Oleh Abdullah Alawi
Di dalam catatan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul Seribu Jilid Makna Jejak Ibu, ia menceritakan relasi antara dirinya dengan sang ibu, yakni Nyai Hj Solichah. Ibu Gus Dur ini merupakan putri pendiri NU, KH Bisri Sansoeri, sementara suaminya adalah KH Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri NU juga, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Begitu mendalamnya kekaguman Gus Dur pada sang ibu, sampai-sampai ia menyebutnya bagaikan seribu jilid (buku). Itu pun tak akan cukup untuk menjejaki makna perjuangan dan pengabdiannya.
Dalam usia relatif muda, Nyai Solichah ditinggal wafat KH Wahid Hasyim. Di samping mengurusi keluarga, ia kemudian aktif di partai politik. Posisinya ini menjadikannya sebagai pihak yang sering mempertemukan berbagai pihak, mulai pejabat dengan kiai, begitu juga sebaliknya.
Baca juga: Kenangan Tak Terlupakan Gus Dur dengan Ajengan Musa Sukanagara
Gus Dur mulai menceritakan ibunya dari depolitisasi NU, yaitu sekitar tahun 80-an, di masa akhir kepemimpinan KH Idham Chalid. Kemudian Gus Dur tampil sebagai ketua Umum PBNU yang baru pada muktamar XXVII di Situbondo 1984. Sejak itulah NU kembali ke khitahnya, sebagai jam’iyyah, bukan partai politik (1952-1970) atau terlibat menjadi bagian di dalam partai politik Partai Persatuan Pembangunan (1970-1984).
Meskipun ibunya saat itu merupakan politisi PPP, tapi ia setuju dengan ide Gus Dur itu. “Ibu tidak pernah menghalangi, tapi juga tidak pasrah sikapnya. Ibu saya itu tidak pernah memaksa anak harus begini begitu, dan mempermasalahkan suara-suara tertentu NU tentang saya. Cuma, kalau beliau tanya, pasti minta garis-garis besarnya saja sudah cukup.”
Baca juga: Gus Dur dan Jurgen Klopp
Menurut Gus Dur, karena berbagai aktivitas, ia dan ibunya jarang bertemu. Namun, sekalinya bertemu, menurut Gus Dur menjadi pertemuan yang berkualitas.
“Jadi, menurut saya, tidak penting adanya pembagian jam pertemuan orang tua kepada anaknya. Tapi yang paling penting, anak itu merasa bahwa orang tua itu memikirkan kebutuhannya. Jadi dalam kesulitan apa pun anak boleh datang kepada orang tuanya. Anak saya juga jarang ketemu dengan saya, tapi saya urusi betul apa pun kesulitan keempat anak saya ini. Tidak ada anak-anak ibu yang sampai “lepas”. Itu tidak ada,” kata Gus Dur.
“Ibu saya tidak pernah bicara, tapi bertindak. Beliau bisa berperan dalam banyak kegiatan, serta mendirikan dan aktif di berbagai yayasan social, termasukk Yayasan Bunga Kamboja (YBK). Aktivitasnya itu telah berbicara dengan makna demikian dalam, sama saja bicara kepada saya seribu jilid. Beliau lebih suka program yang kecil-kecil daripada yang muluk-muluk. Hal yang diambil pelajaran dari ibunya adalah rasa tanggung jawab.
Penulis adalah Pemred jabar.nu.or.id
Artikel ini pernah dimuat dalam NU Online
Terpopuler
1
Lomba Kampung NU, Upaya PCNU Kabupaten Cianjur Syiarkan Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah
2
Konferensi MWCNU Cileungsi Tetapkan Ustadz Syahri Ramdhani dan KH Kholil Khaerudin Sebagai Ketua dan Rais 2024-2029
3
MWCNU dan KBNU Cileunyi Adakan Gebyar Maulid Nabi Saw
4
Ustadz Jaka Godeg Hibur Jamaah Maulid Nabi Muhammad Saw 1446 H di Bojonggede
5
TPT Perumahan Mandalika Residence Longsor, Warga Diungsikan
6
Lewat Pentas Tarik Suara, Muslimat NU Gunung Putri Rawat Keutuhan Literasi Aswaja untuk NKRI
Terkini
Lihat Semua