• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 18 April 2024

Ngalogat

NU ya Wali Sanggha

NU ya Wali Sanggha
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh M. Syakdillah 

Pertama, jika ingin paham dan mengerti istilah Wali Songo, maka lihatlah Nahdlatul Ulama (NU) sekarang. Itulah Wali Songo. Ketika ulama-ulama dari Sabang sampai Mereuke (kalau dulu lebih luas lagi hingga Campa, Thailand, Filipina, dan lain-lain) menjalin tali ikatan keruhanian tarekat. 

Bedanya, jika Wali Songo zaman dahulu tidak mengenal Surat Keputusan (SK) pengangkatan tertulis, maka sekarang Wali Songo-NU tercatat rapi melalui SK tertulis. Dan, awal mulanya bisa dilacak secara birokratis di Indonesia, bagaimana sebuah organisasi/lembaga mulai menjadi formal.

Kedua, kebanyakan pemahaman tentang Wali Songo yang sering ditulis oleh sejarawan itu tidak jelas sumbernya. Tahun berapa dan dari mana rujukannya? Jika merujuk pada naskah-naskah Mataraman, hal itu sumber sejarah yang dekat. Sementara Wali Songo yang dimaksud menjadi fakta sosial pada abad yang jauh, ke-16 Masehi. 

Ada banyak keraguan untuk mengatakan Wali Songo yang dimaksud adalah yang sembilan itu. Kalaupun harus merujuk pada kata “Songo” yang berarti sembilan, juga harus dikembalikan lagi, sejak kapan orang atau sejarawan percaya dengan kata dan jumlah sembilan itu? Dari tradisi mana? Apakah tradisi Persia, India, Campa, Samarkand, atau dari Majapahit (bukan Nusantara)? 

Sebab, dalam prasasti Singha Sari ada disebutkan tentang konsep Bhatara Sapta Prabu. Konsep persekutuan raja-raja yang mirip dengan konsep Yang Dipertuan Agung Kerajaan Malaysia sekarang.

Ada banyak penafsiran-penafsiran sejarah Indonesia, karena bertentangan dengan fakta-fakta sosial, akhirnya sekarang mulai direkonstruksi kembali. Misal, tentang Ekspedisi Pemalayu yang dilakukan oleh Raja Kertanegara dari Singha Sari ke Sumatera. Para sejarawan sudah ragu kalau ekspedisi tersebut merupakan ekspedisi militer dan penaklukan. Justeru, sekarang sudah mulai direvisi, jika ekspedisi Pemalayu tersebut merupakan ekpedisi diplomasi persahabatan dan persaudaraan yang ditandai dengan pernikahan Kertanegara dengan Darah Petak (berkulit putih). Dinamakan Petak, karena memang warna kulit orang-orang suku Sumatera cenderung lebih terang.

Contoh lainnya, Sunan Gunungjati. Dalam Babad Cirebon diceritakan, jika ibu Sunan Gunungjati diperistri oleh Syarif Abdullah, Penguasa Mesir. Hal ini menunjukkan jika Sunan Gunungjati tidak mendapat perintah dakwah sebagai utusan resmi (delegasi) penguasa-penguasa mancanegara. Melainkan, pulang kampung, sama seperti Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan sahabat-sahabatnya ketika selesai mesantren di Mekah pulang ke Nusantara. Artinya, Babad Cirebon tidak setuju, jika dikatakan Sunan Gunungjati mengemban misi dakwah dari mancanegara atau sering disebut dengan istilah Islamisasi.

Simha, Perdikan, dan Pesantren
Sebelum bicara istilah pesantren, terlebih dahulu sejarah ditarik dari prasasti yang diterbitkan Raja Mulawarman pada abad ke-4 di Kutai Kertanegara berikut.
srimato nrpamukhyasya
rajñah sri mulavarmmanah
danam punyatame ksetre
yad dattam vaprakesvare
dvijatibhyo ‘gnikalpebhyah
vinsatir ggosahasrikam
tasya punyasya yupo ‘yam

krto viprair=ihagataih

Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang tekemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para Brahmana (buat peringatan).

Yupa Muarakaman II
Sejarah sosial yang dapat dipahami dari prasasti tersebut adalah sudah ada komunitas Brahmana, komunitas elit bangasawan-raja, dan masyarakat tentunya. Dalam prasasti tersebut juga disebut istilah Baprakesywara. Wilayah suci yang dikuasakan kepada kaum Brahmana. Yang di tempat lain dikenal sebagai Hutan Larangan, karena dianggap suci. Antara entitas Brahmana dan kaum bangsawan sudah terpisah, karena memiliki wilayah masing-masing dan saling menjaga dan menghormati. 

Sejarah sosial semacam ini yang tidak pernah diungkap oleh penulis sejarah-sejarah pesantren, meskipun di dalam mendefinisikan kata pesantren sering mengambil dari kata Sansekerta “Sastri”. Tapi, tidak konsisten dalam memisahkan pengertian antara sejarah yang dekat dengan sejarah yang jauh.

Dari sejarah sosial pula dapat dimengerti jika Raja Pandita (penguasa yang merangkap pendeta) juga bukan fenomena yang asing dan aneh. Ratu Simha yang berkuasa di Kalingga bukan mustahil merangkap jabatan sebagai raja sekaligus pandita. Pada masa Majapahit, Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan kakaknya, Raden Rahmatillah, juga merangkap tugas yang sama sebagai Raja Pandita. 

Pada masa Kesultanan Cirebon, Sunan Gunungjati juga merangkap sebagai Raja Pandita. Begitu pula, Sunan Giri yang memiliki bala pasukan perang untuk menjaga eksistensi Raja Panditanya.
Dalam sejarah yang dekat, Sultan Syarif Qasim merangkap jabatan sebagai raja (sultan) sekaligus hakim agama yang seharusnya menjadi wewenang seorang Qadi. Jadi, bukan hal aneh, jika ada fenomena Raja Pandita dalam sejarah Nusantara.

Wali Songo Hanya Dianggap Sebagai Cerita Masa Lalu
Wali Songo sering digambarkan sebagai wali yang berjumlah sembilan dan mendapat tugas menyebarkan Islam (islamisasi). Hal ini merupakan pengertian yang fatal.

Sejarah sosial tidak menyebutkan demikian. Songo dapat merujuk pada kata Sanggha, kemunitas persaudaraan atau persaudaraan yang mengkomunitas (jamaah). Orang-orang yang memiliki kesalehan tertentu membuka majelis pengajian atau pendidikan-pengajaran dengan mendirikan padepokan dan padepokan (tempat diskusi) dan tersebar ke seluruh Nusantara. Mereka menjalin ikatan ruhani dalam tarekat. Persaudaraan antarmereka diikat dengan tarekat. 

Hal ini tidak menyalahi sejarah sosial, karena masa sebelumnya masyarakat Nusantara sudah mengenal konsep Mahayana dari Buddha. Konsep Mahayana dalam pengertian sosial-budaya adalah yang melekat dalam jiwa masyarakat Nusantara atau Indonesia. Pada praktiknya, NU menerapkan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah.

Jika konsep Wali Sanggha memerlukan struktur hierarkis, maka secara legal formal sudah dilakukan oleh NU. Maka, bukan sebaiknya, jika kemudian asumsi Wali Songo terpaku pada sembilan tokoh itu saja, karena akan menyalahi sejarah sosial yang ada di Nusantara (Indonesia).

Penulis adalah Nahdliyin penulis buku dan pemerhati sejarah


Ngalogat Terbaru