Ngalogat KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Islam Kaffah

Senin, 8 Juli 2024 | 07:00 WIB

Islam Kaffah

(Ilustrasi: FB Nadirsyah Hosen).

Abdullah Salam adalah orang Yahudi yang masuk Islam di era Rasulullah. Tapi dia masih terpengaruh ajaran Yahudi-nya. Dia minta izin kepada Nabi untuk membaca Taurat di dalam shalat, tetap mengagungkan hari Sabtu (sabat), dan menunaikan ajaran Taurat di malam hari.


Maka turunlah QS al-Baqarah ayat 208: 


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً 


Dari sinilah banyak digunakan istilah Islam Kaffah. Dimana salah satu terjemahan ayat di atas bermakna: 
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam ISLAM secara keseluruhan (kaffah).”


Kalau kita terima asbabun nuzul ayat di atas, maka maksudnya adalah kalau sudah masuk Islam, ya total dalam aqidahnya, jangan masih mengamalkan ajaran agama sebelumnya. Berarti Islam Kaffah dalam makna ini dimaknai secara teologis. 


Jadi buat kita yang sudah sejak kecil masuk Islam, gak cocok kalau disindir-sindir: “belum kaffah nih berislamnya.” Soalnya ayat di atas itu turun untuk ahlul kitab yang baru masuk Islam.


Ada tafsir lain: kata “kaffah” itu dimaknai “keseluruhan” bukan pada Islam-nya tapi pada orangnya. Jadi diterjemahkan dengan: “masuklah kalian ke dalam Islam secara bersama-sama keseluruhannya”.


Ulama tafsir lain punya pendapat bahwa kata “silmi” dalam ayat di atas dibaca dengan “salmi” yang maknanya perdamaian (shulh). Kalau kita ikuti penafsiran ini, maka ayat di atas diterjemahkan dengan: “masuklah ke dalam perdamaian secara kaffah”. 


Keragaman tafsir ayat kaffah ini menarik, bukan? Ini mengindikasikan bahwa pemahaman terhadap Islam Kaffah itu bukan cuma satu versi saja. 


Jangan sampai kita mengklaim si paling kaffah dalam berislam hanya karena kita memiliki penafsiran yang berbeda dengan pihak lain soal ayat kaffah di atas. Semakin kaffah kita harusnya semakin lapang dada melihat keragaman yang ada. 


Mereka yang memenuhi rukun iman dan rukun Islam, maka sudah masuk ke dalam Islam kaffah. Simpel aja.


Yang penting, kita berislam secara teologis tanpa sinkretis, dan secara sosial dilakukan bersama-sama, dan ujungnya keislaman kita ini mendatangkan kedamaian bagi semua pihak. Ini baru kaffah!


Eh tapi cintaku padamu itu kaffah loh sayang.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia