• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Ngalogat

Pandangan Keagamaan Soekarno dan Gus Dur: Menjadi Islam Indonesia

Pandangan Keagamaan Soekarno dan Gus Dur: Menjadi Islam Indonesia
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Andri Nurjaman

Dalam buku karya Dr. Asep Ahmad Hidayat yang berjudul Studi Kawasan Muslim Minoritas Asia Tenggara disebutkan bahwa sejak abad ke-7 M, orang-orang Arab sudah berdatangan ke Nusantara untuk mendakwahkan Islam. Secara masif, mereka mulai mendakwahkan Islam dari abad ke-13 M. Pada periode abad 13 sampai abad 15, fokus para pendakwah Islam adalah bidang fiqih, sedangkan pada periode selanjutnya abad 15 sampai 18 adalah tasawuf dan ilmu kalam.

Sebetulnya mengenai masuknya Islam ke Nusantara banyak teori yang menyebutkan. Setidaknya ada empat teori yaitu ada teori India yang menyebutkan bahwa Islam yang ada di Indonesia berasal dari India, ada yang menyebutkan dari daerah Gujarat, Benggali dan Malabar. Ada teori Arab-Mekah yang menyebutkan bahwa sejak abad 1 H atau 7 M Islam yang ada di Indonesia berasal langsung dari tanah suci Mekkah yang dikemukakan oleh Hamka. Ada juga teori Arab-Parsi yang menyebutkan bahwa Islam yang didakwahkan di Nusantara berasal dari Persia, dan yang terakhir ada teori Cina-Indo Cina yang tentunya Islam disebarkan ke kawasan Nusantara berasal dari Cina dan Indo-Cina.

Namun yang lebih menarik adalah metode atau cara para pendakwah Islam dalam mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat Nusantara. Kita sudah mengetahui bahwa Islam didakwahkan di Nusantara tidak dengan cara agresi militer atau penaklukan wilayah sampai penumpahan darah atau perang yang disebut dengan istilah futuhat, melainkan dengan jalan damai melalui pendekatan budaya, pendidikan dan tarekat.

Tanah Nusantara ketika Islam datang bukan tanah yang perawan. Saat itu, penduduk Nusantara sudah memiliki peradaban yang maju yaitu dengan peradaban Hindu-Budhanya ditambah dengan budaya-budaya lokal setempat seperti adat kepercayaan. Oleh karena itu, ketika Islam datang, peradaban dan budaya tersebut tidak dimusnahkan, tapi dijadikan media untuk berdakwah. 

Melalui pendekatan budaya tersebut, Islam bisa berkembang dengan baik dan melahirkan wajah Islam yang berbeda. Ajaran Islam menjadi fondasi dalam berbudaya sehingga kebudayaan tersebut memiliki ruh dan bernapaskan Islam. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Selain dari pendekatan budaya, Islam juga berkembang melalui pendekatan pendidikan. Para wali yang mendakwahkan Islam mendirikan semacam lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren. Pondok pesantren ini merupakan lembaga pendidikan dari tradisi Hindu yang oleh para Wali Sanga mengambil pola pendidikan ini dan dijadikan sebagai tempat untuk mengajarkan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu pondok pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia karena adanya pondok pesantren berbarengan dengan datangnya Islam ke Indonesia.

Ada juga yang menempuh jalur tarekat dalam mendakwahkan Islam di Nusantara, orang Nusantara ini memiliki kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat ghaib, oleh karena itu para pendakwah yang juga merupakan guru-guru tarekat mengajarkan Islam melalui ajaran-ajaran tarekat. Sehingga banyak sekali pada hari ini di Indonesia tradisi-tradisi keagamaan tarekat seperti manaqiban dan sebagainya.

Kawasan Indonesia yang memiliki kekayaan budaya yang bernapaskan Islam tersebut, oleh Bung Karno juga dijadikan sebagai basis perjuangannya terhadap melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Soekarno pernah berkata bahwa “kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara yang kaya raya ini”

Dari perkataan Bung Karno ini adalah spirit beliau untuk bangga menjadi orang Indonesia yang memiliki kekayaan budaya. Tidak perlu menjadi bangsa lain, dan tidak perlu tergila-gila dengan budaya luar. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, apapun agama dan kepercayaannya tetap harus menjadi bangsa dan masyarakat Indonesia.

Dalam hal ini Gus Dur pun memiliki pandangan yang sama dengan Soekarno untuk tetap menjadi Muslim Indonesia dengan adat dan budaya. Gagasan ini disebut dengan pribumisasi Islam yaitu Islam sebagai ajaran yang normatif yang berasal dari Tuhan dan diakomodasi ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Inilah konsep pribumisasi Islam menurut Gus Dur.

Oleh karena itu kita harus kembali pada substansi, tidak perlu terus menerus mempersoalkan formalistik. Cara pandang beragama yang harus Arab adalah pandangan yang formalistik. Misalkan pakaian harus jubah karena Rasulullah pun memakai jubah. Namun kita lupa bahwa Abu Jahal pun dulu pakai jubah. Yang membedakannya adalah Rasulullah tersenyum sedangkan Abu Jahal membenci. 

Maka kita harus kembali pada subtansi, bahwa dengan berbudaya di Indonesia misalnya memakai baju daerah berupa batik dipakai shalat dan menebarkan kasih sayang cinta kasih, itu sudah berislam.

Dalam hal konsep negara pun begitu, bahwa negara Islam adalah formalistik, bahkan Rasulullah tidak pernah mendirikan negara Islam. Indonesia adalah negara kesepakatan, negara demokrasi yang di dalamnya melindungi minoritas, hal ini merupa amanat Pancasila. Pancasila memang tidak ada dalam nash Al-Qur’an dan hadits, namun dalam pancasila dan butir-butir Pancasila mengandung ajaran-ajaran Islam, inilah substansi. Sistem demokrasi juga bukan sistem thogut, demokrasi adalah ajaran Islam yang di dalamnya ada musyawarah-mufakat. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat As-syura.

Termasuk dalam berbudaya, karena budaya lokal di Indonesia memiliki fondasi keislaman yang kuat sehingga budaya tersebut bernapaskan Islam karena pengaruh Islamisasi tadi, misalkan dalam pewayangan yang banyak menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang dibawakan dalam lakon-lakonnya. Atau lantunan Shalawat Nabi yang diiringi oleh musik gamelan, inilah berislam sekaligus berbudaya di Indonesia.

Maka dari sini kita bisa memprediksi mengenai masa depan Indonesia. Masa depan negara kita bisa kacau-balau jika terus menerus berkutat pada formalistik-formalistik tersebut. Namun masa depan Indonesia juga bisa damai sebagai negara yang baldatun tayyibatul warabbun ghafur jika fokus dan faham mengenai substansi-substansi yang telah dijelaskan tadi serta mampu hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan-perbedaan di Indonesia.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Attamur, lulusan Prodi Sejarah Peradaban Islam (S1) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S2 pada program Magister Sejarah Peradaban Islam Pascasarjana UIN Bandung. Penulis aktif menulis di beberapa media seperti di web resmi LTNNU Jabar dan Mubadalah.id.


 


Ngalogat Terbaru