• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 17 Mei 2024

Ngalogat

Ketika Gus Dur Mengaku Sebagai Kondektur dan Mandor

Ketika Gus Dur Mengaku Sebagai Kondektur dan Mandor
Dari kiri KH. A. Wahid Zaini, Gus Dur, dan KH. Yusuf Muhammad dalam Mukernas V RMI di Pesantren Genggong, 3-4 November 1996 (Foto: twitter Laskar Santri Kyai Ma'ruf )
Dari kiri KH. A. Wahid Zaini, Gus Dur, dan KH. Yusuf Muhammad dalam Mukernas V RMI di Pesantren Genggong, 3-4 November 1996 (Foto: twitter Laskar Santri Kyai Ma'ruf )

Oleh Iip Yahya

Muktamar Cipasung 1994 merupakan sejarah yang tak mudah dilupakan. Muktamar yang memperhadapkan NU dengan aparat negara (rezim Soeharto). Intelektual muda NU menyebutnya “Geger di Republik NU”. Gus Dur memakai istilah “Badai dalam Secangkir Kopi”. Bagi yang terlibat langsung di arena Muktamar Cipasung, peristiwa itu tentu akan jadi kenangan yang hidup. 

Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur tidak diizinkan memberikan sambutan oleh protokoler kepresidenan. Bahkan ia duduk di baris ketiga, tidak boleh mendampingi Pak Harto. Dalam situasi demikian, Muktamar Cipasung tetap berlangsung meriah. Layanan untuk para muktamirin dan nahdliyyin yang datang, tetap maksimal di bawah komando Ajengan Abun Bunyamin Ruhiat. Di sisi lain, kubu Gus Dur dan Abu Hasan kian meruncing.

Sebagai perlawanan, budayawan Acep Zamzam Noor menggelar seni instalasi kurs-kursi yang digantung, sebagai kritik bagi mereka yang hanya berebut kursi. Sejumlah anak muda NU “memblokir” sebuah surat kabar yang dianggap pro-Soeharto dan anti Gus Dur. Para kiai spiritual juga berjibaku melawan berbagai serangan yang tak kasat mata. Di Cipasung itulah mulai santer terdengar isu “pembelian suara”. Bahkan utusan PCNU dari Jawa Barat ada yang mengaku ditekan oleh aparat sebelum keberagkatan ke Cipasung. Di tengah tekanan semacam itu, duet Ajengan Ilyas dan Gus Dur kembali dipercaya untuk menakhodai perahu NU. Kebahagiaan para pengurus NU itu diungkapkan dalam dua kata saja: NU Menang.

Dinamika sebelum-ketika-setelah Muktamar memperlihatkan kematangan NU berjam’iyyah. Gus Dur yang menginjak gas kencang-kencang dan Ajengan Ilyas yang sesekali mengerem tapi tidak pernah menarik rem darurat. Hampir dua tahun setelah Muktamar Cipasung berlangsung, pengurus baru PBNU belum diterima Pak Harto di istana. Ini semakin memperkuat analisa bahwa Presiden RI kedua itu menolak kepemimpinan Gus Dur. Tapi bukan kiai NU kalau tidak menemukan jalan.

Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid al-Islami (RMI) yang dipimpin KH. A. Wahid Zaini, mengambil peran sebagai “penengah”. PP RMI mengadakan Musyawarah Kerja Nasional V yang dilaksanakan di Pesantren Zainul Hasan Genggong Proboliggo, 3-4 November 1996. RMI mengundang Presiden Soeharto untuk membuka acara. Nah, pada Mukernas inilah terjadi peristiwa yang kemudian malahirkan banyak tafsiran politik saat itu: Gus Dur bersalaman dengan Pak Harto.

“Salaman Genggong” menjadi headline media massa. Sebulan kemudian Effendi Choirie menyunting buku berjudul Hikmah Salaman Genggong. Melihat respons yang begitu luas itu, Gus Dur seperti biasa, tenang-tenang saja.

Seminggu setelah acara RMI itu, wartawan Suara Merdeka mewawancarainya di Kantor PBNU. Wawancara dilakukan pada 11 November 1996 dan dimuat keesokan harinya.

“Apakah pertemuan dengan Pak Harto direncanakan?” tanya si wartawan.

“Pak Harto datang ke Probolinggo memenuhi undangan RMI, badan otonomi PBNU, di Pondok Pesantren Genggong Probolinggo. Karena   saya sebagai kondektur PBNU, tentu harus datang pada acara yang dibuka Pak Harto itu. Jadi, itu gawe-nya RMI dan saya jadi kondektur NU, berada di sana dan bertemu dengan Pak Harto. Itu saja. Jadi, tak direncanakan secara khusus. Karena menjadi semacam mandor, menjemput beliau. Itu saja." 

Tapi bukanlah Gus Dur kalau hanya memberikan satu pernyataan yang sama untuk semua wartawan. Kepada wartawan Suara Pembaruan yang datang sebelumnya (8/11/’96), Gus Dur menjelaskan bahwa kehadiran Presiden Soeharto untuk membuka Mukernas V RMI menunjukkan keinginan untuk melakukan koreksi terhadap kondisi yang sudah dilakukan pada masa Orde Baru. Kehadiran Pak harto itu mempunyai makna yang dalam guna memperbaiki atau mengoreksi ketimpangan politik yang ada. 

Selama ini gerakan Islam kurang mendapat tempat dalam perpolitikan di Indonesia. Ia melihat gerakan Islam selama ini kurang memanfaatkan pola kekaryaan sehingga gerakan lain yang kekuatannya di masyarakat tidak besar, justru lebih dominan. Hal ini membuat gerakan Islam ketinggalan terus dibanding gerakan lain yang pengikutnya lebih sedikit. Hal ini disadari, sehingga sejak 1980-an ada upaya untuk merangkul gerakan Islam dengan mengembangkan lembaga-lembaga atau organisasi Islam di Indonesia. Akan tetapi, ujar Gus Dur, organisasi Islam yang ada masih tetap mendominasi yang kecil terhadap yang besar. 

Organisasi Islam yang diharapkan bisa menjadi besar dan memayungi  gerakan Islam di Indonesia (maksudnya ICMI), ternyata tidak bisa menjalankan peran tersebut dan justru terjebak pada kepentingan politis. Kondisi ini menimbulkan masalah baru karena pada dasarnya batang tubuh Islam yang besar tidak tercakup dalam organisasi Islam yang sudah ada tersebut. Oleh karena itu, kehadiran Pak Harto dalam Mukernas RMI sekaligus menunjukkan perlunya koreksi terhadap koreksi yang sudah ada. 
    
''Ini koreksi kembali dengan mengontak NU sebagai pihak yang dianggap paling tertinggal,'' tandasnya. Ia menambahkan, RMI hanyalah wahana yang digunakan untuk merangkul gerakan Islam itu sendiri.  
Sudah bukan rahasia, Gus Dur memang melontarkan kritik keras atas kehadiran ICMI dengan tokoh utamanya BJ Habibie. Setelah kemenangan Orde Baru, Pak Harto merangkul kelompok modernis ke dalam kabinetnya. Ini merupakan koreksi pertama yang dimaksud Gus Dur.

Selama masa ini NU “babak-belur” dan tertinggal. Nama lembaga-lembaga pendidikan yang ada NU-nya harus diganti. UNNU diganti UNINUS. LP Ma’arif NU harus membuang dua huruf di akhir dan jadi LP Ma’arif saja. Kondisi ini berpuncak pada kemunculan ICMI yang ternyata tak membuat Pak Harto semakin nyaman. Maka dilakukanlah koreksi yang kedua, Pak Harto kembali mengontak NU yang secara simbolik ditandai dengan kehadirannya di Pesantren Genggong.

Melihat kembali peristiwa Salaman Genggong itu, tampak sekali kepiawaian Gus Dur sebagai kondektur dan mandor PBNU waktu itu. Habibie kemudian melanjutkan kepemimpinan Pak Harto selama 1,5 tahun. Gus Dur lalu terpilih sebagai Presiden keempat dan bertahan selama dua tahun. Kini anak-anak ideologis Gus Dur sudah bertebaran di berbagai lini politik. Mana dan siapa yang akan mewarisi capaian Gus Dur? Siapakah yang mau jadi kondektur dan mandor yang ikhlas sekaligus visioner? Biarlah sejarah yang berbicara. 

Penulis aktif di Media Center PWNU Jawa Barat


Editor:

Ngalogat Terbaru