• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Ngalogat

Kampus Merdeka a la Gus Dur

Kampus Merdeka a la Gus Dur
Gus Dur dan Aam Abdillah (Desain: Iqbal)
Gus Dur dan Aam Abdillah (Desain: Iqbal)

Sabtu (22/05) yang lalu saya sowan ke rumah Pak Aam Abdillah, dosen senior UIN Bandung yang pernah menjadi Ketua Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), sekarang jadi SPI. Pak Aam ini alumni jurusan SKI IAIN Syarif Hidayatullah, seangkatan dengan Fachry Ali. Ia bercerita pernah diajar oleh Gus Dur  untuk mata kuliah Islam Kontemporer. Kemungkinan besar, Gus Dur mengajar atas permintaan sejawatnya, Nurcholis Madjid.

Pak Aam masih terkenang cara Gus Dur mengajar, yang kalau sekarang barangkali boleh disebut cara belajar merdeka. 

Ceritanya jadwal tatap muka sudah usai dan tiba waktunya ujian. Karena waku itu komunikasi masih sulit, Aam pun mewakili teman-temannya bertandang ke kediaman Gus Dur.

“Gus, sudah waktunya ujian, kami mau minta soal.”
“Sudahah, kalian buat saja karya mandiri,” jawab Gus Dur singkat.
Aam pun menyampaikan hal itu kepada teman sekelasnya. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengerjakan karya tulis sebagaimana arahan sang dosen. Selesai mengerjakan, mereka segera kumpulkan. Aam pun kembali kebagian mandat mengantarkan tugas akhir kuliah itu ke rumah Gus Dur. 
“Gus, ini kawan-kawan sudah selesai mengerjakan tugas. Sekarang mau minta nilai.”
“Isi saja sendiri, nanti saya tanda tangan.”
“Maksudnya, Gus?”
“Iya, kalian isi saja sendiri nilainya.”
“Waduh,” kata Aam spontan.

Ia pun kembali menemui teman-teman sekelasnya sambil membawa lembar penilaian. Pertama-tama dia datangi Facry Ali yang dianggap paling pintar di kelas.
“Fachry, kamu mau nulis nilai apa?
“Aku B saja,” jawab Facry Ali dengan datar.
Lalu Aam menemui Iqbal Saimima yang juga dikenal pandai.
“Aku juga B saja,” kata Iqbal.

Karena dua jagoan di kelasnya memilih nilai B, maka kawan-kawan sekelasnya, termasuk dirinya, kompak memilih nilai C. Setelah semua mengisi nilai, Gus Dur tanpa memeriksa lagi langsung tanda tangan.

“Lha Fachry Ali saja milih B, masak saya pilih A,” kenang Pak Aam. “Saya terpaksa deh pilih nilai C,” lanjutnya. 

Pengalaman itu begitu mengesankan baginya. Bahwa kewibawaan seorang Gus Dur, mungkin juga karena kesungguhan dan keikhlasannya dalam mengajar, menempa mahasiswa didiknya untuk jujur pada kemampuan diri sendiri.

“Saya pernah mencoba hal yang sama ke mahasiswa saya, tapi gagal. Mereka ngisi A semua,” ujar Pak Aam seraya melepas tawa. 
(Iip Yahya)


Editor:

Ngalogat Terbaru