• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Obituari

KH Abun Bunyamin Ruhiat dalam Pandanganku (II)

KH Abun Bunyamin Ruhiat dalam Pandanganku (II)
KH Abun Bunyamin dalam Pandanganku (II)
KH Abun Bunyamin dalam Pandanganku (II)

Oleh: Eki Naufal Fauzi


Aku dan Pesantren
Bapak tahu betul bahwa aku bukanlah seorang santri. Tapi bapak seringkali ‘mengajakku’ untuk bersentuhan dengan dunia kepesantrenan. Mungkin begitu cara bapak mengenalkan dan mendekatkanku denang dunia Pesantren.


Di Pesantrennya, oleh bapak selama inipun aku hanya diserahi hal-hal yang kiranya dapat kulakukan. Seperti mengurusi penampilan-penampilan seni saat kegiatan pesantren, atau diamanahi menjadi juri saat PHBI. Sebenarnya tidak banyak juga yang sudah kulakukan di koridor ini. Karena bapak juga tahu tentang kapasitasku (masa iya mimpin tahlil atau hadorohan hehe). Tapi bapak selalu senang ketika aku ‘berakting’ dengan full-set costume santri, bersarung dan pecian. Di sisi lain aku juga merasa senang, karena dengan itu aku dapat ‘merasakan’ bagaimana menjadi salah seorang santri di Pesantrennya.


Membawa nama Cipasung adalah hal berat. Setiap mendapatkan kesempatan berkegiatan di luar, dengan identitas Cipasung, banyak orang mendapatkan kemudahan-kemudahan, termasuk untukku. Meski begitu, ini beriringan dengan tanggung jawab besar, karena kitalah figur yang orang luar lihat tentang Cipasung. Sebagai salah satu contoh yang kualami, saat berkesempatan mendapatkan role actor dalam satu garapan film, aku selalu kebagian memimpin do’a. Dari sana aku selalu terfikir ngadoa-ngadoa atau tahlil-tahlil wae mah geus kudu katalar, bisi ngerakeun.


Bahkan di kalangan non-muslim, nama Cipasung begitu dikenal. Tempatku berkegiatan setelah meninggalkan SMA dimiliki dan diisi oleh mayoritas orang orang kristen-katolik. “Cipasung ?, Kiai Ilyas, Kiai Abun ya ?”, Para petinggi agama disana mengetahuinya.. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. Betapa nama-nama besar itu masih dapat tercium harum, bahkan sampai ke ‘seberang’.


Bapak dan Seni
Bersekolah di Cipasung disaat bapak masih menjabat sebagai kepala sekolah SMA buatku juga sebuah kebahagiaan. Bapak tahu benar bahwa aku adalah seorang yang ‘mahiwal’. Passion-ku terhadap seni sudah beliau ketahui sejak masa itu. Perkenalanku dengan seni musik juga adalah pada masa ini. Jenis musik yang ‘dibolehkan’ dan sering kutemui pada waktu itu adalah Qasidah dan Marawis. Gara-gara ini aku juga jadi senang dengan rebana, sampai cinlok dengan santriah pula hehe.


Atmosfir kesenian di Cipasung lebih terasa saat aku hendak lulus dari SMA. Bapak sudah mulai terbuka pada banyak jenis kesenian. Perangkat musik modern mulai diperbolehkan, selama jenis lagunya masih kalem apalagi bernuansa religi, Bapak menyukainya. Seni tadisi karawitan Sunda juga mulai terdengar. Aku pernah mirig shalawat dengan kecapi dan suling bersama guru kesenianku di acara perpisahan pesantren tahun 2015 untuk generasi Diwan Masnawi, dengan Agus Iyeng Banser sebagai lengser yang didandani mempersonakan Abu Nawas, Bapak terlihat senang sekali.


