• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 8 Mei 2024

Keislaman

Kajian Kitab Tijan Darori: Bagian IV

Kajian Kitab Tijan Darori: Bagian IV
Foto: NU Online Jabar
Foto: NU Online Jabar

Tuhan Itu Wajib Ada

فَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى الْوُجُودُ

Maka Wajib pada ḥaqqnya Allah s.w.t., sifat Wujūd (ada).

Penjelasan:

  1. Maksud wajib di sini adalah wajib ‘aqli, artinya adanya Allah adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh akal. Tidak adanya Allah adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti.
  2. Tinjauan hukum syara’ terhadap wajib ‘aqli wujudnya Allah
  • Wajib kepada setiap mukallaf meyakini wujudnya Allah dengan konsekuensi mendapatkan pahala dengan keyakinan tersebut serta terpenuhinya salah satu syarat iman. Sebaliknya, disiksanya mukallaf yang tidak meyakini wujudnya Allah serta divonis sebagai orang kufur.
  • Syara’ memperkuat pendapat hukum akal dalam surat al-Ra’du ayat 16:

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ ۚ
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah".

3. Macam-macam Wujud

  • Wujud idofi: yaitu adanya sesuatu bersandar kepada sesuatu yang lain, seperti adanya bapa karena adanya anak, adanya kakek karena adanya cucu.
  • Wujud ‘aridhi: yaitu adanya sesuatu tidak bersandar kepada sesuatu yang lain, akantetapi didahului dengan tidak ada. Seperti adanya alam.
  • Wujud hakiki: yaitu yaitu adanya sesuatu bersandar kepada sesuatu yang lain dan tidak didahului dengan ketiadaan, yaitu wujudnya dzat Allah. 


4. Cara-cara mengetahui wujud.

  • Dengan hissi (panca indra)

Artinya, wujud dapat diketahui dengan pancaindra, seperti cahaya diketahui dengan mata, suara diketahui dengan telinga, bau wangi dengan diketahui dengan hidung, asin manis diketahui oleh lidah, kasar lembut diketahui dengan telapak tangan. 

  • Dengan ‘Aqli (akal)

Artinya wujud yang tidak dapat diketahui dengan panca indra tapi dapat diketahui dengan akal, seperti pintar-bodoh, senang-susah. Oleh karenanya, menurut akal “ketika diketahui segala sesuatu yang  diciptakan maka akal akan menemukan yang menciptakan”. Seperti wujudnya alam (makhluq) akal hanya mampu menemukan wujudnya yang menciptakan alam (khaliq) yaitu Tuhan.  Adapun Tuhan tersebut di sebut Allah, itu berdasarkan wahyu bukan berdasarkan akal. Wujud ‘aqli Allah tidak dapat disamakan dengan wujud ‘aqlinya makhluq, seperti wujud’alina ruhani itu tetap wujud ‘alinya Allah yaitu mukhalfatul lilhawadisi. Karena wujud ‘alinya Allah adalah qodim, selain Allah adalah hadis.

وَضِدُّهُ الْعَدَمُ

Kebalikannya adalah sifat ‘Adam (tidak ada).

Penjelasan:

  1. Kebalikan dari sifat wujud adalah ‘adam (tidak ada). Karena sifat sujud wajib bagi Allah maka sifat ‘adam mustahil bagi-Nya. Lafadz Dhid menurut istilah digunakan untuk dua hal yang tidak bisa disatukan, akan tetapi bisa tidak ada dua-duanya. Seperti hitam dan putih tidak bisa kumpul pada satu titik tapi bisa hilang dua-duanya seperti di balut dengan warna merah. Sedangkan menurut bahasa makna dhid adalah sama dengan makna naqidh menurut istilah, yaitu sesuatu yang tidak bisa kumpul dan tidak bisa tidak ada. Yakni perlawanan ada dan perlawanan tidak ada. Artinya ada dan tidak ada itu ada serta tidak mungkin kumpul, dan tidak bisa “ada itu tidak ada  dan tidak ada itu tidak ada.  Seperti wujud dan ‘adam tidak mungkin bisa kumpul pada satu dzat, “tidak mungkin satu dzat, ya ada ya tidak ada” dan tidak mungkin satu dzat dikatakan adanya tidak ada atau tiadanya tidak ada.

وَالدَّلِـيْلُ عَلَى ذلِكَ وُجُودُ الْمَخْلُوْقَاتِ

Dalil bahwa Allah s.w.t., itu ada adalah adanya makhluk (semua hal selain Allah).

Penjelasan:

  1. Maksudnya, dalil yang menunjukkan wujudnya Allah dapat diketahui dengan adanya berbagai ciptaan-Nya.
  2. Setiap sifat yang wajib bagi Allah disertai dengan dengan dalil, karena untuk menyempurnakan kema’rifatan kepada Allah, diantara syarat ma’rifat harus mengetahui dalilnya.
  3. Adapun dalil apabila dilihat dari isinya dibagi dua yaitu:
  • Dalil ijmali (global, dasar) yang hukum mengetahuinya adalah fardu ‘ain
  • Dalil tafsili (rinci) yang hukum mengetahuinya adalah fardhu kifayah. Adapun dalil yang digunakan dalam kitab tijan termasuk dalil ijmali


4.    Dalil dilihat dari metodenya terbagi dua, yaitu:

a.    Dalil ‘aqli, metode menemukan dan mengetahui dalil dengan menggunakan akal gharizi bukan akan thab’i

b.    Dalil Naqli yaitu dalil yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis yang hanya digunakan oleh orang-orang mukmin. 


Adapun orang-orang kafir, mereka tidak bisa diberikan dalil dengan al-Qru’an dan Hadis karena meraka didahului dengan tidak percaya kepada keduanya. Berbeda kalau diberi dalil ‘aqli. 


5.    Dalil adalah ciri menurut kaidah:

كلما وجد المعلم وجد المعلم ولا عكس

Apabila diketahui yang menandai maka diketahui juga tandanya tapi tidak sebaliknya. “Ciri NU hijau tapi hijau belum tentu NU”. “Setiap khaliq tandanya adalah adanya makhluq”. Adanya makhluk merupakan tanda khaliq, bukan definisi adanya Allah. Kesimpulannya, Keberadaan Allah itu tidak membutuhkan dalil, akan tetapi imannya mukmin terhadap wujudnya Allah butuh terhadap dalil untuk memperkokoh keimananya. 


6.    Jalan pikiran dari adanya makhluk yang menunjukkan kepada adanya Allah dapat ditempuh dengan beberapa jalan pikiran:

a.    Makhluk itu tidak kosong dari sifat baru, seperti adanya gerak. 

b.    Gerak itu pindah dan diam

c.    Karena makhluk itu pasti berubah maka mesti menjadi baru. 

العالم متغير (مقدمة صغرى) وكل متغير حادث (مقدمة كبرى ) ينتج ان العالم حادث (نتيجة)

d.    Sesuatu yang tidak ada menjadi ada, pasti sesuatu tersebut adalah diciptakan. Dengan demikian langit dan  bumi itu adanya karena diciptakan. 

e.    Setiap ada ciptaaan pasti ada yang menciptakan.

f.    Tidak ada yang bisa mengadakan dari tidak ada kecuali Tuhan yang Maha Pencipta.

g.    Tuhan pencipta alam semesta disebut Allah 

h.    Allah disebut Allah berdasarkan pada wahyu. 


7.    Sifat Wujud disebut sifat nafsiyyah yaitu sifat yang tetap bagi dzat Allah, bukan sifat salbiyyah atau pun sifat ma’ani ataupun maknawi.

Sifat 20 yang wajib bagi Allah dibagi menjadi empat, yaitu: pertama, Sifat nafsiyyah: yaitu sifat yang berhubungan dengan Dzat Allah. Sifat nafsiyah ini ada satu, yaitu wujûd. Kedua, Sifat Salbiyyah    : yaitu sifat yang meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni sifat-sifat yang tidak sesuai, atau sifat yang tidak layak dengan kesempurnaan Dzat-Nya. Sifat Salbiyah ini ada lima, yaitu: qidâm, baqâ’, mukhâlafatu lil hawâditsi, qiyâmuhu binafsihi, dan wahdâniyat.


Ketiga Sifat ma’ani: yaitu sifat- sifat abstrak yang wajib ada pada Allah. Yang termasuk sifat ma’ani ada tujuh yaitu: qudrat, irâdat, ‘ilmu, hayât, sama', bashar, kalam. Keempat Sifat ma’nawi: adalah kelaziman dari sifat ma’ani. Sifat ma’nawiyah tidak dapat berdiri sendiri, sebab setiap ada sifat ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah. Bila sifat ma'ani telah didefinisikan sebagai sifat yang ada pada sesuatu yang disifati yang otomatis menetapkan suatu hukum padanya, maka sifat ma'nawiyah merupakan hukum tersebut. Artinya, sifat ma'nawiyah merupakan kondisi yang selalu menetapi sifat ma'ani. Sifat 'ilm misalnya, pasti dzat yang bersifat dengannya mempunyai kondisi berupa kaunuhu 'âliman (keberadaannya sebagai Dzat yang berilmu). Dengan demikian itu, sifat ma'nawiyyah juga ada tujuh sebagaimana sifat ma'ani.


 

KH Ramdan Fawzi. Wakil Katib Syuriyah PWNU Jawa Barat


Keislaman Terbaru