• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Mengembalikan Tradisi Keilmuan Islam yang Hilang (3)

Mengembalikan Tradisi Keilmuan Islam yang Hilang (3)
Ilustrasi: NUO.
Ilustrasi: NUO.

Sejak masa itu keilmuan Islam kemudian dipilah-pilah menjadi ilmu-ilmu fardhu ‘ain (kewajiban individual) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Yang termasuk ilmu-ilmu fardhu ‘ain menurutnya adalah ilmu tauhid,  ilmu al sirr (ilmu tentang rahasia-rahasia dan kondisi-kondisi hati) dan ilmu syari’ah (ilmu tentang kewajiban dan larangan agama). Sementara ilmu-ilmu fardhu kifayah antara lain menyangkut apa yang sekarang kita sebut dengan ilmu-ilmu umum, seperti kedokteran, fisika, matematika, biologi dan sebagainya, di samping sejumlah ilmu agama.


Karya-karya al Ghazali terakhir, antara lain "Bidayah Al Hidayah", terutama karya masterpiece nya,  “Ihya Ulum al Din”, jelas mencerminkan kecenderungan utama al Ghazali. Pikiran-pikiran al Ghazali di sini telah memberikan pengaruh yang luar biasa pada tradisi berfikir kaum muslimin, bahkan sampai hari ini. Kesan yang diterima kaum muslimin sesudahnya adalah sebuah wacana dikotomistik. Ilmu-ilmu agama dipisahkan dan dibedakan dari ilmu-ilmu umum. Ada yang disebut ulum al din dan ulum al dunya.


Lebih jauh dari itu adalah munculnya anggapan bernada setereotyping, subordinasi dan marginalisasi ilmu-ilmu umum. Opini umum kaum muslimin mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama (ulum al din) adalah ilmu-ilmu yang harus diutamakan karena akan mengantarkan kepada keselamatan hidup di akhirat yang penuh bahagia, sementara ilmu-ilmu umum (ulum al dunya) dianggap sebagai ilmu-ilmu sekuler yang bernilai rendah. 


Meskipun sejumlah pemikir muslim sesudah al Ghazali, seperti Ibnu Rusyd berusaha membangkitkan kembali rasionalisme, akan tetapi ternyata ia tidak mampu menandingi kebesaran pengaruh Imam Abu Hamid al Ghazali, sang Hujjah Al Islam itu. Sayyed Hosen Nasr,  intelektual muslim dan guru besar di berbagai universitas di dunia Barat mengatakan :”lepas dari apakah ini baik atau buruk, kehidupan intelektual kaum muslimin sejauh ini selalu mengikuti arah yang telah dirumuskan oleh Imam al Ghazali sekian abad yang lalu”. 


Pendeknya seluruh wilayah keilmuan Islam, terutama yang berkembang dan masih dipertahankan dalam sistem pendidikan di pusat-pusat pendidikan tradisional, Pondok Pesantren akhirnya tetap berada dalam kerangka keilmuan klasik-konvensional yang menekankan pada kajian-kajian keilmuan Islam melalui metodologi tekstualistik dan mistis. Dan atas pengaruh ini, kemudian ada adagium yang mendefinisikan ilmu sebagai “ma yu’raf wa yutqan”, sesuatu yang diketahui dan dikukuhkan. 


Keilmuan Islam untuk selanjutnya mengalami proses sakralisasi (“taqdis al afkar al diniyah”), sakralisasi pemikiran keagamaan dan mistifikasi. Produk-produk ilmiyah berikut metodologinya seakan-akan tidak boleh disentuh, dirubah dan diterobos, tanpa sebuah kesadaran penuh bahwa watak ilmiyah sesungguhnya adalah menerobos dan dinamis.


Merumuskan Kembali metodologi keilmuan Islam


Kerangka berfikir dan metodologi klasik yang tekstualistik dan mengalami proses mistifikasi seperti itu, bagaimanapun untuk masa kini tampaknya tidak lagi diharapkan mampu memberikan jawaban pemecahan atas berbagai persoalan kehidupan yang senantiasa berjalan bersama dengan proses perubahan kehidupan yang terus bergulir. Realitas yang tak terbantahkan menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran tradisional kaum muslimin  tidak mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.


Satu pertanyaan yang menyentak telinga kaum muslimin tetapi juga realistis, pernah dilontarkan pembaru muslim dari Mesir, Muhammad Abduh : “limadza taakhkhara al muslimun wa taqaddama ghairuhum” (Mengapa kaum muslimin mundur dan mengapa selain mereka maju).


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru