Saya hampir kehilangan kata-kata, tidak tahu lagi bagaimana caranya mengungkapkan rasa duka ditinggal pergi guru mulia KH A Bunyamin Ruhiat Bin KH Ruhiat Bin H Abdul Ghofur. Apakah dengan obituari panjang tentang kaledioskop memori, ataukah cukup dalam do’a yang kupanjatkan menandai ikhlas melepasnya. Berkali-kali mencoba menuliskannya, akan tetapi berkali-kali pula saya gagal menyelesaikannya boleh jadi karena beban pikiran saya terlalu berat menanggung segala kesan dan kenangan tentang beliau.
Saya menulis dengan hati yang terguncang sambil berusaha menyelundup ke masa lalu, menerobos kembali ruang dan waktu.
Sungguh saya tak terpikirkan menulis seemosi saat ini. Meskipun obituari adalah tulisan tentang kematian, tetapi bagi saya isinya merupakan cerita “perayaan” kehidupan. Kehidupan yang pantas “dirayakan” oleh orang yang ditinggalkannya karena mengenang kebaikan dan kebermanfaatan hidupnya. Boleh jadi obituari ini merupakan sebuah biografi mini atau merupakan jendela kecil untuk melihat lanskap sejarah yang lebih besar. Sejarah hidup yang ditulis dan diukir almarhum Bapak – sapaan saya kepada KH. A Bunyamin Ruhiat - dengan tinta emas perjuangan, kegigihan, pengabdian, serta nilai manfaat yang telah diwariskan dalam sejarah hidupnya.
Baca Juga
Saya, Ackie Udin dan Kiai Abun
Menulis obituari juga bagi saya tak jarang menjadi ziarah spiritual yang membuat kita lebih paham akan sosok yang kita ziarahi. Berziarah mengenang jalan kehidupan almarhum guru mulia. Hingga tulisan ini dibuat, perjalanan kenangan tentang almarhum masih membentang dalam ingatan. Dengan beban emosi, kesedihan, dan linangan air mata saya berusaha menguatkan diri menerima kenyataan bahwa Bapak secara jasad memang telah tiada, akan tetapi spirit dan keteladanannya kian hari kian terasa. Inilah yang saya rasakan saat mengetik baris-baris paragraf selanjutnya.
Sabtu, 19 November 2022
Jalanan siang itu cukup lengang dan cuaca cukup cerah. Saat sedang dalam perjalanan hendak mengunjungi kediaman orang tua, tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk, karena saya sedang menyetir kendaraan saya abaikan panggilan tersebut. Kemudian tak berselang lama beberapa telepon terus masuk ke HP saya dari beberapa teman alumni Cipasung, lalu saya minta bantuan isteri saya untuk mengangkatnya dan menjawab panggilan tersebut, lalu terjadi pembicaraan,
“Assalamualaikum, Kang bade ka Cipasung tabuh sabaraha?” teman saya mengawali pembicaraan di telepon.
“Waalaikumsalam, kumaha maksadna?” saya merespon dari kejauhan di samping istri saya.
“Muhun, Kang. Akang bade tabuh sabaraha ka Cipasung? Bapak ngantunkeun, Kang.” Saya terhenyak, lalu menepikan kendaraan. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun.
Saya tertegun beberapa saat, langit menjadi serasa berkabut, awan seolah mengirimkan kabar duka, serasa sekujur tubuh tak lagi memiliki tulang dan urat saraf. Bapak telah tiada. Saya luruh, menangis sambil mengirimkan fatihah dan do’a-do’a terbaik untuk beliau. Saya pun melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tua dengan perasaan tak menentu. Usai beberpa saat bertemu ibu di rumah, kemudian mengabarkan berita duka itu kepada orang tua, lalu saya mohon izin untuk pamit dan akan segera melanjutkan perjalanan ke Cipasung.
Sehabis shalat ashar, saya berangkat ditemani salah seorang alumni untuk menuju Cipasung. Sepanjang jalan, wajah Bapak terus hidup di pelupuk mata dan hati saya. Perjalanan ke Cipasung kali ini terasa sangat berbeda. Biasanya saya berangkat dengan gembira dan suka cita karena akan bertemu dengan Para Masyayikh dan para alumni saat haol dan reuni. Tapi kali ini tak sama lagi. Senyum sapa dan keramahan Bapak yang biasa saya rasakan ketika menyambut santri dan alumni yang tiba di rumah beliau di Cipasung kali ini tidak akan lagi saya alami.
Sepanjang perjalanan Subang–Tasikmalaya mata saya terus berkaca-kaca menahan duka. Mungkin benar adanya kata Joshua Wisenbaker bahwa air mata adalah kata-kata yang tidak dapat diucapkan dan tidak dapat ditanggung oleh hati.
