• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 4 Juli 2024

Ngalogat

Hj Épon Farhanah binti KH Muhammad Ahdan: Seorang Entrepreneur dan Ummu al Yatāmā

Hj Épon Farhanah binti KH Muhammad Ahdan: Seorang Entrepreneur dan Ummu al Yatāmā
Almarhumah Hj Épon Farhanah binti KH Muhammad Ahdan. (Foto: Silaturahmi Rewahan Bani Achdan 2023, Google Photos of Mas Dzaka).
Almarhumah Hj Épon Farhanah binti KH Muhammad Ahdan. (Foto: Silaturahmi Rewahan Bani Achdan 2023, Google Photos of Mas Dzaka).

Oleh Naila Rumaisha Aqra (Nawwal)
Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn, kabar duka dating dari Kabupaten Bandung Barat. Hj. Épon Farhanah binti KH. Muhammad Ahdan, istri tercinta KH. Muhammad Ridwan (Ketua MUI Kabupaten Bandung Barat, Mustasyar PCNU Kabupaten Bandung Barat, dan Sesepuh Pondok Pesantren Al Islamiyyah – Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat), dikabarkan wafat pada Senin, 01 Juli 2024 / 24 Dzulhijjah 1445 H pukul 00:54 WIB. Almarhumah wafat dikarenakan sakit dengan waktu yang cukup lama.


Dengan penuh rasa duka dan kehilangan, kami mengenang Hj. Épon Farhanah sebagai sosok wanita yang penuh keteladanan dan inspirasi, baik bagi keluarga, santri, maupun masyarakat di sekitar Pondok Pesantren. Sepanjang hidupnya, almarhumah selalu menunjukkan kesetiaan dan dedikasi yang luar biasa kepada suaminya dan Pondok Pesantren yang mereka bangun bersama. Hj. Épon Farhanah adalah potret hamba yang shālihah, yang senantiasa mengabdikan dirinya untuk kebaikan dan kemashlahatan umat. Kelembutan hatinya dan kebijaksanaannya dalam mendidik santri telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hati banyak orang.


Masa Lahir hingga Masa Remaja Awal

Hj. Épon Farhanah lahir pada tanggal 15 Oktober 1944 di Kampung Cikondang, Desa Cikondang, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, dari seorang Ibu bernama Hj. Siti Khoeriyah binti H. Abbas, dan Ayah KH. Muhammad Ahdan bin KH. Ahmad Shoheh. Setelah lahir, Ayahnya memberi nama “Epon Farhanah”.


Beliau merupakan anak sulung dari lima bersaudara, adiknya berjumlah empat orang, yaitu; Mumun Ma’muroh (Almh.), Sulaesah, Ahmad Juwaeni Shoheh (Alm.), dan Hj. Lia Mukarromah. Sejak lahir hingga masa tamat SMP, beliau tinggal di Kampung Cikondang, satu kampung di bawah Dayeuh Luhur.


Hj. Épon Farhanah lahir pada masa penjajahan Jepang, oleh sebab itu beliau sering bercerita pengalaman saat kecil bagaimana kehidupan ketika masa itu sekalipun lupa-lupa ingat. Beliau pernah bercerita bagaimana sulitnya ketika masa alarm, tidak boleh ada lampu menyala, ditakut-takuti sehingga harus bersembunyi ke dalam parit yang digali di dapur, saat itu tentara Jepang sedang bergerak merajah dan mencuri kekayaan.


Sejak kecil, beliau sudah dididik agama oleh kedua orang tuanya, seperti membaca Al Qur’an dan Ilmu Tajwid, Fardu ‘Ain; Bersuci dan Shalat, Ilmu Tauhid; Sifat Dua Puluh, dan Adab-adaban (Akhlak). Pendidikan formalnya dimulai dari SDN Cikondang, beliau termasuk murid yang sangat cerdas dan membuat Gurunya terkesan sehingga pada dasa warsa 1980-an setelah beliau dikaruniai lima anak, Gurunya pernah berkunjung ke rumahnya di Pondok Pesantren Al Islamiyyah, Karanganyar, Mandalamuti, Cikalongwetan, Bandung Barat.


Setelah lulus SD, beliau melanjutkan pendidikan formal ke SMPN II Kota Sumedang. Jarak antara Kampung Cikondang dan SMPN II Kota Sumedang kurang-lebih 10 km. Terdapat dua jalan menuju SMPN II Kota Sumedang, yaitu; pertama, melalui Jalan Semir, harus berjalan kaki sepanjang 8 atau 9 km. Kedua, melalui Cinungku, meskipun jalannya masih tanah dan sebagian bebatuan, tapi bisa naik sepeda jika tidak hujan, jaraknya sekitar 10 sampai 11 km.


Kisah Sepeda Ditinggalkan di Pinggir Jalan

Fajar mulai menyingsing, Farhanah remaja dan adik-adiknya terbangun. Setelah shalat shubuh, Farhanah melihat keluar dan ternyata hari itu sangat cerah. Farhanah sangat gembira, sebab beliau bisa bersepeda ke sekolah. Sekitar pukul 06:00 WIB, beliau mengeluarkan sepedanya, pamit kepada kedua orang tuanya, dan berangkat ke sekolah bersama teman-temannya. Udara segar dan pemandangan hijau menambah gesit mengayuh sepedanya sehingga pukul 07:00 WIB lebih beliau sudah tiba di sekolah.


Pembelajaran usai pukul 12:00 WIB, Farhanah pulang dengan sukacita, tapi sayang sebelum masuk wilayah Cinungku, hujan turun dengan deras. Karena perut terasa lapar, Farhanah memaksakan diri mengayuh sepeda sambil diguyur hujan. Bersyukur jalanan lancar, sebab dari Kota Sumedang sampai Cinungku terus menuju Wado jalanan sudah beraspal. Tapi setelah memasuki Cinungku jalanan sangat kotor dan licin, sebab belum beraspal sepanjang 2 km. Dari Cinungku ke Cikondang, perjalanan semakin berat, jalanan licin, dan ban sepeda penuh berjejal tanah jalanan sehingga ban tidak bisa berputar lagi. Farhanah bingung, perutnya terasa semakin lapar.


Akhirnya sepeda tersebut ditinggalkan di pinggir jalan. Farhanah pulang berjalan kaki sambil menangis. Sesampainya di rumah, beliau ditanya oleh Ayah dan Ibunya, “di mana sapédahna?!”, “ditinggalkeun di sisi jalan!”, jawabnya sambil menangis saking kesalnya. Alhasil, Ayahnya mengambil kembali sepeda tersebut.


Kisah Menjadi Santri Kalong

Suatu waktu, KH. Muhammad Ahdan menerima surat dari KH. Falah dari Pondok Pesantren Cikoneng, Bojong Koneng, Ganeas. Begitu melihat isi surat tersebut, Farhanah remaja bingung, sebab surat tersebut berbahasa Arab. Lantas beliau bertanya kepada Ayahnya, “Pak, bagaimana cara membacanya? Ini ‘kan tidak berharakat?”. Dengan bijak, Sang Ayah menjawab, “Farhanah, membaca huruf Arab gundul itu ada ilmunya, namanya Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf”. “Aku ingin bisa membaca Arab gundul!”, tekad Farhanah. Sungguh Sang Ayah sangat bahagia, sebab putri sulungnya meminta belajar Nahwu dan Sharaf.


Keesokan harinya, KH. Muhammad Ahdan langsung membawa Farhanah ke kediaman KH. Falah di Pondok Pesantren Cikoneng untuk belajar Ilmu Nahwu dan Ilmu Sharaf. Sejak saat itu, Farhanah mulai berkenalan dengan Kitab Kuning sekalipun baru menjadi Santri Kalong.


Kisah Mondok sampai Menikah

Pendidikan formal Farhanah hanya sampai SMP, yaitu SMPN II Kota Sumedang. Setelah lulus dari SMP, Farhanah dibawa oleh kedua orang tuanya ke Tasikmalaya, untuk silaturrahmi pada keluarga Ayahnya yang berasal dari Ciawi, Tasikmalaya, sekaligus mulai masuk pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Kiarakuda, Ciawi, Tasikmalaya. Di pesantren itulah Farhanah mempelajari Kitab Kuning lebih mendalam.


Di Pondok Pesantren Kiarakuda, Ciawi, Tasikmalaya, Farhanah mulai bergaul dengan para santri warga Tasikmalaya, Ciamis, Garut dan Kota lainya. Dan di pesantren itu pula beliau berjumpa dengan seorang lelaki bernama Sufyan Sauri yang kemudian setelah ibadah haji diubah namanya menjadi H. Muhammad Ridwan. Pria ini tiada lain adalah saudara misan, satu kakek, tapi beda nenek. Pria itu berasal dari Cikalongwetan, Bandung.


Setelah mondok kurang-lebih empat tahun, Farhanah pulang ke Sumedang. Tidak lama setelah pulang beliau menikah dengan Sufyan Sauri yang saat itu namanya sudah diubah menjadi H. Muhammad Ridwan. Tapi setelah menikah mereka tidak hidup bersama, sebab H. Muhammad Ridwan masih melanjutkan pendidikan pesantrennya, Farhanah lebih sering bersama Ayah dan Ibunya di Cikondang daripada bersama mertuanya di Cikalongwetan.


Bahkan sampai anak pertama lahir pada tahun 1963, Farhanah lebih sering bersama Ayah dan Ibunya. Hanya saja ketika melahirkan anak pertama, Farhanah bersama mertuanya di Kampung Cidaplang, Cikalongwetan. Anak pertama itu diberi nama Rifqi Fuad. Tapi ketika Ayahnya menengoknya, beliau mengusulkan ditambah nama “Asép” ciri khas nama orang Sunda pituin (genuine), maka nama anak pertamanya menjadi Asep Rifqi Fuad.


Mulai Hidup bersama Suami dan Anak

Sekitar akhir tahun 1967, Hj. Épon Farhanah dan KH. Muhammad Ridwan pindah rumah. Mereka tinggal di rumah Kakeknya yang tidak pernah diisi, letaknya di pinggir jalan raya, Kampung Warungdomba, Cikalongwetan. Di Warungdomba, santri dari wilayah sekitar mulai berdatangan, mereka datang sore hari, mengaji setelah ashar, maghrib, dan isya. Mereka tidak pulang ke rumah, tapi tidur di pondok sempit. Setelah shubuh mengaji lagi, lalu pulang ke rumah masing-masing.


Kondisi ekonomi keluarga saat itu masih pas-pasan, sebab KH. Muhammad Ridwan baru pulang dari pesantren, belum punya pengalaman usaha, pun demikian dengan Hj. Épon Farhanah. Dapat dikatakan pasangan ini warga baru di Warungdomba, jadi belum punya pengalaman sama sekali.


Keluarga KH. Muhammad Ridwan mulai belajar kasab, mencari ma’isyah dengan cara membuka warung sembako kecil-kecilan, dikelola oleh Mang Basyir (Alm.), santri angkatan pertama, tapi perkembangannya sangat lambat.


Tahun 1968, lahirlah anak ketiga, sebab anak keduanya meninggal dunia ketika dilahirkan. Anak kedua ini perempuan yang diberi nama Eva Dzurriyah Ridwan. Letak rumah di Warungdomba saat itu di pinggir jalan raya, tapi luas tanahnya sangat sempit, sehingga sangat sulit untuk dikembangkan. Oleh sebab itu, masyarakat di sekitar bermusyawarah untuk membangun sebuah pesantren yang representatif.


Pondok Pesantren Al Islamiyyah, Karanganyar, Cikalongwetan, Bandung Barat

Pada tahun 1970 mulai pembongkaran tanah kosong wakaf dari masyarakat, membangun masjid, pondok, dan rumah Kiai. Pada bulan April 1971, mulai pindah ke pesantren baru, sekitar 200 m dari tempat semula.


Pondok Pesantren ini diberi nama “Al Islamiyyah”, bermakna bahwa ajaran yang diberikan pada para santri adalah ajaran Ahl al Sunnah wa al Jama’ah, akidahnya Asy’ariyyah, fiqihnya Syafi’iyyah, dan tasawufnya Ghazaliyyah, tapi tetap menghargai santri yang menganut paham Non Syafi’iyyah, alasannya sebab kita semua sama sebagai muslim. Oleh karena itu, diberi nama Al Islamiyyah.


Sejak mulai pindah ke pesantren baru itu, kondisi ekonomi bisa dikatakan tidak menentu, Hj. Épon Farhanah mulai belajar berdagang, yaitu memproduksi wajit yang dijual pada para santri. Sementara kegiatan ekonomi KH. Muhammad Ridwan membuka Toko Buku dan Alat Tulis sampai kurang lebih tahun 1975. Tahun 1976 KH. Muhammad Ridwan membuka Pabrik Teh sambil bisnis benih cengkih. Perkembangan Pabrik Teh tampaknya kurang memuaskan, sedangkan bisnis benih cengkih terus berlanjut sampai tahun 1986.