Aku juga sempat menari tradisi di depan bapak, saat perpisahan tahun terakhirku berbagi ilmu di SMA. Saat menari aku malah dikira siswa SMA hehe. Dan bapak juga menyenangi teater, ini terlihat saat bapak menghadiri-menonton ujian pertunjukkan teater, saat itu salah satu kelas 3 sedang menampilkan teater yang bergenre longser, aku sempat khawatir, karena gaya akting bercanda longser kadang berlebihan atau dengan percakapan yang rada cawokah, tapi selama menonton ternyata bapak tidak berehenti tersenyum dan tertawa menikmati sajian pertunjukkan menjadi bagian, bersama penonton yang lainnya.


Seperti yang semua orang tahu bahwa Bapa begitu menyenangi hal-hal indah-kesenian. Dekorasi, lukisan, lagu-lagu dan lainnya. Semua nyaris harus sempurna.


Pernah kusaksikan saat hingar-bingar persiapan salah satu perhelatan acara di Cipasung, hanya Bapa yang menyadari gorden yang ‘nyengsol’ atau terdapat noda, hal yang biasanya dilewatkan banyak orang pada umumnya. Bapak adalah seorang yang sedetail itu. Begitupun tentang lagu-lagu, aku beberapa kali menemaninya saat para santri latihan paduan suara di rumahnya, Bapak selalu cermat dan sadar jika ada nada yang ‘pitch-nya’ kurang kena. Sebagai yang tidak bisa bernyanyi dengan benar, aku biasanya mentolelir hal-hal itu, yah.. Teu keuna saeutik mah teu nanaon, tapi dengan Bapa tidak bisa seperti itu. Semua harus terdengar secara baik supaya para ‘mustami’ dapat merasakan keindahannya juga. “Cipasung, harus selalu menampilkan yang terbaik”, ujarnya tepat di sisiku.


Belakangan, yang paling ramai di ranah kesenian Cipasung adalah tari kreasi Japin yang mempesona. Bagaimana tidak, diiringi musik hadroh, 40 santri dengan postur hampir sama tinggi, berpeci hitam berbusana putih dengan songket menari dengan gagah. Ini kerap membuat gaduh para santriah hehe. Kang Idad Arif Maulana Zain dan kang Rismu, adalah patreon yang memprakarsai tarian ini. Diawali tahun 2012 saat diminta menjadi art-opening penyambutan untuk acara Ijtima’ Ulama tahun 2012. Rentang 2015-2016 tarian ini digarap lebih serius dengan kontribusi Kang Tb. Waidzin yang menjadi menantu Bapa juga Ustadz Ismail dari mesir, tarian ini menjadi lebih menggelora dan selalu hadir di acara-acara besar pesantren Cipasung, nasional juga internasional. Kang Idad menyebutkan bahwa sekarang sudah ada perkumpulan khusus para santri yang menyenangi tari kreasi Japin ini dengan nama Japinestar, para bintang-bintang terang yang menari di bawah keberkahan langit Cipasung.


Bersama Bapak
Banyak hal yang kulewati dengan kesan istimewa bersama Bapak. Mendiktenya satu persatu rasanya tidak akan habis. Dimulai saat kelas 1 SMA diantar beliau untuk tes pertukaran pelajar ke Bandung, makan di restoran tempat Bapa beristirahat jika dalam perjalanan, tinggal di rumahnya yang ada di Cibiru, menjenguk dan menemaninya ketika hari raya (santrinya biasanya pulang), kami sering ngobrol, dan Bapa sering mencandaiku juga soal pernikahan. Karena santri dari generasiku yang masih di Cipasung semuanya sudah menikah.


“Hoyong nu kumaha Eki teh.. Bade ku Bapa dipangmilihkeun atuh ?”, Bapa sering ngahereuyan. Aku hanya tersenyum tidak menjawab karena saat itu sedang memacari perempuan katolik, repot juga kalau ketahuan hehe.


