• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Kuluwung

Musik: Penyembuhan dan Kreativitas yang Menghibur

Musik: Penyembuhan dan Kreativitas yang Menghibur
Musik: Penyembuhan dan Kreativitas yang Menghibur. (Foto: NUJO/Ikmaluddin)
Musik: Penyembuhan dan Kreativitas yang Menghibur. (Foto: NUJO/Ikmaluddin)

Oleh Moch Ikamluddin
Pada tahun 2002-2005 saya sekolah di Matole' (Matholiul Falah) Kajen dan mondok di PMH Al-Kautsar yang diasuh oleh KH. M. Zaki Fuad Abdillah, putra ulama besar, KH. Abdullah Salam. Sedangkan direktur Matole' pada waktu itu adalah KH. MA. Sahal Mahfudh. 


Hampir setiap kamis sore setelah roan (kerja bakti), saya dan lek saya Gabriel Wie Fuch mengendap-mengendap menuju makam mbah Ronggo Kusumo. Kadang ke masjid samping RSI Pati. Tujuan kami ialah naik bus kemudian pulang ke rumah. Jaraknya sekitar tujuh kilo meter. 


Biasanya kami melakukan kamuflase agar tidak diketahui oleh pengurus. Dengan memakai celana hari Sabtu, baju berkerah lengkap dengan peci. Tak ketinggalan buku kecil nadzoman Jauharul Maknun ada di saku baju. Tapi lama-kelamaan kodek kami terbongkar. Tak heran hampir tiap sabtu kami dapat "surat cinta" ta'ziran. Mulai dari diinterogasi hingga bebersih kamar mandi. 


Alasan saya pulang sebenarnya adalah menengok ibu yang masih dalam pemulihan pasca operasi, ziarah di makam Abah hingga mengambil uang (sangu) selama seminggu ke depan. 


Maklum di tahun itulah, Abah saya meninggal karena sebuah kecelakaan. Saya sudah ridho dengan segala ta'ziran itu. Berkat kedisiplinan para pengurus menegakkan aturan, saat ini mereka menjadi tokoh di daerah masing-masing. Ada yang menjadi pengasuh pesantren, dosen bahkan sudah Doktor. 


“Matur suwun kang-kang pengurus”.


Ketika saya pulang, saya lebih dulu transit di rumah lek saya ini, Muhyiddin. Yang sekarang jadi orang Kudus. Di situlah saya mengenal alat musik, gitar. Saya dijarinya kunci C, D, E, F. Begitu sampai G, A, B kunci mayor-minor saya tida bisa nututi, setengah frustrasi. Maklum jari jemari saya biasa megang arit (sabit) sebagai anak petani yang biasa ke sawah. 


Setahun lalu, ketika kami benar-benar tidak bisa ke mana-mana karena pandemi, saya membeli ukulele. Pikir saya simpel, kalau enam dawai gitar pernah gagal, barangkali empat dawai ukulele lebih mudah. Bagaimana hasilnya? 


Alasan kedua, agar anak-anak tidak ketagihan HP dan sukur-sukur bisa mengiringi anak perempuan saya menyanyikan lagu-lagu di TK-nya. Lebih menggembirakan lagi jika saya bisa berkolaborasi menyanyikan Ya Lal Wathon. 


Kemarin anak saya kangen lagi membuka ukulele dari sarungnya. Saya sendiri punya mimpi suatu saat bisa memainkan biola dan oud sebagaimana para pemain gambus. Saya tidak setuju jika musik diharamkan secara mutlak. Sebagaimana kaedah fikih: 


Al-hukmu yadûru ma'a 'illatihi wujûdan wa 'adaman. 


Hukum itu berputar pada ada-tidaknya illah (alasan). 


Tak jarang orang bisa menangis tersedu-sedu, merasakan keagungan Tuhan setelah mendengarkan syair yang diiringi oleh aransemen musik yang menyentuh. Bukan karena dzikir. Apa ini bisa diharamkan begitu saja. 


Orang bisa terbius kemudian terlelap tidur setelah mendengarkan musik lagu menenangkan. Sebaliknya orang bisa terjaga ketika menyetir mobil karena ditemani musik yang mengehentak. Orang semakin mencintai tanah air dan bangsanya karena mendengarkan lagi Indonesia Pusaka dan Ya Lalwathan. Walau memang tidak dipungkiri ada musik yang mengarah ke hal yang vulgar secara lirik dan tayangan. Kalau tujuannya menghibur dan membuat orang senyum-senyum kenapa tidak! 


Selamat menonton petikan senar ukulele tadi pagi. Mari riang gembira.


Penulis adalah Kontributor NU Online Jabar asal Depok.


Kuluwung Terbaru