• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Ngalogat

Ketika Dua Dzuriyah Pendiri NU Bertemu di Bandung

Ketika Dua Dzuriyah Pendiri NU Bertemu di Bandung
Ketika Dua Dzuriyah Pendiri NU Bertemu di Bandung. (Foto: NU Online Jabar/Nasihin)
Ketika Dua Dzuriyah Pendiri NU Bertemu di Bandung. (Foto: NU Online Jabar/Nasihin)

Oleh Nasihin
Informasi tentang akan datangnya Gus Kikin ke Bandung telah saya ketahui dari Teh Cici Sabtu sore tanggal 25 November kemarin. Katanya, "Gus Kikin akan datang ke Bandung untuk silaturahim ke Kiai Fatah dan Prof Mansur."


Jam menunjukan 08:45 WIB Pagi, Saya bersama teman saya Ery bergegas meluncur dari Cileunyi menuju daerah Alun-alun Bandung. Tepat jam 09:30 WIB kami tiba di rumah Kiai Fatah. Ternyata Gus Kikin dan Bu Nyai sudah ada di dalam rumah.


Segan bercampur malu, pasti, karena kami telat. Dengan keberanian kami masuk mengucap salam. Terbayang beliau adalah tokoh hebat, Pengasuh Ponpes Tebu Ireng, belum lagi Beliau adalah Pengusaha Minyak dan Gas. Di luar dugaan, beliau sangat humble, ramah bahkan mau mendengar setiap pembicaraan kami.


Saya sering menyimak ucapan beliau, tentang sejarah, Pemikiran dan Pergerakan Kiai Hasyim Asyari. Katanya, masa pandemi memberinya banyak hikmah salah satu di antaranya ia jadi sering rajin membuka kitab-kitab karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.


“Saya menemukan pemikiran, gerakan kiai Hasyim saat itu dalam coretan dan kitab beliau. Pemikiran dan gerakan itu tentunya masih relevan untuk saat ini. Dan gerakan pemikiran itu harus sampai ke tingkat akar rumput atau masyarakat. NU didirikan atas dasar Ahlussunah Wal Jamaah, atas dasar ukhuwah dan merespons situasi bangsa saat itu,” ujarnya menjelaskan.


Ia mulai bercerita tentang kegelisahan kiai Hasyim terhadap situasi umat Islam yang diambang perpecahan dan ketimpangan sosial saat itu. Contohnya kegiatan di Pabrik gula Tjoekir yang didirikan tahun 1854, sawah warga disewa dengan harga rendah, mereka dipekerjakan dengan upah murah kemudian setelah digaji di hari Sabtu, malam Minggu nya diadakan pesta hiburan yang mengandung maksiat dan menghabiskan uang pekerja.


Kiai Hasyim kemudian mendirikan pesantren yang berdekatan dengan tempat tersebut, mengajak dan mengajari warga bercocok tanam yang baik supaya menghasilkan padi yang bagus. Kiai Hasyim berkeliling dari dari satu desa ke desa lain sampai ke daerah di luar Jombang. 


Kegiatan itu beliau lakukan setiap hari Selasa, selain dari mendampingi urusan ekonomi, pertanian, beliau mendorong masyarakat mendirikan masjid dan mengisi pengajian, mungkin itulah awal para santri Tebu Ireng di hari Selasa libur.


Di sela obrolan, Bu Nyai Istri dari KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin, menceritakan bahwa beliau adalah Cucu dari Kiai Abdullah Ubaid Pendiri Gerakan Pemuda Ansor atau yang sekarang dikenal GP Ansor.


Bu Nyai bercerita tentang kebiasaan Kiai Abdullah Ubaid yang suka mengendarai Motor Harley Davidson. Kiai Abdullah termasuk yang ditugasi membawa NU ke daerah Barat termasuk Bandung.


Menurut Kawan, Abdullah Alawi, bercerita kepada saya bahwa Kiai Abdullah Ubaid pernah mengendarai Motor Harley Davidson dari Jawa Timur ke Jakarta saat menghadiri Muktamar NU.


Obrolan siang itu sangatlah penting buat saya, banyak sekali kisah dan sejarah. Seperti penuturan dari Kiai Fatah. Kiai Fatah adalah putra Kiai Fadli Badjuri bin Kiai Madrawi bin Kiai Syaibani sahabat Syaikhona Kholil Bangkalan.


Kiai Fadli ayah Kiai Fatah, pada masanya terkenal karena mempunyai rumah makan bernama "Madrawi". Menurut Kiai Fatah, rumah makan itu bukan sekedar tempat makan, tapi bagian dari Perjalanan Bangsa dan Nahdlatul Ulama.


Rumah makan yang menyajikan menu sate, gule, rawon itu menjadi tempat berkumpul di antara para pendiri bangsa: Soekarno, Ali Sastroamidjojo, Syahrir dan lainnya. Di rumah makan Madrawi itu pula dibicarakan situasi bangsa dan rancangan gerakan yang akan dilakukan.


Soekarno adalah langganan makan sate di Madrawi, bahkan beberapa kali harus ngutang kata Kiai Fatah, namun karena Kiai Fadli sudah menganggap anak, itu adalah hal biasa. Di ajang KAA 1955 (Konferensi Asia Afrika) Sate Madrawi menjadi makanan yang dipesan untuk para tamu negara di acara itu.


Sate Madrawi menjadi tempat berkumpul juga bagi para Tokoh NU, Kiai Fatah menuturkan diantara yang pernah singgah diantaranya: Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Mbah Ma'sum Lasem dan mungkin banyak lagi yang lupa atau tidak tercatat.


Obrolan siang yang menurut saya singkat itu, tapi banyak yang saya catat, harus berakhir karena Gus Kikin akan menemui Prof Mansur di  kediamannya. 


Syaikhona Kholil, Hadratusyaikh Hasyim Asyari, Kiai Abdullah Ubaid, Kiai Fadli Badjuri adalah tokoh-tokoh pemersatu Umat Islam dan Bangsa. Sudah seharusnya menjadi teladan bagi kita semua. Para Beliau menitipkan Ukhuwwah Islamiyah dan Kesatuan Bangsa.


Sebagaimana Nahdlatul Ulama dengan jelas memelihara Trilogi Ukhuwah: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah/Ukhuwah Insaniyah. Orientasi Ukhuwah ini secara tegas digariskan dalam Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama.


Penulis merupakan Sekretaris Lesbumi PWNU Jawa Barat


Ngalogat Terbaru