Tokoh

Buya Hamka

Jumat, 17 Mei 2024 | 11:16 WIB

Buya Hamka

Buya Hamka. (Foto: FB Nadirsyah Hosen).

Inilah putra seorang ulama besar yang kemudian juga menjadi ulama yang harum namanya dalam sejarah Islam di Indonesia. 


Pengarang yang sangat produktif dan lebih dikenal dengan akronim namanya: HAMKA. Jarang saat ini kita temui seorang ulama di tanah air yang merupakan aktivis, wartawan, sastrawan, sejarawan, muballigh, sufi dan sekaligus mufassir.


Pernah berseberangan secara politik dengan Soekarno dan dua tahun lamanya masuk penjara di Tjimacan dengan tuduhan subversif mau menggulingkan presiden. Mengalami tekanan mental yang luar biasa, Hamka bahkan mengakui dia sempat hendak bunuh diri. “Saya menasehati banyak pembaca lewat buku dan karya saya, tapi pada momen depresi itu saya lupa menasehati diri saya sendiri,” kenangnya. 


Namun saat Soekarno wafat, justru Soekarno yang berwasiat untuk dishalatkan oleh Hamka. Ketika mau memimpin shalat jenazah, ada yang  protes kenapa mau menyalatkan jenazah seorang yang dianggap munafik padahal Allah dulu mencegah Rasul menyalatkan Abdullah bin Ubay, Hamka menjawab kalem: “Rasul diberitahu Allah siapa yang munafik. Saya gak dapat wahyu untuk menentukan siapa yang munafik atau tidak.”


Ketika Pramoedya dan kelompok kiri berpolemik dengan Hamka, beliau tidak dendam seperti ditunjukkannya belasan tahun kemudian saat anak perempuan Pram minta tolong Hamka membimbing syahadat calon suaminya.


Hamka seorang tokoh Muhammadiyah, namun soal penentuan awal dan akhir Ramadan, beliau malah memakai ru’yah.


Hamka pernah berdebat sengit dengan Abahku saat beliau menolak usulan Abah untuk membuat MUI. Ketika arah angin politik berubah arah, MUI dibentuk dan Hamka justru menerima tawaran sebagai Ketum pertama. Bagi Abahku, Hamka bukan ulama kategori ahli fiqh. Dan Abahku sering berbeda pandangan dengannya. 


Akan tetapi ketika aku mulai ngaji soal tasawuf dengan nuansa spiritual dan riyadhah macam-macam layaknya santri, Abahku “menyelamatkan” aku dengan membelikan buku Tasawuf Modern karya Hamka. Seakan Abah mengingatkanku: “Belum waktunya nak kamu mau jadi wali. Baca buku Hamka saja agar bisa mengamalkan tasawuf dalam konteks modern”.


Para ulama kita dulu memang ilmu dan akhlaknya penuh pesona.


​​​​​​​KH Nadirsyah Hosen,  salah seorang Dosen Senior Monash Law School