Ngalogat

Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2)

Rabu, 28 Agustus 2024 | 14:04 WIB

Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2)

Cover Buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan. (Foto: NU Online Jabar/Rudi Sirojudin A).

Selanjutnya, buku ini menyebut bahwa otoritarianisme dan ketertinggalan sosial-ekonomi di dunia Muslim dipengaruhi oleh persekutuan antara ulama-negara di negara masing-masing. Peran ulama dan otoritas negara memiliki andil yang begitu besar terhadap kemajuan sebuah bangsa. Misalnya, sejarah mencatat, pencapaian keilmuan dan sosioekonomi negara-negara Muslim antara abad ke-8 dan ke-12 sangat mumpuni dengan lahirnya tokoh-tokoh kreatif diberbagai bidang seperti Farabi, Biruni, dan Ibnu Sina. Dalam kurun waktu abad itu, dunia Islam gemilang, sementara Eropa Barat menjadi negara-negara yang "termarginalkan".


Namun, mulai pada abad ke-16 dan ke-18 terjadi perubahan yang signifikan di antara dua kawasan: dunia Muslim dan Eropa Barat. Negara-negara Eropa Barat banyak mengalami kemajuan, sementara negara-negara di dunia Muslim menjadi mandek dan terbelakang. Situasi ini terus terjadi hingga pada abad ke-19 penjajahan Barat meluas ke wilayah negara Muslim, meskipun sebelum terjadi penjajahan, dunia Muslim telah mengalami masalah intelektual, sosioekonomi, dan politik sendiri. 


Ahmet T Kuru berpendapat bahwa relasi antara kelas keagamaan, politik, intelektual, dan ekonomi menjadi faktor penting di balik perubahan dan pembalikan antara tingkat perkembangan di setiap negara. Terlebih pada kasus perbandingan dunia Muslim dan Eropa Barat. 


Pada awal sejarah Islam (kisaran abad ke-7 hingga ke-12), para ulama umumnya menjauh dari otoritas politik dan istana. Mereka lebih mengandalkan kaum perniagaan (pedagang) sebagai bagian pengembangan intelektualnya. 


Pada pertengahan abad ke-7, realitas Dinasti Umayah yang mengkonsolidasi kekuasaan dengan kekerasan menyebabkan kekecewaan mendalam dari para sarjana Islam. Keadaan seperti itu terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-8 sampai pertengahan abad ke-9 (akhir Dinasti Umayah dan awal Dinasti Abbasiyah). Pada periode itu, pendiri empat mazhab Sunni utama dalam bidang hukum (fiqh), Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, kesemuanya menolak menjadi abdi negara dan bersifat independen dalam pengembangan intelektualnya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mendapatkan persekusi dari otoritas negara karena sering berbeda pendapat dengan istana. Terlebih lagi pada pemimpin-pemimpin mazhab Syi'ah. 


Realitas independensi ulama dari negara dan pengaruh ekonomi dari pedagang menjadikan para ulama lebih merdeka dalam mengembangkan intelektualnya. Akibatnya, para filsuf, kelompok Islam di luar Suni dan Syi'ah, bahkan juga penganut Kristen, Yahudi, dan Agnostik pun dapat menikmati kemerdekaan berpikirnya masing-masing. 


Baru, pada abad ke-11 di masa kekhalifahan Abbasiyah, terutama Asia Tengah, Irak dan Iran mengalami perubahan pola dan relasi antara ulama-negara yang disebabkan oleh munculnya kebangkitan negara-negara Syi'ah di Afrika Utara, Mesir, Suriah, dan bahkan Irak sendiri. Untuk menumpas ancaman yang terjadi, kekhalifahan menyerukan persatuan 'akidah Sunni' di antara para sultan-sultan Sunni, ulama, dan masyarakatnya. Segala bentuk gerakan dan pemikiran di luar Sunni, termasuk beberapa aliran Syi'ah, para ahli teologis rasionalis (Mu'tazilah), dan filsuf dibumi hanguskan. 


Di lain pihak, bersamaan dengan menguatnya gerakan 'akidah Sunni' yang digaungkan khalifah Abbasiyah, muncul satu kekuatan baru atas nama Sunni (pembentukan ortodoksi Sunni) yakni kebangkitan Ghaznawi, negara militer Sunni di Asia Tengah. Setelah itu kemudian muncul Kesultanan Seljuk (1040-1194) yang menjadi sebuah negara militer Sunni yang lebih kuat dari pada Ghaznawi yang menguasai wilayah luas meliputi kebanyakan wilayah Asia Tengah, Iran, Irak, dan Anatolia. 


