• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Ngalogat

Satu Abad Polarisasi Masyarakat (2-Habis)

Satu Abad Polarisasi Masyarakat (2-Habis)
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Perkembangan selanjutnya, Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada tahun 1912 agar organisasi baru ini memiliki cakupan wilayah kerja yang lebih luas. Dekade kedua abad 20 merupakan masa pertumbuhan organisasi-organisasi dengan beragam platform yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang ideologi dan basis pendukung. Meskipun demikian, hampir seluruh organisasi ini menyerukan hal yang sama, anti terhadap penjajahan Belanda dan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya karena telah menyengsarakan rakyat.
    
Depresi besar terjadi pada tahun 1930. Kesengsaraan yang timbul di dalam kehidupan tidak sekadar disebutkan oleh resesi keuangan global. Wabah flu menerjang negeri ini. Melihat kesengsaraan rakyat yang semakin hebat, setiap organisasi yang telah menginjak umur dua sampai tiga dekade terus memokuskan perhatian pada upaya menangani kemelut dalam kehidupan. 

 

Musuh bersama rakyat dan organisasi-organisasi di negeri ini yaitu Belanda. Kelompok Islam Modernis menyuarakan kemiskinan yang harus diperangi dengan pendidikan digaungkan di daerah urban perkotaan. Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun 1926 menyisir wilayah perdesaan, atas alasan itulah karena organisasi Islam ini bersentuhan dengan kelompok akar rumput sering dipandang sebagai kaum tradisionalis oleh kelompok Islam Modernis yang di kemudian hari akan menjadi pemantik polarisasi saat NU menjadi partai politik yang didukung oleh mayoritas kaum santri tradisional dan Masyumi yang disokong oleh kelompok Islam Modernis. 

Struktur masyarakat pascadepresi secara khusus dibagi menjadi dua kelompok besar, santri dan abangan. Meskipun kaum priyayi dapat saja dimasukkan ke dalam kelas tersendiri, namun jumlah mereka begitu kecil dan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap polarisasi masyarakat hingga munculnya perpecahan sampai pembantaian. 

Abangan, sebuah terma yang digunakan oleh Geertz dalam penelitiannya merupakan kelompok mayoritas Islam Nominal (sekarang sering dikatakan Islam KTP). Kelompok ini berada pada piramida paling rendah dalam struktur masyarakat, hidup dalam kemiskinan, telah beragama Islam namun masih mempraktikkan ritus-ritus warisan leluhur, jarang salat, tidak puasa, dan disebut oleh kelompok Islam Modernis sebagai kelompok pemuja khurafat dan mistis. Kelompok modernis memandang abangan berasal dari kata aba’an, berarti banyak menolak ajaran Islam. 

NU sendiri karena basis-basis pendukungnya banyak tinggal di perdesaan mendapat simpati atau dukungan dari abangan. Para ajengan dan kyai NU dihormati karena demikianlah masyarakat Nusantara menempatkan orang berilmu di tingkat pertama kelas sosial. Tak mengherankan, kelompok Islam Modernis tidak hanya menyerang kelompok abangan juga menghantam orang-orang NU dengan beragam sebutan, belakangan muncul istilah TBC (takhayul, bidah, khurafat). 

Abangan sendiri sebagai kelompok termarginalkan lebih memilih organisasi yang sesuai dengan suasana batin mereka, PKI. Ketertarikan mereka terhadap jargon-jargon PKI seperti kesejahteraan rakyat, sama rata sama rasa, proletar desa, menjadi alasan kelompok abangan menjadi bagian dari partai berlogo palu dan arit ini.

Pengkutuban semakin menguat pascakemerdekaan. Sebagai sebuah partai politik yang merasa dibesarkan oleh kekuatan rakyat, PKI melakukan pemberontakan di Madiun pada tahun 1948. Beberapa tahun sebelum pemberontakan terjadi ketegangan antara kelompok abangan dengan kaum santri (massa pesantren dan orang-orang perdesaan yang menaruh penghormatan kepada para kyai). 

Penjarahan dan pengambilan paksa lahan-lahan milik orang kaya oleh orang-orang PKI, penculikan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang PKI terhadap para kyai, pamong praja yang mendukung PNI menjadi pemantik pemberontakan 1948. Kekuatan militer milik pemerintah berhasil melakukan kolaborasi dengan kelompok santri atau kaum putihan menuntaskan pemberontakan ini. Meskipun kemesraan antara kaum santri dan militer terjalin, kelompok terakhir ini menaruh kecurigaan kepada kelompok Islam Modernis karena peristiwa DII/TII di Jawa Barat pada tahun 1948 melibatkan kelompok Islam. 

Polarisasi di era orde lama menjadi lebih kongkrit menjelang Pemilu 1955. Slogan dan jargon-jargon empat kekuatan besar kontestan Pemilu memperlihatkan bentuk-bentuk yang sekarang kita kenal dengan sebutan kampanye hitam. PKI disinggung oleh orang-orang NU dan Masyumi bahkan oleh PNI sebagai Partai Kriminal Indonesia karena secara ideologi partai ini berhaluan komunisme produk Marx yang dianggap penentang tuhan dan secara praktik lebih mendahulukan kekerasan. 

Salah satu pertunjukan hiburan rakyat oleh kelompok ketoprak yang disokong Lekra, underbouw PKI di bidang kebudayaan, menampilkan drama berjudul: Patine Gusti Allah (Matinya Tuhan), terma yang sering digaungkan oleh orang-orang komunis di Eropa. Inilah yang dijadikan oleh kelompok putihan bahwa PKI memang partai kriminal. 

Sebaliknya karena NU merupakan kelompok terdepan yang berkonfrontasi dengan PKI saat pemberontakan Madiun, pihak PKI mengolok-olok NU dengan sebutan partai Nadhah Ujan, menengadahkan telapak tangan sambil menunggu turunnya hujan. Tidak hanya itu, orang-orang Masyumi karena basis massa mereka berasal dari masyarakat urban perkotaan sesekali menyinggung orang-orang NU dengan memplesetkan akronim PKI menjadi Partai Kiai Indonesia.

Persinggungan PKI dan NU secara frontal memang wajar seperti telah disebutkan di atas. Kebudayaan menjadi medan pertempuran kelompok abangan dan santri. Harus diakui melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) milik PKI, sektor-sektor kebudayaan mulai dari ludruk, ketoprak, ronggeng, reog, wayang, sastra, dan tayuban benar-benar dikuasai oleh PKI. NU mendirikan Lesbumi, tetapi saat itu belum dapat menyaingi Lekra karena memiliki Pramoedya Ananta Toer. 

Paling tidak, Nahdlatul Ulama memiliki andil paling besar dalam menghalau gerakan-gerakan PKI di bidang kebudayaan. Jika PKI memiliki Barisan Tani Indonesia, NU pun mendirikan Pertanu, Persatuan Petani Nahdlatul Ulama. PKI memiliki laskar Pemuda Rakyat, NU mendirikan para-militer Barisan Anshor Serbaguna (Banser). Gerwani milik PKI dibayang-bayangi oleh Muslimat dan Fatayat yang didirikan oleh NU. Maka sangatlah wajar jika orang-orang NU saat ini menaruh sikap romantisme terhadap perjuangan NU di masa lalu saat berhadapan dengan PKI. Satu dekade setelah Pemilu 1955, PKI tumbang. Para simpatisan dan orang-orang yang terlibat di dalam PKI harus menanggung akibatnya; penangkapan hingga eksekusi dengan cara dibunuh. 

Dari pentas sejarah singkat di atas, sangat musykil bagi siapapun dapat menarik dan  menggeneralisasi satu kesimpulan bahwa organisasi-organisasi perongrong NKRI dilahirkan dari rahim Sarekat Islam. Jika pun itu dapat dibenarkan, munculnya pemberontakan oleh PKI, DI/TII, dan PRRI Permesta terjadi karena dinamika politik yang liar dan sulit dikendalikan oleh kekuasaan. 

Pengendalian kekuasaan setelah kejatuhan Orde Lama oleh Orde Baru menjadi babak baru muculnya dinamika politik baru juga. Pemerintah menjadi lebih mudah curiga kepada pihak lain, isu bahaya dan ancaman laten komunis, bahkan kelompok Islam sendiri dicurigai meskipun –seperti organisasi seperti NU- memiliki peran besar menjembatani perubahan. Orde Baru saat kelahirannya dipercaya oleh siapapun tidak akan bertahan lama, nyatanya mampu berkuasa sampai 30 tahun lebih. Anggapan ini sebanding dengan prasangka akan langgengnya kekuasaan Orde Baru di tahun 1996 nyatanya tumbang dan digantikan oleh era reformasi. 

Penulis adalah guru di MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi


Ngalogat Terbaru