Dari semua itu, untukku yang terakhirlah yang paling berkesan. Melukis Bapak untuk hadiah ulang tahunnya tahun lalu, 27 September 2021, ketika ulang tahun Bapa ke 72. 27 yang ke 72. Dimintai oleh santrinya yang shaleh, kang Dezan Kurniawan Rafsanjani, untuk melukis Bapak agaknya membuatku gentar juga. Aku sudah berhenti melukis potrait-realis sejak lama, apalagi sejak 2019 ditinggalkan salah satu santriah pesantrennya, aku merasa tidak mau menggambar siapapun lagi. Merasa lelah mengejar kesempurnaan dalam melukis, aku beralih ke lukisan ekspresionis-impresionis untuk mensimbolkan apapun dengan lebih arif dan tersembunyi. Tapi meski kukatakan alasannya, kang Dezan tetap meminta, dengan jawaban ‘dicobian heula’, dengan ukuran kanvas 120 x70, aku melukis Bapak dengan hanya jangka 5 hari karena harus selesai saat acara. Berat dan membuatku stress sebenarnya. Kang Dezan.. Ampun pisan memang.


Tapi sebenarnya ini cita-citaku sejak lama. Dan dengan washilah ini, aku mendapati senyuman Bapa yang paling membahagiakan untukku. Saat lukisan diberikan di acara, bapa ngaharewos, “Eki uihna ka Bapa heula, tuang sareng Bapa di bumi..”. Secara pribadi, tentang ini aku ingin berterimakasih pada kang Dezan.


Jalanku agak berbeda dengan santri-santri & murid Bapa yang lainnya. Dengan itu, Aku pernah menanyakannya secara langsung pada Bapa.


 “Pa.. Ari Eki kieu wae teu nanaon..?” (maksudnya dengan semua hal yang kukerjakan, dengan jalanku). Aku terdiam saja.


Jawaban yang kuterima sama persis dengan yang diberikan oleh guruku Pa Kyai Abdul Chobir tepat hari kemarin.


“Selama itu dilakukan untuk kemaslahatan, kebermanfaatan itu baik. Dan yang lebih penting untuk mengingatkan kepada yang Maha Indah. Apalagi jika dapat menyenangkan dan membantu orang-orang..”, kira-kira begitu jika diterjemahkan dari bahasa Sunda.


Hanya dari Bapa, ditambah dengan “Unggal manusa, aya bageana sewang-sewang..”. Setiap manusia ada bagian & perannya masing-masing.


Bapa, aku tahu ini agak berlarut-larut. Tapi kepergian ini rupanya begitu berat bagiku, juga bagi banyak orang. Opat dintenan ieu tuang ge teu mirasa, sakasampeurna. Berbungkus-bungkus rokok yang sering bapa cela juga kuhisap terus-terusan. Maafkan Eki yang belum bisa sholeh seperti santri-murid bapa yang lain. Ngaji di kelas hiji oge kur sakali da paling teu bisa kana alat. Hapunten selami ieu eki mah joledar pisan. Culangung ka Bapa.. Bapa tangtos aya di tempat anu pangsaena ayeuna.. Angken Eki murid Bapa jaga. Allahumaghfirlahu.. Warhamhu Wa’afiihi Wa’fu’anhu.


Menuju kedamaian cinta yang lain
Semua lilin yang habis telah ku ganti. Pada setiap sudut biara
Cahaya samar dibias rinai hujan. Diluar jendela
Pelan-pelan cuaca berubah warna. Serupa sunyi yang paling lara
Kepergian, telah mengambil satu, mempertemukan dengan semua
2022


ٱلَّذِينَ تَتَوَفَّىٰهُمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ طَيِّبِينَ ۙ يَقُولُونَ سَلَـٰمٌ عَلَيْكُمُ ٱدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ٣٢


those whose souls the angels take while they are virtuous, saying ˹to them˺, “Peace be upon you! Enter Paradise for what you used to do.” (An-Nahl ; 32)


I have no one else like him, who will show genuine concern for your welfare. (Philippians, 2: 20)


Penulis merupakan salah seorang Alumni Cipasung


Obituari Terbaru