Pukul 20.30 WIB saya tiba di Cipasung. Saat memasuki gerbang Pesantren Cipasung saya mengedarkan pandangan ke segala penjuru, akan tetapi kali ini disambut karangan bunga duka cita, ucapan bela sungkawa, tumpah ruah menyesaki ruang-ruang dan lorong pesantren. Aroma kesedihan menguar menjalar di langit Cipasung. Hilir mudik santri, alumni, dan para Kiai menampakan ekspresi kesedihan di wajah mereka. Wajah-wajah yang biasanya terlihat sangat ceria kini berbalut duka.
Tak menunggu waktu lama, setelah tiba di parkiran Cipasung segera saya keluar dari kendaraan menuju ke maqbarah keluarga Cipasung yang letaknya tak jauh dari asrama Nugraha tempat dulu saya mondok dari tahun 1998 sampai akhir tahun 2005. Tiba di pemakaman segera saya merangsek masuk di antara ratusan bahkan ribuan peziarah yang hendak tahlil dan mengirmkan doa. Saya berusaha mencari tempat duduk di samping Bapak yang kini telah tiada. Saya menatap nisan Bapak dalam-dalam, menghela nafas panjang menahan beban kesedihan yang begitu berat.
Entah berapa lama saya duduk di samping pusara Bapak sambil terus berdo’a memohon kepada Yang Maha Kuasa. Saya terus menatapi pusara Bapak, seolah belum percaya denga apa yang terjadi malam itu. Semua bayangan tentang Bapak hadir silih berganti di ufuk jiwaku. Bapak telah tiada. Terakhir kali saya menjumpainya sekitar 6 bulan yang lalu, tepatnya pada bulan Mei 2022 saat acara reuni dan silatuhami alumni di Ciamis, Jawa Barat. Saya masih mengenang perjumpaan terakhir kala itu, sapa dan senyumannya masih melekat di hati. Tapi kali ini senyuman itu telah menggariskan cambuk mahaperih di lubuk hati saya, bahwa saya telah kehilangan Bapak untuk selama-lamanya.
Usai berziarah saya kemudian bertakziah ke rumah duka. Di halaman depan rumah berjejer kursi dan tenda, karangan bunga, dan ucapan duka cita dari berbagai pihak, serta para peziarah yang berduyun-duyun datang bergantian. Semua tentu merasa kehilangan. Kehilangan panutan, kompas kehidupan. Saat memasuki ruang tengah rumah duka, Nampak jelas wajah-wajah keluarga dan para pecinta Bapak tak bisa menahan duka lara. Saya berbincang sejenak dengan menantu beliau KH. Dendy Yudha hanya untuk menyampaikan doa dan turut berduka. Saya benar-benar larut dalam suasana saat itu.
Bapak (demikian saya dan para santri menyapa beliau KH. A Bunyamin Ruhiat), saya tak mengatakan bahwa saya adalah santri kinasihmu atau bahkan mengaku merasa dekat dengan Bapak saja saya tak layak. Terlalu banyak santri, alumni, dan sahabat yang merasa dekat denganmu. Semua berhak untuk merasa paling dekat atau setidaknya memiliki kedekatan dengan Bapak. Mereka pun boleh menuliskannya dengan kisah dan pengalaman masing-masing. Jika ada seribu santri berjumpa denganmu tentu ada seribu persepsi dan kisah pertemuan masing-masing. Saya hanya hendak menulis sepenggal kisah yang saya alami sebagai saksi bahwa engkau adalah orang baik, bahkan sangat baik.
Ingatan tentang Bapak selalu terkoneksi dalam memori saya setelah berhari-hari kepergiannya, bahkan kian hari kian kuat memenuhi memori ingatan saya. Boleh jadi karena manusia memang sejatinya senantiasa memertahankan koneksinya dengan masa lalu, meskipun kadang tak henti-hentinya menarik diri darinya. Koneksi terhadap masa lalu, bagi saya adalah upaya menjaga memori dan otak agar tetap bisa bekerja dan imajinatif.
Dengan imajinasi yg menipis, melayang-layang, dan sedikit mengabur, saya menyusun dan mengingat ingat kembali serpihan kenangan masa lalu di Cipasung saat pertama kali berjumpa dengan Bapak. Ada perasaan haru, rindu, dan sendu menyatu dalam bingkai nostalgia.
Saya mengenal Bapak secara langsung saat saya mulai mengikuti pengajian beliau ketika saya kelas 1 MAN Cipasung tehun 1998. Ketika itu beliau mengajar Jurumiyah dan Diktat Jurumiyah yang beliau susun sendiri serta Kitab Ta’lim al-Muta’allim. Tahun berikutnya saya pindah ke kelas 2 pengajian dan beliau mengampu kitab Mutammimah dan Lathaiful Isyarah setiap pagi bakda shubuh. Dan dari kelas dua itulah beliau pun mulai mengenal saya secara lebih dekat di antara ribuan santri lainnya. Hal ini boleh jadi karena setiap pengajian kitab Latahiful Isyarah beliau sering memanggil saya untuk maju ke depan dan menalar bait-bait kitab tersebut. Alhamdulillah dari sana saya merasa bersykur sekali bisa lebih dikenal beliau hingga suatu ketika pada saat acara Muballighin ‘Am di Aula usai beliau memberikan sambutan beliau memanggil saya untuk maju ke panggung Aula dan melafalkan, menalar bait-bait kitab Lathaiful Isyarah di hadapan ribuan santri lainnya. Kesan yang begitu berharga bagi santri biasa seperti saya saat itu.
Tahun-tahun berikutnya saya kemudian mengikuti pengajian kitab Alfiyah dan Al-Luma’ yang diampu beliau di kelas 3 pesantren. Dengan intesitas pengajian dan durasi waktu yang cukup lama sekitar lima tahun tentu saja saya merasa amat bersyukur bisa setiap hari berjumpa dan belajar langsung dengan beliau. Ketelitian dalam menterjemahkan / ngaloghat basa sunda merupakan satu keistimewaan yang boleh jadi tak dimiliki yang lainnya. Hingga saya mendengar seorang kiai mengatakan “Lamun hayang apal ngaloghat sunda nu bener sok turutan Pak Kiai Abun”.
Suaranya yang khas, lembut, dan kadang memiliki selera humor yang tinggi membuat saya semakin rindu terhadap beliau. Humor beliau saat pengajian kadang membuat suasana ngaji menjadi lebih nyaman dan tak menegangkan sekaligus mecairkan suasana plus menghilangkan rasa kantuk. Saya masih teringat misalnya saat saya mengantuk beliau menegur dengan gaya khas beliau;
“Eta Dul Qohar pecina ulah jangkung teuing, jadi we tungkul beurateun” ini merupakan sindiran bagi saya yang tertunduk karena mengantuk. Seketika itu juga setan wasnan – penggoda manusia agar merasa mengantuk- kabur dari pelupuk mata saya. hehe.
Pada kesempatan lain Bapak menegur teman saya yang sering mengantuk saat ngaji, namanya Tatang asrama Selamet. Tatang ini rajin ngaji plus rajin tidur saat mengaji. Pengajian Alfiyah baru beberapa saat di mulai, tetapi tak berapa lama Tatang juga mulai terunduk kepalanya takj kuat menahan beban gravitasi alias nundutan. Lalu Bapak dengan gaya khasnya memberikan tebak-tebakan kepada santri yang hadir.
“Cing Tatang mana anu tara nundutan?” kami saling pandang satu sama lain mencari jawaban yang tepat. Tapi tak ada satu pun yang berani mengemukakan pendapat, apalagi di hadapan Bapak.
“Tatang anu tara nundutan mah nyaeta Tatangkalan, da Tatang ieu mah sok nundutan wae” Bapak menjawab sendiri tebak-tebakannya sambil tersenyum lebar.
Sontak saja saya dan santri lainnya terwata terbahak-bahak mendengar jawaban seperti itu meluncur dari bibir Bapak. Humor Paronomasia (plesetan) ini seringakali Bapak gunakan untuk mencairkan suasana. Ah, betapa saya semakin rindu candaan dan suasana belajar dengan engkau, Bapak.
Bapak, ketahuilah, saya tak mungkin menuliskan semua kesan tentang bapak di sini, dan bahwa hal yang menyengsarakan pikiran saya bukan kenangan bersamamu semata, melainkan kenyataan betapa sukar mengusirnya dari ingatan. Dan bahkan saya tak akan pernah mengusir kenangan itu, saya akan merawatnya selamanya. Di kepala saya berderet ribuan file kenangan tentang Bapak. Di hati, Bapak menjelma virus peretas tabahku. Rindu. Kata-kata saya tak bisa mengilustrasikan segalanya tentang bapak, karena mengenang, merindukan tentang Bapak melampaui angka dan kata-kata.
Abdul Qohar, Ketua KAC Kabupaten Subang
Terpopuler
1
Saat Kata Menjadi Senjata: Renungan Komunikasi atas Ucapan Gus Miftah
2
Susunan Kepanitiaan Kongres JATMAN 2024: Ali Masykur Musa Ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana
3
Sungai Cikaso Meluap Akibat Tingginya Intensitas Hujan, Ratusan Rumah Terendam hingga Sejumlah Kendaraan Terbawa Arus
4
STKQ Al-Hikam Depok Gelar Lomba MHQ dan Debat Internasional, Ini Cara Daftarnya
5
Tanah Bergerak di Kadupandak Cianjur: LPBINU Jabar Turun Tangan Bantu Korban
6
Khutbah Jumat: Cemas Amal Ibadah Tidak Diterima
Terkini
Lihat Semua