Ubudiyah

Mengelola Kesehatan Mental dengan Ajaran Islam

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:14 WIB

Mengelola Kesehatan Mental dengan Ajaran Islam

Kesehatan Mental. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Masalah kesehatan mental kini semakin mendapat perhatian serius di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) yang dirilis pada Mei 2024, sekitar 30 hingga 32 juta warga Indonesia diperkirakan mengalami gangguan kesehatan mental. Angka tersebut mencerminkan kenyataan sosial yang berkembang, dengan banyaknya faktor yang berperan, mulai dari tekanan hidup, permasalahan pekerjaan, hingga dinamika dalam keluarga.


Beban hidup yang berat, ketidakmampuan memenuhi harapan, dan lingkungan keluarga yang kurang mendukung adalah beberapa faktor yang sering kali memicu gangguan mental. Bahkan, masalah kesehatan mental kini tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga mulai menyerang anak-anak.


Dalam menghadapi tantangan ini, Islam sebagai ajaran yang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, menawarkan solusi melalui berbagai praktik ibadah yang dapat membantu menjaga kesehatan mental. Islam mengajarkan cara-cara untuk meraih ketenangan batin, salah satunya melalui ibadah yang rutin dilaksanakan setiap hari.


Shalat Sebagai Wasilah Penentram Hati
Ibadah shalat yang menjadi rutinitas umat Islam sehari-hari bukan hanya sekedar ritual biasa. Tidak terbatas pada aktivitas simbolis yang menggambarkan kedekatan spiritual antara seorang hamba dengan Tuhannya. Akan tetapi lebih dari pada itu, Islam menjadikan shalat sebagai wasilah penenteram hati bagi umatnya.


Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45 dijelaskan, bahwa shalat merupakan salah satu wasilah yang bisa dijadikan penolong oleh umat Islam. Allah swt berfirman:

 

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

Artinya: "Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya (shalat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk."


Mengenai ayat ini, Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya, An-Nukat al-‘Uyun (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 1:110) menjelaskan bahwa apabila ditimpa suatu masalah, Nabi Muhammad akan memohon pertolongan kepada Allah swt melalui shalat dan sabar (puasa).


Al-Mawardi mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa shalat tidak hanya sebuah ritual saja. Shalat juga bisa menjadi penawar dari masalah dalam setiap keadaan. Dalam riwayat tersebut dijelaskan, suatu ketika Salman al-Farisi merasakan kedinginan dan mengadu kepada Rasulullah tentang apa yang ia rasakan. Kemudian setelah mendengar keluhan Salman, Rasulullah menjawab, “Bangun dan laksanakanlah shalat, niscaya engkau akan terobati (cepat membaik).”


Selain itu, berbagai macam shalat bisa dilakukan untuk membantu masalah dan menciptakan kemaslahatan bagi siapa saja yang mengerjakannya. Misalkan, seseorang yang memiliki masalah dan bingung dalam menentukan pilihan, maka dia dianjurkan untuk shalat istikharah. Begitu juga, apabila seseorang mempunyai keinginan dan cita-cita tertentu, maka dianjurkan untuk melaksanakan shalat hajat.


Selanjutnya ketika umat Islam menghadapi masalah lain, seperti kesusahan air akibat kekeringan, bahkan lebih-lebih ketika menghadapi fenomena alam yang langka, maka tetap saja mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat agar ketentraman hati tetap ada dalam dirinya.


Rasulullah saw pun telah menegaskan, bahwa Allah swt telah menjadikan shalat bagi dirinya sebagai penenang jiwa. Hal ini disampaikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari dari Anas bin Malik,

 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «‌إِنَّمَا ‌حُبِّبَ ‌إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Artinya: "Dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya dijadikan bagiku kesenangan dunia dengan berupa wanita dan wewangian. Selain itu, dijadikan pula ketentraman pada jiwaku di dalam shalat." (HR. Ath-Thabari)


Dzikir Sebagai Meditasi Diri
Setelah shalat dijadikan sebagai wasilah meraih ketentraman jiwa, selanjutnya Allah swt menjadikan dzikir sebagai sarana meditasi diri yang ampuh untuk mengatasi gangguan masalah kesehatan mental.


Al-Qur’an surat Ar-Ra’ad ayat 28 menjadi salah satu bukti yang menjelaskan secara tegas, bahwa mengingat Allah adalah meditasi diri bagi orang-orang yang beriman. Allah swt berfirman:

 

الَّذِينَ اٰمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Artinya: "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram."
 

Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitab tafsir karyanya, Tafsir Asy-Sya’rawi (Mesir: Al-Akhbar al-Yaum, 1997, 12: 8318) menjelaskan bahwa makna dari اطمئنان dalam ayat tersebut adalah ketentraman hati dan kestabilan perasaan. Selain itu, perasaan yang baik dan tenang ini merupakan dampak dari keimanan akidah dan penerimaan terhadap segala takdir.


Jadi, apabila orang-orang beriman itu mengingat Allah, maka dapat dipastikan segala masalah akan terasa lebih ringan. Hal ini yang menjadikan dzikir sebagai salah satu meditasi terbaik dalam mengelola dan mengatasi masalah mental bagi siapa saja yang sedang mengalami, khususnya bagi umat Islam.


Sebagai anjuran, dalam ayat lain juga diterangkan:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya." (QS. Al-Ahzab [33]: 41)


​​​​​​​Tawakkal dan Berdoa
Setelah menjalankan shalat dan senantiasa berdzikir kepada Allah serta berusaha mengobati perasaan yang sedang gundah akibat masalah mental ini, maka selanjutnya Islam menyarankan untuk bertawakkal (berserah diri) lalu menyerahkan segala urusan kepada Allah. Dengan cara seperti ini, beban mental sebab suatu masalah akan semakin berkurang.
 

Nabi Musa as ketika berdakwah kepada kaumnya, pernah merasakan lelah. Saat itu beliau telah menunjukkan kepada umatnya jalan yang benar, akan tetapi mereka justru memilih jalan yang menyimpang, bahkan membalas seruan kebaikan dengan ajakan kufur kepada Nabi Musa. Melihat hal tersebut, Musa as pun menyerahkan permasalahannya dengan bertawakkal kepada Allah swt. Keputusasaan itu diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ghafir ayat 41-43. Kemudian, pada ayat selanjutnya, Nabi Musa as melimpahkan perasaannya dengan berkata:

 

فَسَتَذْكُرُوْنَ مَآ اَقُوْلُ لَكُمْۗ وَأُفَوِّضُ أَمْرِيْٓ إِلَى اللّٰهِ ۗ إِنَّ اللّٰهَ بَصِيْرٌ بِالْعِبَادِ ٤٤

Artinya: "Kelak kalian akan mengingat apa yang kukatakan kepadamu. Aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (QS. Ghafir [40]: 44)


Selain itu, dalam firman yang lain, Allah swt menegaskan, bahwa Dia akan memberikan kecukupan atas segala kebutuhan bagi siapa saja yang bertawakkal (berserah diri) kepada-Nya.

 

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۗ إِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ أَمْرِهِۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

 

Artinya: "Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah-lah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)


Selanjutnya yang terakhir, upaya untuk mengatasi dan merawat kesehatan mental adalah dengan cara berdoa kepada Allah swt. Sebab berdoa akan memberikan rasa harapan dan menguatkan jiwa setiap orang yang memanjatkannya kepada Allah. Begitu pun Allah swt telah berjanji akan mengabulkan semua permintaan hamba-Nya.


Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ghafir ayat 60:

 

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

Artinya: “Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”


Masalah mental bukanlah suatu hal remeh dalam kehidupan manusia. Terbukti dengan beragam kasus masyarakat, terjadi akibat dari gangguan kejiwaan ini. Oleh karenanya sebagai bentuk antisipasi, strategi ala Islam ini bisa diterapkan untuk diri sendiri dan diajarkan kepada keluarga sebagai benteng pelindung dari segala akibat buruk yang disebabkan oleh gangguan masalah mental.


Dengan senantiasa memperbanyak melaksanakan shalat, berdzikir, bertawakkal, dan berdoa atas segala sesuatu yang menimpa, dapat memberikan ketentraman jiwa bagi siapa saja yang mengamalkan.


Tulisan ini dikutip dari artikel karya Muhaimin Yasin sebagaimana dimuat di NU Online.