• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Ngalogat

Sekitar Makna Wali Songo

Sekitar Makna Wali Songo
(Ilustrasi/NU Online)
(Ilustrasi/NU Online)

Oleh Rudi Sirojudin Abas
Jika kita menyebut atau mendengar kata Wali Songo, yang teringat dan tergambar tentunya adalah keberadaan sembilan tokoh utama yang berperan penting dalam usaha menyebarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa pada abad ke- 15 dan ke- 16 M. 

Kata Wali Songo merupakan term bahasa yang diambil dari kosa kata Arab dan Jawa. Kata Wali berasal dari bahasa Arab, merupakan bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah’. Sedangkan kata Songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘sembilan’. Jadi, Wali Songo dapat diartikan sebagai ‘Wali Sembilan’ yaitu ‘sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Wali Songo dipandang sebagai sekelompok orang yang bertanggung jawab dalam mengembangkan dakwah Islam di daerah-daerah seputar tanah Jawa yang belum tersentuh dengan ajaran Islam.

Namun dalam khazanah keilmuan, arti Wali Songo tidak terbatas pada arti ‘sembilan orang’ yang bertugas menyebarkan agama Islam saja. Setidaknya ada beberapa arti lain yang berkaitan dengan Wali Songo yang kiranya penting dan menarik untuk kita ketahui.

Penulis mencatat ada lima definisi seputar Wali Songo bersumber dari buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan karya KH. Agus Sunyoto yang diterbitkan oleh Risalah Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2019.

Pertama, Moh. Adnan dalam buku Petikan Saking Buku Primbon Kuna (1952) berpendapat bahwa kata Songo dalam kata Wali Songo merupakan perubahan atau kerancuan dari kata ‘sana’, yang berasal dari kosa kata Arab ‘tsana’ (mulia) yang artinya sama dengan kata ‘mahmud’ (terpuji). Oleh karena itu menurut Moh. Adnan, pengucapan yang betul untuk Wali Songo adalah Wali Sana. Wali Sana menurut Moh. Adnan diartikan sebagai ‘wali-wali yang terpuji’.

Kedua, Amen Budiman dalam buku Wali Songo Antara Legenda dan Fakta Sejarah (1982) menegaskan bahwa kata Wali Songo yang sebenarnya adalah bermakna ‘wali sembilan’. Pengambilan arti Wali Songo sebagai ‘wali sembilan’ ini diambil berdasarkan pada pemahaman orang Jawa bahwa Wali Songo itu diartikan sebagai ‘sembilan wali’. Pemahaman ini dianalogikan sebagaimana halnya orang Jawa misalnya ketika mengartikan kata Kembang Telon, maka yang dapat dipahami adalah ‘serangkum bunga yang terdiri dari tiga jenis kembang: kenanga, kantil, dan melati’. Dengan demikian menurut Amen Budiman, Wali Songo itu merujuk pada arti ‘wali sembilan’ atau ‘sembilan wali’. 

Ketiga, R. Tanojo dalam Kitab Walisana menandaskan bahwa istilah yang benar dari Wali Songo adalah Walisana. Namun, kata ‘sana’ bukan berasal dari bahasa Arab ‘tsana’ seperti yang diutarakan Moh. Adnan. Akan tetapi berasal dari bahasa Jawa Kuno ‘sana’ yang bermakna tempat, daerah, atau wilayah. Dengan penafsiran ini, maka yang dimaksud dengan Walisana adalah ‘wali yang berada di suatu tempat, daerah atau wilayah dan menjadi penguasa (pemimpin) di tempat tersebut’.

Dalam kapasitas sebagai penguasa wilayah tertentu, maka orang yang mempunyai kekuasaan atas suatu wilayah biasanya diberi gelar atau sebutan Sunan, Susuhunan, atau Sinuhun yang kadang kala disertai dengan sebutan ‘kanjeng’ atau ‘pangeran’ yang merupakan sebuah gelar bagi raja atau penguasa pemerintahan/kerajaan di tanah Jawa. 

Keempat, menurut Prof. Dr. Simuh (1986) bahwa bilangan sembilan merupakan bilangan magis yang berkembang pada masyarakat Jawa dan bukan berasal dari budaya santri. Pandangan Simuh ini terkait erat dengan kosmologi budaya Hindu-Jawa pada saat itu yang meyakini bahwa alam semesta ini diatur dan dilindungi oleh dewa-dewa penjaga arah mata angin. Alam semesta ini terdiri dari delapan arah mata angin yaitu utara-selatan, timur-barat, timur laut-barat daya, dan barat laut-tenggara, dengan satu pusat yang berada di tengahnya, sehingga secara keseluruhan jumlahnya sembilan. 

