks sosiologis dan politis seperti dibahas di Munas dan Konbes PBNU di Banjar 2019 silam, cakrawala berpikir ulama NU adalah kewarganegaraan yang bersifat nasional.


Oleh karena itu, banyak orang tampak kebingungan ketika PBNU di bawah KH Yahya Cholil Staquf mengemukakan pentingnya fikih peradaban. Apa bedanya dengan Islam Nusantara yang dihelat oleh kepengurusan sebelumnya? Lebih jauh lagi, apa dimaksud “peradaban” dalam frase fikih peradaban? Pertanyaan terakhir ini sempat memicu perdebatan di antara dosen program pascasarjana Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta, sehingga lahir mata kuliah “teori peradaban” pada program S3.


Meski lahir dari situasi yang terkait langsung dengan perseteruan internasional setelah berkuasanya rezim Saudi di Mekkah, dimensi pemikiran yang berkembang di kalangan NU lebih tertuju para masalah-masalah keagamaan di tingkat lokal dan nasional. Isu-isu dunia direspons sejauh memiliki resonansi yang kuat di sini. Ini agak berbeda dengan sikap kelompok Muslim modernis. Mereka justru lebih cepat tersulut oleh peristiwa-peristiwa di luar sana. Terhadap isu Palestina, misalnya, orang NU terlihat lebih kalem daripada sejawat Muslim modernisnya.


Dalam hal ini, selama hampir satu dekade wacana Islam Nusantara telah mendomestikasi konsentrasi warga NU untuk bertarung melawan apa yang dianggap mereka sebagai “Wahabi” di dalam negeri. Di kancah akademik ini bersamaan dengan membuncahnya kajian-kajian mengenai konservatisme, fundamentalisme, dan radikalisme agama. NU sering digambarkan sebagai protagonis yang berjuang sendirian mempertahankan benteng “toleransi”.


Akibatnya, ketika istilah fikih peradaban dikemukakan, tidak sedikit dari kalangan NU memandangnya secara enggan. Proyek (kata ini hampir selalu bermakna miring, padahal tidak) apalagi ini, kira-kira begitulah pertanyaannya dalam diam. Ketika serial jilid I dilakukan di ratusan pesantren, saya pun melihatnya lebih sebagai fikih negara-bangsa daripada fikih peradaban. Dari video-video yang beredar, tidak ada pembahasan yang cukup memadai mengenai peradaban dunia. Sebagian besar materi masih tentang kontribusi NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Akan tetapi, ketika mendengar pidato Gus Yahya dalam kick off fikih peradaban jilid II kemarin, pembahasan yang menukik mengenai apa itu peradaban mulai muncul.


KH Ulil Abshar-Abdalla secara lebih eksplisit menyebut pentingnya para ulama NU melihat persoalan batas-batas teritorial antar-negara yang sering memicu konflik dan kekerasan, selain adanya kebencian berbasis identitas yang disebarluaskan melalui perangkat digital yang berdimensi global. Sambil berseloroh dia juga menjelaskan mengapa sekarang pidato ketua umum PBNU selalu menyebut Piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang hingga hari ini dianggap merupakan salah satu norma dalam pergaulan internasional. Isu Palestina sayangnya disinggung secuil dan sebentar.


Membawa fikih peradaban ke pesantren adalah tantangan besar karena itu sama dengan membawa wacana hubungan internasional ke dalam pembahasan fikih. Tantangannya bukan apakah para ulama bisa mengikuti itu atau tidak, melainkan paradigma apa yang mau ditawarkan kepada mereka. Para sarjana hubungan internasional yang berkecimpung dalam kajian-kajian peradaban paham sekali kompleksitas ini. Ringkasnya, kalau diminta untuk menanggapi “Clash of Civilizations”-nya Huntington, kira-kira NU mengambil posisi apa? Khususnya mengenai Palestina, apa pandangan PBNU mengenai zionisme, Israel, Yahudi, dan komunitas epistemis serta para pelobi bisnis di belakangnya?


Kembali ke pertanyaan awal, komitmen NU terhadap perdamaian dunia jelas semakin mengemuka dan fikih peradaban baru saja memulainya. Ini butuh usaha serius, termasuk usaha untuk menjawab pertanyaan apakah fikih peradaban berbeda dengan Islam Nusantara atau sama saja atau transformasi dari itu? Pertanyaan yang terkesan sederhana ini penting dijawab agar NU beranjak dari jargon “NKRI harga mati” yang rawan dipolitisasi itu ke ranah yang lebih luas dengan peran yang lebih besar.


Amin Mudzakir, salah seorang Peneliti BRIN (Dikutip dari FB resmi milknya).