Keislaman

Apa Konteks dan Makna Hadits Barang Siapa Menyerupai Suatu Kaum, Maka Dia Termasuk Bagian dari Mereka?

Senin, 20 Mei 2024 | 20:51 WIB

Apa Konteks dan Makna Hadits Barang Siapa Menyerupai Suatu Kaum, Maka Dia Termasuk Bagian dari Mereka?

(Ilustrasi: IG Nadirsyah Hosen).

Hanya dengan satu hadits ini, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka" (HR Abu Daud dan Ahmad) banyak Ustadz yang lantang mengharamkan hampir semua aspek kehidupan kita saat ini. Bagaimana cara kita memahami Hadits ini dalam tinjauan ilmu Hadits, sejarah, politik dan budaya? 


Lantas apa maksud Hadits di atas? Saya dulu pernah menjelaskan soal politik identitas. Saya kutip sebagian: 


Pada masa Nabi hidup lima belas abad yang lampau, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimana membedakan antara Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka sama-sama orang Arab yang punya tradisi yang sama, bahasa yang sama bahkan juga berpakaian yang sama? Untuk komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas pembeda. 


Pernah pada suatu waktu, orang kafir menyatakan masuk Islam di pagi hari, dan kemudian duduk berkumpul bersama-sama komunitas membicarakan strategi dakwah, tapi di sore hari orang itu menyatakan dia kembali kafir lagi. Maka murkalah Nabi. Tindakan itu dianggap sebuah pengkhianatan terhadap loyalitas komunal. Maka di sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, yang di abad modern ini mirip dengan hukuman terhadap pengkhianat dan pembocor rahasia negara. 


Mulailah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi internal: loyalitas dibentengi dengan identitas khusus. Nabi melakukan politik identitas: umat Islam dilarang menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Maka keluarkah aturan identitas dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, dan warna pakaian. Pesannya simple: berbedalah dengan mereka. Jangan menyerupai mereka, karena barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian sudah sama dengan mereka. 


Inilah konteks Hadits di atas: politik identitas dari Nabi untuk komunitas Islam saat itu. Nah, para Ustadz jaman now yang gemar mengutip Hadits tasyabuh ini sebenarnya juga hendak mengukuhkan identitas keislaman kita bahwa kita berbeda dengan "mereka". Namun para Ustadz lupa bahwa kita tidak lagi hidup di komunitas terbatas seperti perkampungan Madinah 15 abad lalu. Kita sekarang sudah menjadi citizen of the world (warga dunia). Kondisi sudah berubah, identitas keislaman tidak akan tergerus oleh pembeda yang berupa asesoris semata. Identitas keislaman saat ini adalah akhlak yang mulia. 


Secara sanad, Hadits di atas juga tidak diriwayatkan oleh dua kitab utama, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Para ulama Hadits juga berbeda menentukan derajat Hadits itu. Ada yang mensahihkan, ada yang memandang Hadits itu hasan, bahkan ada pula yang mendhaifkannya. Bagi yang mengkritik perawi Hadits di atas, mereka misalnya menemukan persoalan pada Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Ahmad bin Hanbal mengatakan Hadits yg diriwayatkan perawi ini munkar. Abu Dawud mengatakan tidak mengapa dengannya. An- Nasa'i mengatakan dha'if. bnu Hajar menyimpulkan bahwa yang bersangkutan itu jujur, tapi sering keliru, dianggap bermazhab Qadariyyah, dan berubah hapalannya di akhir usianya" 


Saya ingin sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya memahami Hadits sesuai konteksnya. Misalnya ada riwayat: 


"Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka shalat tidak pakai sandal dan sepatu" (HR Abu Daud). 


Guru saya Prof Dr KH Ali Mustafa Ya'qub penah menjelaskan bahwa kondisi Masjid di jaman Nabi itu tidak pakai lantai. Hanya beralaskan tanah atau pasir. Maka kita paham konteksnya. Bayangkan kalau Hadits ini sekarang kita pakai apa adanya dan kita masuk Masjid d in engan sandal dan sepatu. Kita akan diteriakin bahkan mungkin dianggap penista Islam. Itulah gunanya memahami konteks Hadits. Yang dulunya diwajibkan, malah bisa dilarang, ketika konteksnya berubah.


Abu Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, dengan cerdas mengeluarkan kaidah: "Jika suatu nash muncul diletarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi itu berubah, maka pemahaman kita terhadap nash itu juga berubah." 


Di samping itu tidak benar kalau Rasulullah selalu hendak berbeda dengan kaum non-Muslim. Misalnya HR Bukhari-Muslim ini: 


Nabi SAW tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang- orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Dia bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab: “Hari yang baik, inilah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuhnya, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukurnya. Maka Rasulullah menjawab: “Aku mempunyai hak yang lebih kepada Musa daripada kamu (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai wujud keagungan kami pada hari itu.” 


Saya sudah jelaskan bahwa cara berpakaian orang Arab baik Muslim maupun non-Muslim saat itu serupa, maka penanda yang tampak seperti tampak di wajah itu menjadi penting bagi identitas keislaman pada saat itu seperti riwayat ini: 


"Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot." (HR Muslim). 


Tapi bagaimana dengan model sisiran? Ternyata Nabi tidak menyelisihi non-Muslim. Kenapa? Karena rambut tertutup sorban sehingga apapun model sisiran rambut tidak akan menjadi penanda identitas. Perhatikan riwayat ini: 


Dari Ibnu 'Abbas bahwa Rasulullah dahulunya menyisir rambut beliau ke arah depan hingga kening sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambutnya ke bagian kiri- kanan kepala mereka, sementara itu Ahlul Kitab menyisir rambut mereka ke kening. Rupanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih suka bila bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dalam perkara yang tidak ada perintahnya. Namun kemudian hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyisiri rambutnya ke arah kanan-kiri kepala beliau". (HR Bukhari). 


Nah, kalau kita memahami teks riwayat di atas secara apa adanya, apa kita berani mengatakan bahwa Rasulullah serupa dengan non-Muslim dan telah menjadi bagian dari mereka hanya karena model sisirannya sama? Yang heboh nanti sobat saya Kang Maman Suherman yang plontos itu. Dia akan bingung mau nyisir model apa biar gak dianggap kafir! 


Begitu juga soal jenggot dan kumis, kini tidak lagi menjadi satu-satunya pembeda antara identitas Muslim dengan non-Muslim. Banyak selebriti yang sekarang memelihara jenggot dan tidak berkumis, begitu juga para tokoh non-Muslim yang juga seperti itu. Apa mereka menjadi Muslim atau kita yang menjadi kafir gegara punya jenggot? 


Sekarang bagaimana dengan perayaan tahun baru? Bagaimana dengan perayaan Valentine? Bagaimana dengan ucapan selamat hari ibu, selamat ulang tahun, selamat atas wisuda, selamat atas promosi jabatan? Bagaimana kalau kita pakai celana jeans, atau dasi dan jas? Untuk perempuan, tahukah anda sejarah bra? Jaman Rasul gak ada muslimah yang pakai bra, itu tradisi Eropa abad ke-18. Bolehkah anda sekarang pakai bra? Untuk yang lelaki, bagaimana kalau kita pakai topi cowboy atau topi ulang tahun, atau topi santa? 


Dalam tradisi hukum Islam dikenal kaidah, al-'adah muhakkamah. Tradisi yang tidak bertentangan langsung dengan pokok-pokok aqidah itu bisa diakui dan diakomodir dalam praktek maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini membuat Islam bisa menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas keislaman kita. Itu pula yang dilakukan Walisongo saat mengakomodir budaya dan tradisi nusantara. 


Saya tidak ingin mengeluarkan fatwa boleh atau tidaknya merayakan ini dan itu, memakai ini dan itu atau tidak. Anda memutuskan sendiri. Saya harap penjelasan saya cukup untuk menjadi bahan pertimbangan Anda. Hidup adalah pilihan. Selamat memilih dengan bijaksana dan bijak. 


KH Nadirsyah Hosen,  salah seorang Dosen Senior Monash Law School