Kosmologi Hindu-Jawa tersebut sesuai dengan pendapat R. Pitono dalam buku Warna Sari Sedjarah Indonesia Lama II (1969), bahwa nama sembilan dewa penguasa arah mata angin di Jawa dapat dijumpai pada tertib cosmos yang tertera pada Candi Lorodjonggrang yang meliputi: Kuwera (Utara), Isyana (Timur Laut), Indra (Timur), Agni (Tenggara), Kama (Selatan), Surya (Barat Daya), Baruna (Barat), Bayu (Barat Laut), ditambah satu penjaga titik pusatnya yaitu Syiwa. Kosmologi yang dianut orang Jawa-Hindu pada saat itu dikenal dengan sebutan Nawa Dewata (sembilan dewa).

Bertolak dari kosmologi Nawa Dewata, dapat diasumsikan bahwa sewaktu dakwah Islam dilakukan secara sistematis oleh penyebar Islam yang dikenal dengan nama Wali Songo, kiranya telah terjadi proses perubahan konsep Nawa Dewata menjadi konsep Wali Songo. Konsep kosmologi Nawa Dewata alam semesta yang dikuasai dan diatur oleh anasir-anasir Ilahi, yang disebut dewa-dewa penjaga arah mata angin, diubah menjadi konsep Wali Songo yang dimana kedudukan dewa-dewa penjaga arah mata angin itu digantikan oleh ‘manusia-manusia yang dicintai Tuhan’, yaitu ‘auliya’ (bentuk jamak dari kata tunggal ‘wali’) yang berjumlah sembilan (songo).

Dengan demikian, konsep Wali Songo dapat dikatakan sebagai suatu proses pengambil-alihan konsep Nawa Dewata yang bersifat Hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat Sufistik Islam. Berangkat dari penjelasan ini, maka dapat dipahami alasan mengapa corak Islam di Jawa, khususnya Jawa Tengah (baca: Islam Kejawen) lebih mengedepankan aspek Jawanya ketimbang aspek Islamnya. Inilah alasan mengapa Islam di Jawa yang ditonjolkannya lebih “Jawa dari pada Islam”. Dan inilah pula sebabnya mengapa agama Islam dapat diterima dengan cepat oleh kebanyakan masyarakat Jawa yang pada saat itu beragama Hindu.

Kelima, yang paling menarik dari konsep Wali Songo atau ‘wali sembilan’ adalah bersumber dari kosmologi Sufistik Islam. Dalam konsep Sufistik Islam, derajat kewalian secara umum dapat diraih dan dicapai hanya dengan sembilan tahap tingkat kewalian.

Konsep kosmologi Sufistik Islam sumbernya dapat ditemukan dalam kitab Futuhat al-Makkiyah karya Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby. Ibnu Araby menuturkan bahwa terdapat sembilan tingkat kewalian yang berkembang di dunia ini yaitu: 1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta; 2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Quthub dan menggantikan kedudukan Wali Aqthab jika telah wafat; 3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru arah mata angin (utara-selatan-barat-timur); 4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim; 5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat; 6) Wali Nujaba, yaitu wali yang setiap masa berjumlah delapan orang; 7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama; 8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab; dan 9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan wilayah Islam.

Dengan demikian, pengambil-alihan konsep Nawa Dewata yang Hinduistik menjadi Wali Songo yang sifatnya Sufistik Islam membawa perubahan yang luar biasa dalam proses dakwah Islam di wilayah bekas kekuasaan Majapahit yang pada saat itu sedang mengalami kemunduran dalam aspek sosio-kultural-religius. Kemunculan Wali Songo yang merupakan representasi konsep Nawa Dewata yang menggantikan tokoh-tokoh dewa yang abstrak dan tidak kasat mata menjadi wujud konkret yang kasat mata, berupa manusia-manusia keramat yang memiliki kemampuan adikodrati merupakan kunci utama mudahnya Islam diterima oleh penduduk setempat.

Selaras dengan pepatah Sunda “halodo sataun lantis ku hujan sapoe”, Nusantara yang beribu-ribu tahun beragama bukan Islam, hanya kurang lebih dua abad berubah menjadi Islam. Itulah hebatnya Wali Songo. Kemampuan Wali Songo dalam menghargai agama-agama lokal di Nusantara dan kematangannya dalam mengolah budaya membuat dakwah mereka dapat diterima dengan baik dan cepat oleh hampir seluruh penduduk Nusantara.

Kiranya apa yang dilakukan oleh para Wali Songo dalam upaya membumikan  Islam di bumi Nusantara ini merupakan sebagai wujud representasi dakwah fikhul hikmah, di mana ajaran Islam dapat diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniawan agama dan kepercayaan yang lain. 

Allah SWT berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik”. (QS. an-Nahl [16]: 125).

Wallahu’alam.

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut


Ngalogat Terbaru