• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Ngalogat

Memang, Wali Songo Tidak Hanya Berjumlah Sembilan

Memang, Wali Songo Tidak Hanya Berjumlah Sembilan
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Rudi Sirojudin Abas

Berani dan argumentatif. Begitulah kiranya tanggapan penulis terhadap artikel NU ya Wali Sanggha yang ditulis M. Syakdillah dalam kanal Ngalogat di situs NU Online Jabar edisi 12 Agustus 2021. Bagaimana tidak berani, tulisan M. Syakdillah tentang Wali Songo tersebut seolah mengubah persepsi masyarakat perihal keberadaan Wali Songo. Sebagaimana diketahui, arti dari Wali Songo itu merujuk kepada sembilan orang (wali) yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia sekitar abad ke-15 dan ke-16 Masehi.

Siapa pun orangnya, terlebih bagi orang yang pernah belajar sejarah, akan setuju bahwa orang yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah Wali Songo yang berjumlah sembilan. Lantas apakah kemudian arti Wali Songo yang merujuk pada sembilan orang wali itu tidak relevan dan perlu direvisi kembali sehubungan dengan adanya temuan baru seperti yang M. Syakdillah ungkapkan? Tentu tidak semudah itu. Senyatanya para sejarawan ketika memberikan informasi perihal keberadaan Wali Songo yang merujuk pada sembilan orang (wali sembilan) tentu telah menjalani proses uji publik sebagai hasil temuan ilmiah yang secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan. 

Pada paragraf keempat belas dan kelima belas, M. Syakdillah menyatakan bahwa pengertian Wali Songo jika merujuk pada sembilan orang yang bertugas menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah merupakan sebuah pandangan atau pendapat yang sangat keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan sejarah sosial masyarakat Indonesia.

Menurutnya, kata songo dalam Wali Songo itu sebenarnya diambil dari padanan kata sanggha yang berarti sebuah komunitas atau jemaah yang terikat dalam sebuah majelis, tempat, atau padepokan (tempat diskusi) tarekat yang tersebar di seluruh Indonesia. 

Dengan demikian, menurut M. Syakdillah, konsep Wali Songo itu akan lebih akurat jika ditujukan pada kelompok (jam’iyyah) ulama yang tersebar di seluruh Nusantara. Bukan ditujukan hanya kepada sembilan orang saja.

“Jika ingin paham dan mengerti istilah Wali Songo, maka lihatlah Nahdlatul Ulama (NU) yang telah melembaga secara hierarkis, terstruktur dan memiliki legalitas formal sebagai jam’iyyah kemasyarakatan dan keagamaan,” sebagaimana ungkapan M. Syakdillah pada paragraf pertama dan terakhir tulisan NU ya Wali Sanggha.

Penulis berpandangan, sah-sah saja jika M. Syakdillah berasumsi bahwa Wali Songo itu tidak merujuk pada sembilan orang wali yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam selama argumen/temuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis (akademik) dan telah teruji kebenarannya oleh publik. Namun, kita juga harus mengapresiasi dan menghargai temuan-temuan yang berhubungan dengan keberadaan Wali Songo sebelumnya yang mengartikan bahwa konsep Wali Songo itu merujuk pada arti sembilan orang yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia.

Misalnya, penelitian Moh. Adnan Petikan Saking Buku Primbon Kuna (1952) mengungkapkan bahwa Wali Songo itu merujuk pada arti “sana/tsana” yaitu terpuji. Menurunya, Wali Songo itu diartikan sebagai “wali-wali yang terpuji”. Sementara  Amen Budiman dalam penelitiannya Wali Sanga Antara Fakta dan Legenda (1982) menegaskan bahwa Wali Songo itu bermakna “wali sembilan”. Adalagi penelitian R. Tanojo Walisana (tanpa tahun) menandaskan bahwa Wali Songo itu merujuk pada arti “wali sana” yaitu ‘wali yang berada di suatu tempat atau wilayah dan juga sebagai penguasa wilayah tersebut yang kemudian bergelar sunan, susuhunan, sinuhun, pangeran, atau kanjeng’. 

Sementara dalam penelitian Simuh (1986), dan penelitian R. Pitono dalam buku Warna Sari Sedjarah Indonesia Lama II (1969), disebutkan bahwa konsep Wali Songo itu sebenarnya merujuk pada proses pengambil-alihan konsep Nawa Dewata yang bersifat Hinduistik menjadi konsep sembilan wali yang bersifat sufistik Islam.

Menurut Simuh, bahwa kosmologi budaya Hindu-Jawa pada saat itu adalah adanya keyakinan akan alam semesta ini yang diatur dan dilindungi oleh delapan dewa-dewa penjaga arah mata angin yaitu: Kuwera (Utara), Isyana (Timur Laut), Indra (Timur), Agni (Tenggara), Kama (Selatan), Surya (Barat Daya), Baruna (Barat), Bayu (Barat Laut), dan satu penjaga titik pusatnya yaitu Syiwa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi sembilan.

Selanjutnya, konsep kosmologi Nawa Dewata alam semesta yang dikuasai dan diatur oleh anasir-anasir Ilahi, yang disebut dewa-dewa penjaga arah mata angin di atas diubah menjadi konsep Wali Songo yang dimana kedudukan dewa-dewa penjaga arah mata angin itu digantikan oleh ‘manusia-manusia yang dicintai Tuhan’, yaitu auliya (bentuk jamak dari kata tunggal ‘wali’) yang berjumlah sembilan (songo) yakni Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Muria, dan Sunan Kudus.

Jika penulis boleh berargumen, konsep Wali Songo memang berkaitan dengan konsep Nawa Dewata Hinduistik. Dan lebih tepatnya lagi berkaitan dengan konsep mancapat kalimo pancer (hitungan 4+1) nya orang Jawa sebagai konsep mandala (ruang kosmologis) pada zaman Hindu-Jawa. 

Mancapat kalimo pancer merupakan pemikiran orang Jawa yang berasumsi bahwa anasir kehidupan ini terbagi menjadi empat bagian dengan satu pusat sebagai pancer-nya. Misalnya arah mata angin alam semesta terbagi menjadi empat yaitu utara, selatan, timur, barat, dengan tengah sebagai pusat (pancer). Hitungan hari orang Jawa pun terbagi empat dengan satu pusatnya yaitu legi, pahing, pon, wage, dan kliwon sebagai pusat. Struktur alam pun dibagi empat yaitu air, tanah, angin, api, dan alam. Nafsu dibagi menjadi empat yaitu lauwamah (serakah), amarah, supiah (cinta), mutmainah (jujur), dan budi (kama) sebagai pancer-nya. Dan banyak lagi anasir-anasir pembagian empat dengan satu pusat yang lainnya. 

Pada perkembangannya, konsep mancapat kalimo pancer tersebut kemudian berpola ganda (8+1). Misalnya, keseluruhan arah mata angin yang asalnya empat menjadi delapan dengan satu pusat yakni utara-selatan, timur-barat, timur laut-barat daya, dan barat laut-tenggara, dengan satu pusat yang berada di tengahnya, sehingga secara keseluruhan jumlahnya sembilan.

Dan konsep mancapat kalimo pancer (8+1) ini lah yang pernah penulis temukan ketika penulis melakukan sebuah penelitian di tahun 2019 yang berhubungan dengan tempat penziarahan di Kabupaten Garut. Tempat penziarahan di Kabupaten Garut mengikuti pola mancapat kalimo pancer dengan keseluruhan arah mata angin diisi oleh tokoh penyebar agama Islam. Misalnya arah utara diisi oleh Sunan Cipancar/Prabu Wijaya Kusumah (Limbangan); barat laut oleh Sunan Haruman/Syaikh Jafar Shiddiq (Cibiuk); barat oleh Eyang Arif Muhammad (Leles); barat daya oleh Eyang Panembong (Ciela Bayongbong); selatan oleh Syaikh Abdul Jalil (Kp. Dukuh Cikelet); tenggara oleh R.A Adi Wijaya (Sanding Garut Kota); timur oleh Eyang Haji (Sucinaraja); timur laut  oleh Eyang Papak/Rd.Wangsa Muhammad (Cinunuk Wanaraja); dan sebagai pancer/pusatnya adalah Syaikh Sunan Suci Rohmat/Prabu Kian Santang-Godog yang terletak di Karangpawitan.

Lantas pertanyaannya, bagaimana dengan keberadaan tempat-tempat penziarahan keramat selain dari sembilan penziarahan di atas? Konsep mancapat kalimo pancer berkembang menjadi ganda dari (4+1) menjadi (8+1), (16+1), (32+1), (64+1), dan seterusnya hingga kelipatan pasangan empat. Sehingga dengan demikian, tempat peziarahan yang lainnya terwakili kepada jumlah-jumlah tersebut.

Jika merujuk pada penjelasan di atas, maka boleh jadi keberadaan penziarahan-penziarahan keramat yang ada di seluruh Indonesia akan mengikuti pola konsep mancapat kalimo pancer-nya orang Jawa. Dan ini menarik untuk dibuktikan.

Kembali kepada pendapat M. Syakdillah, maka beralasan jika ia berpendapat bahwa Wali Songo tidak terpaku pada kesembilan tokoh wali yang kita kenal selama ini. Toh pada kenyataannya, di setiap tempat pun terdapat Wali Songo-Wali Songo yang lainnya. Wallahu’alam.

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut. Penemu konsep Wali Songo (sembilan wali) di Kabupaten Garut. Konsep tersebut dapat dilihat pada tesis “Religiusitas Masyarakat Cinunuk Garut dalam Struktur Ritual Mulud” (Pascasarjana ISBI Bandung: 2019)


Ngalogat Terbaru