• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Ngalogat

Cerita Abah Achmad Belajar Toleransi dari Mayoritas di Negara Orang

Cerita Abah Achmad Belajar Toleransi dari Mayoritas di Negara Orang
Abah Achmad bersama Sony Bebek dalam acara Guar Budaya. (Foto: Tangkapan layar/NU Jabar Channel)
Abah Achmad bersama Sony Bebek dalam acara Guar Budaya. (Foto: Tangkapan layar/NU Jabar Channel)

Indonesia sebagai negara dengan keragaman suku, adat, ras dan agama memegang teguh prinsip yang tertuang dalam dasar negara yakni Pancasila. Khusunya yang tertuang pada sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara hukum dan administrasi negara, Indonesia mengakui enam agama yakni agama Islam, agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu, agama Budha, dan agama Konghuchu dengan penduduk Muslim sebagai mayoritasnya.

 

Meski demikian, kerukunan antarumat beragama di Indonesia tetap terjaga dan masih terawat dengan baik. Salah satu bukti kuat moderasi beragama di Indonesia adalah berdirinya bangunan atau tempat beribadah dari setiap agama. Di Indonesia meski umat Muslim sebagai mayoritas, kita masih banyak melihat bangunan Gereja sebagai tempat beribadah umat Katolik dan Kristen, Pura sebagai tempat ibadah umat Hindu, Vihara sebagai tempat ibadah umat Budha, dan Klenteng sebagai tempat sembahyang penganut agama Konghuchu.

 

Ngomong-ngomong soal mayoritas dalam beragama, ada sebuah cerita menarik dari salah seorang Ajengan (sebutan ulama untuk orang Sunda) yakni KH. DR.  Achmad Mudrikah atau akrab disapa Abah Achmad. Abah Achmad adalah Pengasuh Pondok Pesantren Sumur Bandung sekaligus dosen di Universitas Islam Nusantara (Uninus).

 

Suatu waktu Abah Achmad sedang berada dalam perjalanan ke luar negeri menumpangi pesawat terbang. Saat tiba di Bandara Internasional Brussel, Belgia. Abah Achmad menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat mengisi waktu luang yang ada, ia kemudian menggelar sajadah dan hendak melaksanakan shalat di bandara tersebut. Namun kemudian, saat hendak melaksanakan shalat, Abah Ahmad sempat diselimuti rasa takut sekaligus cemas lantaran umat Muslim di negara tersebut menjadi minoritas tidak seperti di Indonesia.

 

Dalam benaknya, Abah Achmad merasa khawatir jika nanti shalatnya akan terganggu, entah karena mendapat teguran dari petugas bandara atau bahkan ada orang lain yang hendak mengganggunya atau bahkan mengusirnya. Dengan keadaan jiwa dan hati yang sedikit cemas dan gelisah tersebut, Abah Achmad berusaha untuk tetap tenang dan pasrah sembari melanjutkan niatnya untuk melaksanakan shalat.

 

Singkat cerita, Abah Achmad selesai melaksanakan shalat di bandara tersebut. Ia kemudian baru menyadari bahwa apa yang ia takutkan dan kekhawatiran yang sebelumnya ia pikirkan tidak terjadi. Bahkan, orang-orang yang berada di sekitarnya cenderung menghargai dan terkesan cuek dengan apa yang ia lakukan saat itu.

 

Pengalaman tersebut kemudian menjadi cerita pengalaman Abah Achmad yang paling berkesan sebagai Muslim saat menjadi minoritas di negara lain. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kehidupan Abah Achmad di Indonesia di mana Muslim menjadi mayoritas di Tanah Air tercitanya. Cerita tersebut kemudian dibagikan Abah Achmad saat menjadi narasumber di program tallkshow Guar Budaya yang tayang di Youtube NU Jabar Channel pada 12 Februari 2021 silam.

 

Dalam cerita lain, Abah Achmad mengaku pernah ditegur saat takbiran Hari Raya Idul Adha. Kejadian itu terjadi ketika Abah Achmad sedang berada di Sydney, Australi.  Bahkan, untuk mendengar adzan shalat lima waktu pun sangat jarang terdengar. Abah Achmad menceritakan bahwa kegiatan semacam Adzan di negara mayoritas non Muslim sangat dibatasi. 

 

Pesan yang bisa diambil dari cerita singkat pengalaman Abah Achmad saat menjadi kaum minoritas di negara orang adalah bahwa di saat kita menjadi minoritas kita sangat butuh terhadap orang yang mau bertoleransi kepada kita sebagai minoritas. Apa yang Abah Achmad alami tentu juga menjadi pelajaran penting bagi kita sebagai kaum mayoritas di Indonesia untuk tetap bersikap toleran kepada mereka yang minoritas agar kerukunan dalam beragama, berbangsa dan bernegara tetap terjaga dengan baik.

 

Sikap toleran adalah hasil yang diakibatkan oleh sikap moderat dalam beragama. Moderasi adalah proses, toleransi adalah hasilnya. Agama mengajarkan bahwa menghargai perbedaan, saling menghormati dan menjunjung tinggi kemanusiaan adalah inti pokok agama. Kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan.

 

Di Indonesia, moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam merawat keutuhan dan kesatuan sebagai bangsa yang sangat beragam. Sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. 

 

Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk merawat jati diri kita tersebut.

 

Tegaknya moderasi beragama perlu dikawal bersama, baik oleh orang per orang maupun lembaga, baik masyarakat maupun negara. Kelompok beragama yang moderat harus lantang bersuara dan tidak lagi memilih menjadi mayoritas yang diam. Bahkan, keterlibatan perempuan juga akan sangat penting dalam upaya memperkuat moderasi beragama, mengingat kekerasan atas nama agama bisa saja dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Setiap komponen bangsa harus yakin bahwa Indonesia memiliki modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama. 

 

Modal sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan keragaman adat istiadat, tradisi bermusyawarah, serta budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun. Modal sosial itu harus kita rawat, demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan agama. Jika dipikul bersama, Indonesia dapat menjadi inspirasi dunia dalam mempraktikkan moderasi beragama.

 

Penulis: Agung Gumelar


Ngalogat Terbaru