Maulana Jalaludin Rumi, penyair sufi besar, ditanya santrinya tentang siapakah yang bisa disebut Ulama atau Hakim (bijakbestari) ?
Ia, seperti kebiasaannya, tidak menjawab langsung dengan bahasa yang ruwet, seperti pada umumnya orang. Ia selalu memberikan pengetahuan kepada santri dan masyarakatnya melalui contoh atau perumpamaan yang mungkin dipandang lebih mudah dipahami mereka.
Dia mengatakan : Ulama atau seorang bijak besatari itu bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Akarnya menghunjam ke dalam tanah. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat lalu menubuhkan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Tak lama kemudian ia memunculkan kuncup bunga, mekar dan menghasilkan buah yang lebat.
Meski sepertinya pohon itu yang menghasilkan bunga dan buah-buahan itu, tetapi ia sendiri tak mengambilnya. Buah-buah itu untuk orang lain atau diambil mereka”. Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka ia sesungguhnya berkata :
تعلمنا ان نعطى ولا تعلمنا ان نأخذ
“Kami diajari untuk memberi dan tidak diajari untuk mengambil/meminta” .
Penyair Persia termasyhur, Sa’di Syirazi, menyampaikan pandangan yang sangat indah, tentang siapa ulama bijak bestari atau sufi. Ia mengatakan :
اان العارف أو الصوفى هو الذى يخدم الناس لا الذى يختار العزلة والاعتكاف
Seorang sufi adalah dia yang melayani manusia, bukan yang memilih mengasingkan diri dari hirukpikuk dunia dan duduk-duduk saja di masjid (i’tikaf).
Ya, seorang ulama dan sufi mengabdikan dirinya untuk melayani manusia yang papa, yang hatinya terluka dan membagi cahaya dan menerbarkan cinta. Bukan sebaliknya.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU