Opini

Mendorong Optimalisasi Peran NU

Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:02 WIB

Mendorong Optimalisasi Peran NU

(Ilustrasi: NU Online).

Tepat pada tanggal 17 Agustus 2024, bangsa Indonesia memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79. Kemerdekaan menjadi buah dari sebuah perjalan panjang bangsa dalam menapaki jalan menuju kemerdekaan atau yang dikenal dengan era perjuangan. Sementara 79 tahun adalah perjalanan Panjang bangsa Indonesia dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara setelah dalam era kemerdekaan. 


Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, bahwa peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945 selalu dimeriahkan dengan berbagai bentuk serimonial dan seolah menjadi ibadah ritual bangsa dan masyarakat Indonesia. Sebut saja berbagai bentuk pesta rakyat, berbagai pertandingan dan perlombaan olah raga serta pentunjukan hiburan adalah cara-cara masyarakat kita memperingatai hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Berbagai bentuk kegiatan seremonial dan ritual tersebut adalah elaborasi dari semangat patriotisme masyarakat Indonesia sekaligus sebagai wujud syukur atas kemerdekaan bumi pertiwi. 


Peran NU dalam Era Perjuangan Kemerdekaan


Tidak bisa dipungkiri, bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran besar dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja kelahiran NU tahun 1926 yang dibidani oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari adalah adalah salah satu embrio sekaligus bukti nyata dari semangat nasionalisme para ulama dan kyai untuk ikut berjuang para era kemerdekaan. 


Bahkan sebelumnya, pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Syubban al-Waṭhān (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda yang di kemudian hari menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim. 


Melalui rahim Nahdlatul Ulama (NU) juga banyak dilahirkan laskar-laskar  ulama dan santri yang ikut berjuang melalui perjuangan fisik. Di kelompok Pemuda NU laskar Ḥizbullāh (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatera Utara tahun 1909. Di kelompok ulama dan kyai lahir lankar Sabīlillāh (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur. Laskar-laskah tersebut melakukan jihad untuk menegakkan agama dan memperjuangkan bangsa dengan cara perjuangan fisik mengusir penjajah Belanda dan Jepang untuk merebut kemerdekaan NKRI.


Transformasi perjuangan ulama dan kyai NU juga dilakukan melalui ruang-ruang batin dan spiritual, sebagai motivasi sekaligus energi batim bagi para lascar yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Doa, Istighotsah, wirid asmā’, ḥizb, dhikir, ṣalawāt dan lain sebagainya adalah wujud nyata implementasi spiritualitas ulama dan kyai NU untuk meningkatkan spririt nasionalisme dan perjuangan para laskar.


Bahkan dalam keputusan Muktamar NU ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936, memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dār al-Salām, yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa-bangsa. Pandangan NU yang ditegaskan melalui keputusan Muktamar ke-2 ini menekankan bahwa perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah SWT. Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihād fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam.


Mengutip M Adnan dalam Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November 1945 (1999), menurut KH. Hasyim Asy’ari, jihad merupakan satu amalan besar dan penting dalam Islam dengan keutamaannya yang sangat banyak sekali, tentunya menjadi kewajiban seorang muslim untuk melaksanakanya bila suatu saat diserang oleh orang kafir. 


Oleh karena itu menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks melawan penjajah Belanda, memberikan fatwa jihad mempertahankan tanah air Indonesia hukumnya wajib atas seluruh orang yang berada di wilayah negara Indonesia yang diserang musuh penjajah kafir Belanda. Dengan demikian NU bersepakat bahwa jihad memerangi penjajah Belanda wajib hukumnya, disinilah pimpinan tertinggi NU terutama KH. Hasyim Asyari sebagai komandan organisasi NU ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad, Hasilnya pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama di kantor NU Jawa Timur mengeluarkan keputusan resolusi jihad itu. 


Karena itulah KH. Hasyim Asy’ari diancam hendak ditangkap Belandal, namun KH. Hasyim Asy’ari tidak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Ḥizbullāh dan Sabīlillāh melawan penjajah. Bahkan ketika Bung Tomo meminta KH. Hasyim mengungsi dari Jombang, Kiai Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan, hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional NU; ḥubbu al-waṭan min alimān (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).


Konsensus Nasional Menuju Re-Inventing Indonesia.


Dalam perjalanan bangsa yang sudah menginjak usia 79 tahun ini, harus diakui tidaklah mudah. Bahkan saat ini modernisasi, globalisasi yang berjalan beriringan dengan demokrasi meskipun berdampak positif bagi perjalanan bangsa, namun dampak negatifnya juga begitu nyata. 


Liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik, hedonisme, individualism yang sedemikian kuat, korupsi yang kian merajalela, konflik SARA, perdebatan soal Nasab, perbedaan aqidah, penguasaan ekonomi oleh segelintir orang/kelompok, pengangguran yang sedemikian besar, politik dagang sapi, kemiskinan, ketimpangan social-ekonomi, dan lain sebagainya adalah bagian dari pergulatan bangsa dan dialektika negara mencari format terbaik dari jati diri bangsa yang benar-benar sesuai dengan karakteristik masyarakat serta akar dan tradisi yang sudah sejak lama tumbuh dan berkembang di Indonesia.


Kesemua hal tersebut di atas, tanpa pengelolaan mitigasi resiko dan managerial pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang visioner dan kuat, dapat berpotensi menjadi ancaman nyata bagi krisis multidimensi. Sebut saja gerakan disintegrasi dan separatisme yang masih terus terjadi, kerusuhan sosial, inflasi yang tinggi, rendahnya kurs rupiah terhadap dollar, pelarian modal dalam negeri ke luar negeri, tawuran massa, konflik horisontal, tereduksinya budaya, etika, norma dan moral masyarakat yang identik dengan budaya ketimuran, maraknya aksi vandalisme, korupsi dan  dan lain sebagainya, adalah sebagian contoh dari hilangnya jati diri bangsa Indonesia sekaligus sebagai bentuk ancaman nyata dari NKRI saat ini dan ke depan. 


Atas dasar tersebut, NU yang memiliki peran besar dalam membangun bangsa, alangkah baiknya segera mendorong hadirnya kembali konsensus nasional untuk peradaban manusia Indonesia menuju bangsa yang berintegritas sesuai dengan karakteristik dan jatidiri asli warga bangsa Indonesia. Dengan mendasarkan pada spirit perjuangan para muassis NU, serta berbekal perjalanan dan pengalaman membangun bangsa dalam usia 79 tahun terakhir, konsensus nasional harus mampu menempatkan kembali substansi negara-bangsa yang dipadukan oleh kultur dan akar tradisi ke-Indonesiaan dalam suatu sistem nilai dan peradaban yang kemudian menjadi ruh dari nasionalisme itu sendiri. 


Setelah sebelumnya hadir konsensus pertama  yakni Sumpah Pemuda 1928, ke-2 Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan ke-3 dalam forum seminar Seskoad di Bandung tahun 1967 sebagai landasan pembangunan era Ode Baru, maka NU perlu mendorong konsensus ke-4, yakni mengembalikan jati diri bangsa Indonesia dengan implementasi


Pancasila dan UUD 1945 secara total dan final. Hal ini cukup beralasan, karena; 


Pertama, Pancasila dan UUD 1945 mengandung pandangan hidup bangsa dan kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur sebagai suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri. 


Kedua, Pancasila dan UUD 1945 adalah  ideologi negara dimana keduanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran bangsa berdasarkan pada nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan perkataan lain diangkat dari unsur yang merupakan materi (bahan) yang diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis dari Pancasila dan UUD 1945.


Konsensus ke-4 dengan dua instrumen itulah yang akan lembali mempertegas konsep negara-bangsa Indonesia. Baik yang mencakup aspek sosiologis (kesukuan, etnik, komunitas, masyarakat), aspek ekonomi (koperasi dan gorong-royong) aspek kultural (yang terklasifikasi karena bahasa, kesusastraan, agama, budaya dan peradaban) serta aspek institusional (yang terbentuk karena negara bagian, kekaisaran, kerajaan, provinsi, dan sebagainya). 
Dengan demikian konsepsi konsensus nasional ke-4 benar-benar berangkat dan dibentuk oleh negara Indonesia itu sendiri. Tak pernah oleh orang atau negara lain, baik itu kesamaan bahasa, atau kesamaan sosiologis negara tersebut, asal negara tersebut memiliki sebuah identitas yang bisa dipegang oleh para rakyat dan masyarakatnya. Ia adalah sebuah negara yang Bernama Indonesia.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor