• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Nasional

Puasa Kanak-anak sebagai Adu Gengsi, Lebaran sebagai Ajang Minta Kompensasi

Puasa Kanak-anak sebagai Adu Gengsi, Lebaran sebagai Ajang Minta Kompensasi
Edi Rusyandi (Foto: Istimewa)
Edi Rusyandi (Foto: Istimewa)

Bandung, NU Online Jabar
Anggota DPRD Jawa Barat Edi Rusyandi pada masa kanak-kanak mengenang Lebaran sebagai peristiwa yang sangat ditunggu dan menggembirakan. Lebaran baginya, adalah puncak kebahagiaan perjuangan menahan lapar dan dahaga.  

“Kalau tidak salah ingat, kelas 1 atau 2 Madrasah Ibtidaiyah, saya sudah bisa tamat puasa sebulan campleung. Tidak pernah batal,” ungkap politkus dari Partai Golkar ini, Kamis (13/5). 

Edi, pada masa kanak-kanaknya mengaku hidup di perkampungan di Kabupaten Bandung Barat dengan lingkungan kental nuansa keagamaan menjadi hal yang cukup istimewa sehingga memicunya untuk bisa full puasa. 

Pada saat itu, puasa menjadi arena kompetisi dengan sesama teman seusia. Sesama temannya akan saling menghitung berapa kali bocor (batal puasa) atau seberapa kali tamat 30 juz tadarusan baca Al-Quran. 

“Kadang jadi adu gengsi dengan teman teman ini. Kalau yang bocor atau lebih sedikit juz tadarusannya suka diledek,” kata politkus yang pada mahasiswanya aktivis PMII Kabupaten Bandung ini.  

Selain adu gengsi tadi, untuk bisa bertahan sampai maghrib kadang biasanya suka ada pangolo alias pangbibita dari orang tua. Pangbibita-nya biasanya paling berupa dibelikan baju lebaran. Baju lebarannya dibelikan dari pasar baru Bandung. Hal yang cukup mewah tentunya. 

“Tentu saja momen-momen akan mendapatkan baju baru itu sangat special dan sulit dilupakan. Kadang saya juga punya permintaan. Permintaannya berupa minta dibeliin petasan. Nah petasan ini biasanya dinyalakan tiap menjelang atau sepulang tarawih. Atau kadang juga pas menjelang sahur,” kenangnya.

Selain petasan, momen seru lainnya masa kecil yang cukup berkesan adalah membuat meriam kecil dari karbit dicampur air pada bambu. Urusan ini biasanya sudah dipersiapkan sebelum puasa tiba. Kakek saya yang mengurus mempersiapkan bambunya. Saling tembak dengan teman tetangga. Berlomba paling besar dentuman suaranya. 

Puncaknya hari H malam Lebaran. Selain, keseruan takbiran yang bersahutan antar masjid, juga adu meriam antar kampung hingga bermalam-malam. Selain menggunakan bambu, alat yang dipakai untuk adu meriam antar kampung ini adalah dibuat dari pohon kawung. Kadang sampai pasca-lebaran berlangsung. 

“Kampung mana yang paling mampu dan lama bertahan. Kampung yang paling lama dengan stok bahan peledak karbit, itulah yang jadi pemenangnya,” katanya. 

Tak hanya itu, menurut dia, selama Ramadhan pada masa kanak-kanaknya orang tua mengajarkan untuk memiliki rasa sosial yang tinggi. Ia sering mengantarkan makanan kepada kerabat dan tetangga. 

“Saling tukar makanan. Ini dilakukan H-1 lebaran. Makanannya diolah sendiri berupa tumis dan daging,” pungkasnya.  

Pewarta: Abdullah Alawi 
 


Nasional Terbaru