• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Taushiyah

Jangan Hidup Sorangan Wae

Jangan Hidup Sorangan Wae
Ilustrasi hidup sorangan wae (Foto: Freepik.com)
Ilustrasi hidup sorangan wae (Foto: Freepik.com)

KH Ahmad Ishomuddin
Setiap manusia akan merasakan kesulitan, kecemasan, kejenuhan, kesepian, hingga mencicipi rasa hidup kurang bermakna apabila ia hidup dalam kesendirian. Hidup menyendiri tanpa di dampingi kekasih yang menyayangi, memerhatikan dan melindungi adalah ibarat hidup dalam keterasingan dan kesepian meskipun berada di tengah-tengah keramaian. Hidup sorangan wae (membujang) atau tanpa pasangan (menjomblo) bagi kebanyakan orang bisa dilakukan untuk sementara waktu, tetapi hal itu amat menyiksa jiwa raga jika itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama.

Ada sangat banyak alasan klasik yang biasa dikemukakan mereka yang dalam waktu lama hidup menjomblo tanpa pasangan dalam ikatan perkawinan yang sah. Di antara alasan yang umum mengapa seseorang belum segera menikah adalah belum menemukan pasangan hidup yang cocok dan sepadan, belum bekerja sehingga belum mampu menafkahi keluarga, ada calon suami/isteri namun tidak/belum mendapatkan persetujuan dari orang tua, merasa ragu-ragu memasuki jenjang perkawinan, masih ingin menyelesaikan sekolah/kuliah. Pendek kata, sangatlah banyak alasan lain yang bisa mereka kemukakan. Padahal, jika mau ada seribu jalan dan jika tidak mau juga ada seribu alasan.

Ada banyak juga yang menunda perkawinan/pernikahan dengan alasan belum mendapatkan pasangan yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang telah ia tentukan demi mendapatkan pasangan yang ideal bahkan sempurna. Orang semacam ini mungkin merasa bahwa “seolah-olah” dalam dirinya ada semua sifat kesempurnaan dan kosong dari segala sifat kekurangan. Padahal semakin banyak syarat dan kriterianya maka akan semakin sedikit orangnya. Akibatnya, ia mempersulit dirinya sendiri dalam mendapatkan pasangan ideal untuk hidup berkeluarga melalui pernikahan yang sah.

Kecemasan biasa menghinggapi jiwa siapa saja yang mendambakan pasangan hidup namun tak kunjung tiba, bahkan hingga ia mengidap kecemasan dan kegelisahan yang berlebihan. Jiwanya merasa resah, sedih, tidak berguna, galau, putus asa, sulit memejamkan mata meski malam telah larut dan semua mata telah terpejam. Semua yang ia rasakan menyayat hati dan seperti tiada ujungnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya pun tertimpa sakit yang sulit diobati, lambungnya, lehernya, kepalanya dan lalu ia menjadi orang yang sensitif, mudah tersinggung, pemarah dan tidak lagi percaya diri.

Kecemasan terkait masalah jodoh bukan saja dirasakan oleh siapa yang ingin segera menikah, melainkan juga seringkali dirasakan oleh kedua orang tua yang terutama memiliki anak gadis dewasa. Cemas karena belum ada tanda-tanda pujaan hati yang mendekatinya, apalagi melamar anak gadisnya. Kecemasan itu adakalanya ia simpan rapat-rapat dalam hatinya dan adakalanya dengan terbuka ia sampaikan kepada para sahabat dekatnya. Ia cemas jika anak (bujang/gadis)nya tidak segera berjodoh.
Sesungguhnya pernikahan adalah hal yang relatif sederhana dan tidak sulit. Yang mempersulit suatu pernikahan justru adat istiadat yang mengiringi keberlangsungannya terutama bagi mereka yang tidak mampu namun ingin memaksakan diri karena merasa gengsi.

Berlangsung atau tidaknya suatu pernikahan sangatlah tergantung kepada keberanian mengambil keputusan “ya” atau “tidak” dari para pihak terkait dan tentu saja keberanian untuk menanggung resikonya. Pernikahan dapat berlangsung bila keputusan “ya” disepakati dalam akad yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya oleh kedua pasangan calon suami-isteri untuk hidup bersama secara sah dan menanggung resikonya secara bersama, berupa hak dan kewajiban dalam sebuah keluarga.

Sedikitnya ada tiga hal penting sebagai syarat keberlangsungan pernikahan untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, yaitu syarat kemampuan (al-istitha’ah):
(1) istitha’ah nafsiyyah (kesiapan dan kemampuan yang bersifat mental);
(2) istitha’ah badaniyyah (kesiapan fisik); dan
(3) istitha’ah maliyyah (kesiapan atau kemampuan yang bersifat finansial).
Seseorang yang hidup menjomblo boleh segera menikah bila ia telah siap secara mental, fisik dan finansial.

Bila tiga hal penting di atas telah terpenuhi dan keinginan menikah telah mendesak maka janganlah menunda-nundanya, karena usia terus bertambah dan menjadi semakin dewasa (bahkan menua). Jangan buang waktu untuk selalu bersama dengan orang yang menyatakan cintanya namun selalu ragu dan tidak berani mengambil keputusan untuk menikah, hidup bersama dalam ikatan keluarga yang sah dan bertanggung jawab bersama atas risikonya. Boleh menjomblo untuk sementara waktu, namun –sebaiknya– jangan untuk selamanya.

Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU.
 


Editor:

Taushiyah Terbaru