Hj. Épon Farhanah Berkenalan dengan Pasar Baru

Hj. Épon Farhanah setiap hari mengajar para santri, karena melihat kondisi ekonomi belum berkembang, sementara anak bertambah menjadi lima orang, yaitu; Asep Rifqi Fuad, Eva Dzurriyah Ridwan, Rina Ismatillah Ridwan, Irma Mukmillah Ridwan, dan Hanhan Hasbiyani Ridwan. Tentu saja Hj. Épon Farhanah dan KH. Muhammad Ridwan membutuhkan dana untuk pendidikan anak-anaknya, maka pada tahun 1978, Hj. Épon Farhanah mulai belanja ke Pasar Baru Bandung, diantar oleh seorang santrinya, yaitu Fatimah (Almh.).


Di Pasar Baru Hj. Épon Farhanah belanja busana muslim dan sejak saat itu dimulai wirausaha berjualan busana muslim, sebagian besar dilakukan sistem kredit, ditambah dengan usaha sistem qirad bekerja sama dengan beberapa pihak. Ditambah dengan pertanian, pada tahun 1989 keluarga KH. Muhammad Ridwan mulai usaha jasa angkutan yaitu Angkutan Pedesaan dengan nama “ELESHA” (LSH), singkatan dari “Lancar, Selamat, dan Berhasil”, tapi nama belakangnya diubah menjadi “Al Hilal”.


Sampai sekarang usaha jasa angkutan ini terus berlangsung, yang jumlahnya mencapai puluhan armada. Hasil dari usaha itu di samping untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan pengembangan pesantren, juga dimanfaatkan untuk menyantuni anak yatim dan kaum dhua’fa.


Menjadi Ummu al Yatāmā wa ad Dhu’āfa

Sejak tahun 1971 selalu ada santri yatim dan miskin, baik santri mukim maupun santri kalong. Aktivitas menyantuni yatim dan miskin ini terus berlangsung bahkan sekarang berbentuk lembaga bernama “Rumah Yatim dan Miskin Salsabila”.


Banyak santri yatim dan miskin yang sudah mandiri, sebab mereka di samping belajar di pesantren juga dididik di sekolah formal, terutama di SMP Boarding School Al Hasanah, SMA Boarding School Naqwa Al Hasanah, MA Al Huda Cikalongwetan, bahkan ada pula yang sampai tamat S1 STAI Yamisa Soreang, IKIP Siliwangi Bandung, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dll.


Perkembangan Pondok Pesantren Al Islamiyyah

Pondok Pesantren Al Islamiyyah semakin berkembang, sekarang lembaganya bertambah, yaitu; (1) Pondok Pesantren Al Islamiyyah, garapannya santri mukim dan santri kalong yang mengkaji Fardu ‘Ain dan Kitab Kuning, (2) Pondok Pesantren Terpadu Al Qur’an Al Hasanah, fokus pada santri Tahfizh Al Qur’an, (3) Madrasah Aliyah Al Huda Cikalongwetan, (4)  Raudhatul Athfal Al Hilal, (5) SMP Boarding School Al Hasanah, (6) SMA Boarding School Naqwa Al Hasanah, dan (7) Pondok Pesantren Riyadhul Qur’an, fokus pada Tilawah Al Qur’an, yang dikelola oleh Ustadz Salim Muslim.


Berdasarkan kisah inspiratif dari almarhumah Hj. Épon Farhanah, kami berpesan kepada para santri dan generasi muda saat ini, jadilah hamba yang taat kepada Allah Swt., seperti yang telah dicontohkan Hj. Épon Farhanah sepanjang hidupnya. Keikhlasan dan keteguhan dalam menjalankan ibadah adalah kunci untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jadilah istri yang shālihah, yang senantiasa mendampingi suami dalam kebaikan dan membangun keluarga yang penuh kasih sayang dan keberkahan. Jadilah Guru yang menginspirasi, sebarkan ilmu dan hikmah dengan penuh keikhlasan, seperti yang selalu dilakukan almarhumah. Ingatlah bahwa setiap langkah dan usaha kita untuk mendidik dan membimbing adalah amal jariyah yang akan terus mengalir pahalanya.


Kami semua merasa kehilangan yang mendalam atas kepergian almarhumah. Namun, semangat dan teladan hidupnya akan terus hidup di dalam hati kami dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Semoga Allah Swt. menerima setiap amal ibadahnya, mengampuni segala dosa dan kesalahannya, serta menempatkannya di tempat yang paling mulia di sisi-Nya.


Penulis merupakan Keluarga Pondok Pesantren Al Islamiyyah – Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat.


Ngalogat Terbaru