Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Kuluwung

Lelaki Tua Pesisir Selatan

Lelaki Tua Pesisir Selatan. (ILustrasi/Nasihin)

Oleh Nasihin

Pak tua, sebentar lagi matahari tenggelam, bulatnya tertelan riak tenang samudra. Kapal-kapal ikan dan tongkang berlalu-lalang, lampu-lampu kapal berkelip di kejauhan.

 

Ombak menghempas batang kayu ke pinggir pantai, menepi, kemudian kembali menjauh ke tengah laut. Ombak menghantam batu-batu karang, menggelegar kemudian kembali sunyi, airpun pasang dan kembali surut, laut pesisir selatan.


Baca Juga:
Dinamika Jelang Satu Abad NU

 

Sore hampir habis, kapal-kapal semakin menjauh, pemancing meninggalkan runcing batu karang.
Wanita tua beranjak meninggalkan pohon-pohon pandan, bercaping, diiringi garis pantai penuh harapan.

 

Malam berhias bintang, daun kelapa menguning tersorot cahaya bulan. Suara ombak tak henti bergemuruh, melupakan kisah-kisah kematian dan jeritan hari-hari yang memilukan.


Baca Juga:
Urgensi Tata Kelola Masjid Menuju Masjid Paripurna

 

Pak tua, tak ada yang beda dengan malam-malam yang kau lalui, kecuali, sore itu. Ketika kau melaut, melempar jala meninggalkan pasir tanah kelahiran. Sore itu, bumi berguncang, air surut, kemudian memuntahkan seluruh isi perut dasar laut.

 

Di kampung yang kau cintai, sore bergerak seperti biasa, anak-istrimu, tetanggamu dan seluruh penghuni kampung terbuai dalam riang, anak-anak berlari di halaman, orang tua menyulam jala dan tawa.

 

Tak menunggu jam dan detik, air seperti pasukan perang, menyusur setiap celah tanah dan melebur dalam impian. Tsunami, memporak-porandakan harapan dan cita-cita. 
Menghantam rumah-rumah dan nyanyian daun kelapa.

 

Sore menjelang malam menjadi mencekam, gelap gulita, tangisan, jeritan dari ratusan orang yang kehilangan. Bangunan roboh, pohon-pohon tumbang, malam itu, bencana di pantai pesisir selatan.

 

Pagi menyapa riak air laut yang tenang, pak tua riang memburu pantai tanah kelahiran, memburu senyum anak dan istri, menebar senyum penuh gembira. Tapi, kemudian sorot matanya sayu, keningnya berkerut penasaran, apa yang terjadi?

 

Setengah melompat, menerobos orang-orang, menabrak puing-puing kesedihan. Hari itu langit kelam, rumahnya rata, keluarganya hilang.

 

Puluhan tahun berlalu, kau masih terpaku dikursi tua, berteman laut, kapal dan nyanyian menjelang senja. Kulitmu semakin keriput dan coklat. 

 

Aku tahu kau bukan pelaut seperti orang bugis, bukan pula pembuat pinisi. Tapi, semangatmu pada masa itu, tak kalah dari pelaut makasar.

 

Lelaki tua pesisir selatan, janjimu pada anak istrimu, pada tanah kelahiran, pada laut dan batu karang. "Aku, lelaki tua, kulitku legam berteman gelombang, nafasku samudra panjang membentang, doaku, nyanyian ombak dan batu karang."

 

"Anakku, aku adalah laut yang mendekapmu, aku adalah ombak yang membelaimu, tidurlah dalam dekapan samudra kedamaian."

Penulis adalah Pengurus Lesbumi PWNU Jabar

Editor: Agung Gumelar

Artikel Terkait