Sejarah Pesantren Al-Munawaroh Ciloa Garut: Warisan Ilmu, Adab, dan Perjuangan Sejak 1918
Jumat, 27 Juni 2025 | 08:18 WIB

KH Raden Muhammad Romli, pendiri Pesantren Al-Munawaroh h Ciloa Kabupaten Garut. (Foto: Dok. Pribadi).
Di antara sejuknya angin pegunungan Limbangan, di Kampung Ciloa, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut, berdiri sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah melampaui usia satu abad. Dialah Pondok Pesantren Al-Munawaroh Ciloa, salah satu pesantren tertua di wilayah Garut, yang sejak tahun 1918 terus menyalakan obor ilmu, adab, dan perjuangan.
Pesantren ini didirikan oleh KH Raden Muhammad Romli, seorang ulama kharismatik dari Cikelepu, Limbangan. Dengan berbekal semangat dakwah dan cinta kepada ilmu, beliau membangun pesantren sebagai benteng peradaban di tengah masa-masa sulit penjajahan. Dari sebuah lembaran sejarah yang sederhana, diketahui bahwa tahun 1918 menjadi titik awal berdirinya Pesantren Ciloa nama awal pesantren ini sebelum berganti menjadi Al-Munawaroh.
Baca Juga
Dua Mata Pisau Hijrah Teknologi
Namun perjalanan pesantren tidak selalu mulus. Sepeninggal KH Raden Muhammad Romli pada era 1940-an, pesantren mengalami masa-masa surut. Situasi perang kemerdekaan membuat aktivitas pendidikan terhenti. Dua putra beliau, KH. Raden Ahmad Kosasih (Mama Memed) dan KH. Raden Muhammad Hasyim (Mama Ende), sempat melanjutkan perjuangan, namun kondisi keamanan yang genting membuat KH. Kosasih mengungsi ke Larang, Bandung, dan KH. Hasyim gugur sebagai syuhada dalam pertempuran bersama pasukan Hizbullah tahun 1948.
Kondisi ini menyebabkan Pesantren Ciloa memasuki masa stagnasi. Hingga pada tahun 1950, datang kembali harapan baru dari arah Bekasi. KH. Raden Ahmad Jawari, menantu KH Raden Muhammad Romli, kembali ke Garut setelah bermukim di Cibarusah. Di sana, beliau bukan sekadar berdagang, tetapi juga aktif mengajar, membentuk murid-murid dan menghidupkan ruh pesantren meski jauh dari tanah asal. Kepulangannya ke Ciloa bukan hanya karena kerinduan, tetapi panggilan tanggung jawab untuk melanjutkan amanah perjuangan.
Tahun 1955, KH. Ahmad Jawari resmi menghidupkan kembali Pesantren Ciloa. Sosok yang kemudian dikenal sebagai Mama Ciloa ini membawa serta para santri dari daerah perantauannya di Bekasi. Di bawah asuhannya, pesantren kembali berkembang dan dikenal luas sebagai lembaga salafiyah yang fokus pada penguatan dasar-dasar keilmuan Islam, terutama dalam bidang nahwu dan shorof. Bahkan, santri yang telah menyelesaikan kitab Alfiyah diarahkan untuk melanjutkan ke pesantren lain sebagai bentuk ketawadhuan beliau, meskipun beliau sendiri menguasai banyak bidang keilmuan.
Selama empat dekade, KH. Ahmad Jawari mengasuh pesantren hingga wafat pada tahun 1995 dalam usia 63 tahun. Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh generasi ketiga, yaitu Drs. KH. Agus Muhammad Sholeh, menantu dari KH. Aceng Kholil dan cucu menantu KH. Ahmad Jawari.
Di bawah kepemimpinannya, Pesantren Al-Munawaroh Ciloa memasuki babak baru. Beliau memperluas spektrum keilmuan yang diajarkan, mencakup tafsir, hadits, fiqih, hingga tauhid. Seiring perubahan zaman, beliau menyadari pentingnya adaptasi pendidikan pesantren terhadap kebutuhan masyarakat. Namun prinsipnya jelas: bukan mengikuti zaman, tapi mengimbangi zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai pesantren.
Atas dasar itulah, lembaga pendidikan formal pun mulai dibentuk. Tahun 2002, berdirilah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Khusus Ciloa, dan pada tahun 2015 menyusul SMA IT Ciloa. Langkah ini menjadi terobosan penting dalam menjembatani pendidikan salaf dengan pendidikan umum, demi membekali santri dengan kemampuan menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan ruh keilmuannya.
Kini, Pesantren Al-Munawaroh Ciloa telah melewati satu abad perjalanannya. Santri dari berbagai penjuru terus berdatangan untuk menimba ilmu, membentuk diri, dan menjadi bagian dari mata rantai keilmuan yang tak terputus. Harapan besar terus disemai: agar santri-santri Ciloa tidak hanya menjadi penghafal kitab, tapi juga pembawa risalah Islam di tengah masyarakat; tidak hanya cerdas dalam nalar, tapi juga kuat dalam adab dan keikhlasan.
KH. Agus Muhammad Sholeh dalam satu kesempatan mengatakan bahwa perjuangan mengelola pesantren ini tidak akan pernah lepas dari ujian. Namun ia menekankan bahwa pondasi terpenting dalam perjuangan adalah himmatun ‘aliyah (semangat tinggi), ikhlas, dan orientasi lillahi ta’ala. Pendidikan bukan semata soal kurikulum, tapi tentang membentuk manusia yang diridhai Allah.
Dan demikianlah Ciloa hari ini: bukan sekadar pesantren, tapi pusaka peradaban. Sebuah tempat di mana ilmu diajarkan, akhlak ditempa, dan generasi dibina untuk menjadi cahaya di masa depan.
Hasemi Fauziah, salah seorang Alumni Pesantren Ciloa sekaligus Kontributor NU Online Jabar