Ini cerita kecil pengalaman hajiku yang tak pernah bisa aku lupakan. Tahun 1981 aku haji pertama. Aku berangkat dari Kairo, naik kapal laut, dua malam. Dari pelabuhan Port Sa'id Mesir ke Mina' (pelabuhan) Jeddah. Aku haji "backpacker". Mengasyikkan dan mengesankan. Di Makkah aku ikut numpang teman mukimin. Di Syib Ali, dekat jabal Qubaisy, kira-kira 100 M dari Masjidil Haram.
Suatu hari, aku mengantar jamaah haji dari kampung ku, ziarah ke Jabal Tsaur, gunung tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy.
Di situ, di bawah gunung itu, aku ambil kamera, lalu jeprat-jepret. Tiba-tiba ada Askar (satpol PP). Aku lari. Dia mengejar dan merampas kameraku. Katanya :"Haram, haram, mamnu' tashwir", dilarang ambil foto. Aku bersedih hati. Karena itu juga merupakan usahaku agar dapat uang untuk ongkos kembali ke Kairo. Hicks, Hicks. Para jamaah menyaksikan itu dengan ekspresi berduka dan sebagian dari mereka menangis.
Ya, saat itu foto dilarang, haram, baik di Masjid Haram, maupun di tempat lain yang bersejarah, termasuk di jabal Abi Qubais. Mengapa dilarang?.
Kata teman2, jika di Masjidil haram, larangan itu tepat, karena jika dibolehkan, nanti orang haji atau umrah sibuk foto selfie. Ibadah jadi terganggu, tidak khusyuk. Ibadah haji juga bukan piknik atau bersenang-senang. Tapi menghadap Allah.
Nah, hari ini kita menyaksikan para jemaah pada Selfi, sendiri-sendiri atau bersama-sama, berombongan, bahkan ada yang siaran langsung melalui alat komunikasi modern bikinan orang asing. Lalu foto nya diupload dan disebarkan via media sosial. Zaman memang telah berubah dan semuanya menjadi baru.
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU