• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Hikmah

Teladan Nabi Ibrahim AS (3): Teguh dan Santun dalam Berdakwah

Teladan Nabi Ibrahim AS (3): Teguh dan Santun dalam Berdakwah
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Rudi Sirojudin Abas

Allah SWT berfirman:

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ ۙ

Artinya: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 214).

Dalam Kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’ani Al-Quranul Azim (Wahbah Zuhaili dkk, Darul Fikr Damaskus, 1416 H, hal. 377), ayat di atas terkait dengan fase awal dakwah Nabi Muhammad SAW. 

Pada awal fase Islam,  dakwah Nabi SAW hanya ditujukan kepada kerabat-kerabat terdekatnya seperti dari Bani Hasyim dan Bani Mutalib. Dakwahnya pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini disebabkan karena selain orang-orang saat itu belum siap untuk menerima dakwah. Sarana dan prasarana untuk berdakwah pun belum sepenuhnya dimiliki Nabi Muhammad SAW.  

Baru setelah Nabi SAW mempersunting Khadijah (wanita yang saat itu disegani karena kekayaannya), dan sebagian penduduk Makkah mulai mau menerima dakwah Nabi, Nabi SAW dan para sahabatnya kemudian diperintah Allah untuk berdakwah secara terang-terangan. Dakwahnya pun tidak dilakukan di satu tempat (Makkah) saja, melainkan ke tempat yang lain (Madinah). Sejarah mencatat, fase dakwah Nabi SAW terbagi menjadi dua, yakni fase Makkah dan fase Madinah. 

Berkaitan dengan dakwah Nabi SAW yang harus dilakukan secara terang-terangan dan perintah Nabi SAW untuk berhijrah, Allah SWT berfirman dalam QS. al-Hijr ayat 94 dan QS. an-Nahl ayat 41 sebagaimana berikut:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ.

Artinya: “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (QS al-Hijr [15]: 94).

وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا فِى اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً ۗوَلَاَجْرُ الْاٰخِرَةِ اَكْبَرُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَۙ.

Artinya: “Dan orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia. Dan pahala di akhirat pasti lebih besar, sekiranya mereka mengetahui.” (QS an-Nahl [16]: 41).

Jika kita cermati, para nabi dan rasul terdahulu ketika berdakwah, berdakwahnya pun dilakukan dan ditujukan kepada kerabat-kerabat dekat terlebih dahulu. Misalnya Nabi Nuh AS berdakwah kepada anaknya Kan’an (QS Hud [11]: 42) dan istrinya; Nabi Musa AS berdakwah kepada bapak angkatnya Fir’aun (QS Taha [20]: 24, 43-44) (QS al-Furqan [25]: 36) (QS asy-Syu’ara [26]: 15-17) (QS an-Nazi’at [79]: 17-20); serta Nabi Ibrahim AS berdakwah kepada bapaknya Azar dan kaumnya (QS al-An’am [6]: 74) (QS Maryam [19]: 42-48) (QS al-Anbiya [21]: 52-67) (QS asy-Syu’ara [26]: 70-82) (QS al-Ankabut [29]: 16-17) (QS az-Zukhruf [43]: 26-27).

Ketika Nabi Ibrahim AS Berdakwah Kepada Bapaknya

Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai seorang yang mempunyai sipat penyantun dalam berdakwah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS at-Taubah ayat 114 dan QS Hud ayat 75.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ.

Artinya: “… Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS at-Taubah [9]: 114)

اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَحَلِيْمٌ اَوَّاهٌ مُّنِيْبٌ.

Artinya: “Ibrahim sungguh penyantun, lembut hati dan suka kembali (kepada Allah).” (QS Hud [11]: 75).

Sifat penyantun ini lah yang dilakukan Ibrahim AS ketika berdakwah kepada bapaknya. Karena Ibrahim tahu bahwa bapaknyalah yang paling dekat dengannya, maka kepadanyalah ia mulai berdakwah. Ibrahim berpikir bahwa orang yang pertama kali harus ditunjuki, dihindarkan dari kesesatan, dan diberi nasihat dengan nasihat yang telah diberikan Allah kepada Ibrahim yaitu bapaknya sendiri. Baru setelah itu berdakwah kepada kaumnya.

Dalam menyampaikan dakwahnya, Ibrahim sangat hati-hati. Sebagai orang yang akan memberikan nasihat, juga sebagai seorang anak, Nabi Ibrahim tidak sekali-kali menghina dan merendahkan terhadap apa-apa yang dilakukan (disembah) oleh bapaknya. Kata-kata yang dikeluarkan pada saat berdakwah pun adalah kata-kata yang sopan, menarik hati, tersusun rapi, lemah lembut, serta penuh dengan hormat.

Untuk menarik perhatian bapaknya, mula-mula Ibrahim menyebutkankan dirinya sebagai anak dari bapaknya itu sendiri. Hal ini dilakukan semata-mata agar saat menyampaikan dakwah, suasa yang akan terjadi adalah tejalinnya perasaan kasih sayang antara anak dan bapak sehingga proses dakwah akan berjalan dengan baik.

Kemudian, Ibrahim AS mulai bertanya kepada bapaknya atas pertimbangan dan alasan-alasan apakah yang menyebabkan bapaknya menyembah patung. Dengan cara yang halus, Ibrahim berkata kepada bapaknya, bahwa ia mendapatkan ilmu dan wahyu untuk menyadarkan bapaknya hanya dari Allah. Bukan didapatkan dari nafsu dirinya.

Dengan hormat dan khidmat, disertai dengan budi pekerti yang baik, penuh tatakrama dan kesopanan, Ibrahim AS menyampaikan dakwahnya dengan kata-kata yang teratur dan sistematis. Ibrahim mengajak bapaknya sendiri untuk percaya kepadanya, untuk sama-sama mengenal Allah, meninggalkan batu patung yang tak mampu mendatangkan manfaat sekecil apapun.

Kisah Ibrahim AS ketika berdakwah kepada bapaknya tersebut dapat dilihat pada ayat berikut:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا. يٰٓاَبَتِ اِنِّي قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يٰٓاَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطٰنَۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا. يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا.

Artinya:  “(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.” (QS Maryam [19]: 42-45).

Namun, apa yang dicoba Ibrahim AS untuk menarik hati bapaknya belum mendapatkan sambutan yang baik. Bapaknya bukan bertambah insaf dan dekat dengan Allah, malah bertambah jauh dari apa yang diinginkan oleh Ibrahim sendiri. Bapak Ibrahim kemudian berkata: “Apakah engkau benci kepada Tuhanku wahai Ibrahim? Kalau kamu tidak kembali dari tindakanmu itu, maka akan aku lempar kamu dengan batu. Akan saya hancurkan badanmu. Kamu akan tahu sendiri bagaimana jadinya jika saya sudah marah. Sebelum saya marah, lebih baik kamu pergi saja. Tidak ada lagi tempat buatmu di rumahku ini. Dan tidak ada tempat bagimu dalam hatiku.” Demikianlah yang diucapkan bapak Ibrahim. 

Peristiwa di atas Allah kisahkan dalan QS Maryam ayat 46 sebagaimana berikut.

قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا.

Artinya: “Dia (ayahnya) berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (QS Maryam [19]: 46).

Sebagai orang yang penuh hormat kepada bapaknya, semua sanggahan dan bantahan yang didapat Ibrahim diterimanya dengan penuh lapang dada, hati tenang dan jiwa yang teguh. Malah Ibrahim masih tetap mengharapkan agar bapaknya dapat beriman kepada Allah SWT dengan cara memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya dan agar bapaknya diselamatkan oleh Allah SWT.  Ucapan salam dan permintaan ampun Ibrahim untuk bapaknya dapat dilihat pada ayat-ayat berikut.

قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا.

Artinya: “Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS Maryam [19]: 47).

وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

Artinya: “dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat,” (QS asy-Syu’ara [26]: 86).

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ اِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ اِنَّا بُرَءٰۤؤُا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاۤءُ اَبَدًا حَتّٰى تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗٓ اِلَّا قَوْلَ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ لَاَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ اَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍۗ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَاِلَيْكَ اَنَبْنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Artinya: “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS al-Mumtahanah [60]: 4).

Permintaan ampun Nabi Ibrahim AS atas bapaknya itu diucapkan sebelum ia mengetahui bahwa bapaknya mati dalam keadaan tidak beriman kepada Allah SWT. Setelah bapak Ibrahim meninggal Ibrahim AS tidak melakukannya dan berlepas diri dari perbuatan tersebut.

Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ.

Artinya: “Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS at-Taubah [9]: 114).

Dan dari peristiwa tersebutlah kemudian awal mula hukum memintakan ampun bagi mereka yang meninggal tanpa membawa iman kepada Allah SWT adalah haram. Berkenaan dengan ini Allah SWT berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ.

Artinya: “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.” (QS at-Taubah [9]: 113). 

Pertanyaannya, lantas apa hikmah yang dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahima AS sebagaimana penjelasan di atas? Tugas para nabi dan rasul tiada lain hanyalah menyampaikan dakwah dengan sejelas-jelasnya kepada umatnya. Adapun masalah hidayah itu adalah urusan Allah SWT. Dan bukan menjadi tugas para rasul untuk memberikan hidayah kepada kaumnya sebagaimana firman Allah SWT وَمَا عَلَى الرَّسُوْلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ  (Dan kewajiban rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan jelas).

Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِلَّ قَوْمًاۢ بَعْدَ اِذْ هَدٰىهُمْ حَتّٰى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَّا يَتَّقُوْنَۗ اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah mereka diberi-Nya petunjuk, sehingga dapat dijelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS at-Taubah [9]: 115). Wallahu’alam.

Penulis adalah peneliti kelahiran Garut


 


 

 


Hikmah Terbaru