Dasar pemerintahan Seljuk adalah sistem iqta, dimana penyerahan pajak tanah dan pertanian disusun dan diterima di bawah kendali militer. Kebijakan iqta kemudian melemahkan kapasitas ekonomi  dan posisi sosial para pedagang yang pada era sebelumnya menjadi garda terdepan dalam mendanai para ulama dan filsuf. 


Untuk menantang dan melemahkan aliran di luar Sunni, pemerintah Seljuk memulai dengan mendirikan beberapa madrasah (Nizhamiyah) dalam rangka mempersatukan, menghimpun mazhab-mazhab hukum dan teologi Sunni. Pada era ini, lahir seorang jenius yakni al-Ghazali yang berkontribusi besar dalam mengkritik sekaligus membungkam pemikiran tiga kelompok di luar Sunni: Syi'ah, Mu'tazilah, dan para Filsuf.


Dari abad ke-12 hingga ke-14 persekutuan negara-ulama model Seljuk menyebar luas ke beberapa negara Sunni yang lain seperti Andalusia, Mesir, dan Suriah, terutama Mamluk. 


Sekitar abad ke-16, terdapat tiga imperium militer kuat dalam dunia Islam: Osmani Sunni, Shafavi Syi'ah, dan Mughal Sunni. Ketiga imperium ini membentuk beberapa versi persekutuan negara-ulama di wilayah dari Balkan sampai Benggala. Namun, kekuatan militer ketiga imperium itu gagal membangkitkan kembali dinamisme intelektual dan ekonomi Muslim karena menyingkirkan filsuf dan meminggirkan para pedagang yang pada era sebelumnya mempengaruhi produktifitas intelektual para ulama. 


Di tengah hilangnya momentum intelektual dan ekonomi dunia Muslim, Eropa Barat mulai menunjukkan kemajuannya dengan menghasilkan tiga gerakan: (1) Institusionalisasi Gereja Katolik dan kerajaan. (2) Pendirian lembaga-lembaga universitas. Pada masa ini lahir pemikir revolusioner dari Aquinas sampai Luther, dari Kopernikus hingga Galileo dan Newton. (3) Kelas pedagang menjadi garda terdepan sebagai motor penggerak terobosan ekonomi Eropa Barat. 


Hubungan-hubungan baru di antara kelas religius, politik, intelektual, dan ekonomi akhirnya menggerakkan berbagai proses kemajuan, termasuk Renaisans, revolusi cetak, penjelajahan (ekspedisi) geografis, Reformasi Protestan, revolusi sains, Revolusi Amerika dan Prancis, dan Revolusi Industri. Dari hasil-hasil perubahan dan kemajuan itu, kemudian Eropa Barat mampu melampaui dua pesaingnya yang pernah unggul yakni dunia Muslim dan Tiongkok. 


Setelah hampir satu abad (abad ke-19) di jajah Barat, dunia Muslim mulai membangun negara-negara merdeka pada tahun 1920-an dan 1930-an. Namun negara-negara yang merdeka itu belum mampu mengembalikan kejayaan Muslim sebagaimana yang pernah terjadi. Negara- negara itu malah mewarisi masalah-masalah besar dalam politik dan ekonomi sebagai biang kemandekan intelektual dan ekonomi. 


Salah satu untuk mengatasi masalah kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan sosioekonomi, Ahmet T Kuru menyarankan  hadirnya para intelektual kreatif (yaitu para pemikir yang mengkritisi pandangan yang telah mapan dan menciptakan alternatif yang orsinil) dan borjuasi independen (yaitu para pengusaha ekonomi, seperti para pedagang, bankir, dan industrialis) di negara Muslim menjadi satu keharusan. Namun hingga kini, faktanya, kedua hal itu belum mampu diwujudkan oleh dunia Muslim. Persekutuan negara-ulama sebagai salah satu faktor penentu kemajuan malah dikesampingkan dan malah mengambil mode pengaturan kekuatan politik yang sekuler. 


Bersambung!


Judul Buku: Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim.
Penyunting: Andya Primanda
Penerbit: PT Gramedia Jakarta
Cetakan: (1) Desember 2020 (2) Januari 2021 (3) Juni 2021 (4) Januari 2022 (5) September 2022 (6) November 2023
Tebal: 486 halaman
ISBN: 978-602-481-517-2


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik