• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Ngalogat

Satu Abad Polarisasi Masyarakat (1)

Satu Abad Polarisasi Masyarakat (1)
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Kang Warsa

Sebuah status di salah satu grup media sosial berisi upaya menggeneralisasi pentas sejarah bangsa dalam beberapa kalimat singkat sempat mengusik para pembaca. Penggalan status tersebut berisi kalimat seperti ini: PRRI Permesta, DI/TII, PKI, NII, Kelompok Jihadis, dan Masyumi merupakan perongrong kedaulatan NKRI, kesemuanya lahir dari rahim Sarekat Islam (SI). 

Status seperti itu sudah sering terjadi dan mendapatkan beragam reaksi dari kedua pihak antara yang menyetujui dan memberikan perlawanan atau sanggahan. Sudah tentu, kedua belah pihak antara mereka yang setuju dan tidak setuju hanya baku hantam dalam komentar, saling serang mulai dari ungkapan-ungkapan rendah sampai meninggi pada sikap saling cemooh. 

Fenomena saling serang, persinggungan pendapat, debat tidak bermartabat, dan saling menghujat melalui media sosial merupakan babak baru fenomena kehidupan manusia di era infotech, sulit dihindarkan. Meskipun di era sebelumnya, luapan perbedaan pendapat dan polarisasi masyarakat ke dalam dua kutub yang saling berseberangan telah berlangsung sejak negara ini memasuki era kemerdekaan, walakin bibit-bibit pengkutuban dan dipraktikkan secara masif begitu nyata saat media sosial tidak lagi dijadikan sebagai media untuk bersosialisasi, menjalin pertemanan, melainkan telah dijadikan media untuk memaksakan apa yang dipandang paling benar oleh satu pihak, ini terjadi sebelum Pemilihan Presiden 2014.

Status yang menggeneralisasi semua sempalan dan kelompok radikal perongrong bangsa dan negara dilahirkan dari rahim Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1912 tidak sepenuhnya benar karena tidak didukung oleh fakta sejarah. Status seperti ini sama dengan mengatakan semua manusia itu kotor karena di dalam perut dan yang dikeluarkan oleh manusia adalah kotoran. Malahan, jika ingin menggunakan ungkapan yang lebih kejam lagi, setiap manusia itu kotor karena dikeluarkan oleh manusia dari vagina (aurat perempuan) yang notabene saat tersentuh dapat membatalkan wudlu bagi Muslim. 

Nyatanya, manusia tidak dapat digeneralisasi sebagai makhluk kotor hanya karena di dalam tubuhnya menyimpan kotoran. Kita juga harus mengakui secara jujur, status seperti itu memang tidak sepenuhnya salah karena beberapa anasir yang termaktub di dalamnya –berdasarkan fakta sejarah- seperti DII/TII dan PKI pernah berusaha merongrong kedaulatan NKRI, itu memang benar.

Pengkutuban masyarakat melalui entitas politik telah terjadi selama satu abad di negara ini. Puncaknya begitu kasat mata terjadi menjelang keruntuhan Orde Lama. Polarisasi ini telah menghasilkan era sejarah yang dipenuhi oleh kebrutalan, baku hantam, permusuhan, dan berujung pada pembantaian terhadap kelompok yang dikalahkan oleh sejarahnya sendiri. 

Buku yang ditulis oleh Ricklefs, Mengislamkan Jawa dan penelitian yang dilakukan oleh sarjana Barat seperti Clifford Geertz memaparkan kisah yang didukung oleh fakta-fakta sejarah bagaimana polarisasi bangsa terbentuk karena dinamika dan pergeseran sosial begitu cepat. Pemantik polarisasi paling kasat mata dari dulu hingga sekarang –tidak dapat dimungkiri- yaitu sisi gelap perpolitikan bangsa. Bagi sebuah bangsa di manapun hal ini memang lumrah terjadi. Amerika Serikat tidak akan pernah terbentuk menjadi sebuah negara tanpa didahului oleh revolusi kemerdekaan di abad ke 18. Eropa tetap akan terjebak dalam kubangan era kegelapan jika revolusi-revolusi fisik dan sosial tidak terjadi di benua ini.

Jika pun harus ditarik mundur pada sejarah-sejarah paling tua, polarisasi kehidupan dan pengkutuban manusia telah berlangsung –mungkin- sejak fajar sejarah manusia dimulai. Bukan hal aneh jika para sarjana Eropa di abad pencerahan berani mengemukakan melalui tesis-tesisnya bahwa sejarah manusia merupakan pertentangan kelas menurut Karl Marx. Tindakan yang dilakukan oleh manusia yang terus berjibaku dalam pertempuran dan pertentangan ini merupakan upaya seleksi alamiah agar dunia melahirkan manusia-manusia paling kuat menurut Darwin dalam teori evolusinya. 

Dan puncaknya, pertempuran-pertempuran sesama manusia di masa lalu merupakan prolog kelahiran manusia super versi Nietzsche. Meskipun jika dipandang melaui kaca yang bening dan jernih, tidak seluruh babak sejarah kehidupan manusia diisi oleh polarisasi dan peperangan antar sesama. Yuval Noah Harari lebih memilih alasan lebih manusiawi dan logis. Keberhasilan manusia mempertahankan spesiesnya hingga sekarang karena sifat dasar manusia yang pandai beradaptasi, berkoordinasi, dan melakukan kolaborasi dengan sesama. Di samping perang, ada sisi lain yang lebih manusiawi dan mendukung fitur kehidupan yaitu: damai.

Saya tidak akan terlalu mundur ke belakang dengan menyentuh panggung sejarah sebelum negara ini memasuki masa kolonial. Polarisasi masyarakat muncul secara alamiah dan diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia sendiri. Perbedaan di kesemestaan merupakan satu keniscayaan yang tak dapat ditolak karena ini merupakan piranti lunak dalam kehidupan yang telah diciptakan oleh Allah SWT. 

Justru, perbedaan yang seharusnya menjadi alasan bagi manusia untuk saling mengenal dan berkomunikasi telah banyak digubah menjadi nada-nada yang sumbang untuk menusuk diri manusia sendiri. Polarisasi dilahirkan oleh setiap kelompok yang mengklaim perbedaan harus dihancurkan demi alasan kebenaran. Hal yang mutlak tentang perbedaan dipaksa memasuki ranah kenisbian tentang kebenaran.

Secara singkat, manusia Nusantara yang memiliki pandangan kental terhadap idiosinkretik telah mengklasifikasikan masyarakat menjadi beberapa kelas. Brahmana, Ksatria, Weisya, Sudhra, Mleccha, dan Tuccha. Membagi masyarakat menjadi beberapa kelas tersebut bukan atas kepemilikan properti atau harta kekayaan, melainkan berdasarkan tingkat pengetahuan dan spiritual yang dimiliki oleh indiviru. 

Orang semakin pandai dan weruh akan diakui oleh masyarakat sebagai manusia yang menempati kelas puncak, misalnya para pandita dan ajengan. Sementara itu, semakin banyak properti yang dimiliki atau seseorang semakin kaya justru akan menempati kelas paling rendah karena keterikatan manusia ini dengan masalah duniawi begitu kuat. Artinya, hanya orang-orang yang menempati kelas Brahmana, ajengan, ulama, dan kyai yang memiliki hak memberikan wejangan, tetekon, mengeluarkan pakem, dan aturan yang berhubungan dengan keyakinan. Seorang Sudhra apalagi Mleccha tidak berhak mengeluarkan ucapan masalah-masalah keagamaan.

Sistem kelas seperti itu tidak banyak menguntungkan pihak Belanda, karena posisi mereka ditempatkan di kelas rendah yaitu Mleccha. Pendekatan budaya dilakukan oleh Belanda melalui penetapan tiga kelas masyarakat di Hindia Belanda; kelas pertama ditempati oleh Belanda, kelas kedua oleh priyayi dan warga negara asing, dan kelas ketiga oleh masyarakat biasa. 

Indikator pengkelasan antara prakolonial dengan era kolonial sangat kentara begitu berbeda. Pengkelasan masyarakat oleh Belanda lebih dititikberatkan pada kepemilikan properti dan harta serta kedudukan seseorang. Meskipun sejak semula kelompok tertentu seperti raja dan keturunannya tidak dapat diutak-atik dan masyarakat mengakui itu, namun pengkelasan berdasarkan kepemilikan harta ini telah menempatkan para saudagar dan tuan tanah menjadi priyayi atau menak. Mereka menjadi kelompok masyarakat yang dapat memberikan beragam wejangan dan fatwa tentang masalah-masalah kehidupan.

Kebijakan tanam paksa atau cultuurstelses pada abad ke-19 telah menyengsarakan masyarakat dan menguntungkan secara sepihak bagi Belanda. Dampaknya dirasakan sampai awal abad ke-20. Tanam paksa memang telah dihapuskan dan Belanda mengeluarkan politik balas budi. Situasi ini dimanfaatkan oleh para pengusaha pribumi muslim membentuk Sarekat Dagang Islam pada tahun 1905 bertujuan mengangkat perekonomian para pengusaha dan –meskipun menyematkan kata dagang dalam organisasinya- para petani perdesaan yang hidup dalam jerat kemiskinan. Pemberdayaan perekonomian sebagai cita-cita besar sarekat yang baru ini telah mendapatkan simpati dari umat. (Bersambung ke Satu Abad Polarisasi Masyarakat (2-Habis)) 

Penulis adalah guru di MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi


Ngalogat Terbaru