Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mencerminkan kesiapan spiritual seseorang dalam menjalankan ibadah. Salah satu bentuk kesiapan tersebut adalah niat, yang harus dilakukan sebelum fajar menyingsing.
Dalam Islam, niat memiliki peran penting karena menandai dimulainya suatu ibadah. Tanpa niat yang benar, puasa hanya menjadi rutinitas harian tanpa nilai ibadah. Niat inilah yang membedakan antara seseorang yang sekadar menahan lapar dan haus dengan mereka yang benar-benar menjalankan puasa sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
Selain sebagai syarat sahnya ibadah, niat juga berfungsi sebagai bentuk kesadaran diri bahwa puasa bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk meningkatkan ketakwaan. Setiap mazhab dalam Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai niat dalam puasa, bergantung pada dalil dan metode istinbat ahkam yang digunakan. Berikut ini pembahasan mengenai niat puasa menurut empat mazhab.
1. Mazhab Hanafi
Merujuk pendapat Imam Ibnu Abidin, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Hanafiyah, niat dalam puasa merupakan kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan, tetapi juga harus diawali dengan niat.
Tanpa niat, ibadah tidak akan terwujud. Seseorang yang menahan diri dari makan dan minum tanpa niat puasa tidak dianggap berpuasa secara syariat. Dalam kondisi ini, puasanya tidak sah sehingga wajib menggantinya (qadha) di kemudian hari. Imam Ibnu Abidin mencatat dalam kitabnya:
وَأَمَّا عِنْدَنَا فَلَا بُدَّ مِنْ النِّيَّةِ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ الْإِمْسَاكُ بِجِهَةِ الْعِبَادَةِ، وَلَا عِبَادَةَ بِدُونِ نِيَّةٍ فَلَوْ أَمْسَكَ بِدُونِهَا لَا يَكُونُ صَائِمًا وَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ Baca Juga
Artinya, “Adapun menurut kami (mazhab Hanafi), niat dalam puasa adalah keharusan, karena yang diwajibkan (dalam puasa) adalah menahan diri dalam rangka ibadah, sedangkan ibadah tidak dapat terealisasi tanpa adanya niat. Maka, jika seseorang menahan diri tanpa disertai niat, ia tidak dianggap orang yang berpuasa, dan ia wajib mengganti tanpa dikenakan kafarat.” (Hasyiyah Raddul Muhtar ‘alad Durril Mukhtar, [Beirut: Darul Fikr, 2000], jilid II, halaman 403).
Lebih lanjut, Imam Ibnu Abidin menjelaskan bahwa kewajiban qadha disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat puasa, yakni niat. Adapun tidak diwajibkannya kafarat karena puasanya dianggap tidak ada, sedangkan kafarat hanya berlaku bagi orang yang merusak puasanya.
Namun, dalam praktiknya, para ulama Hanafiyah memiliki pandangan berbeda-beda. Salah satunya adalah Syekh Hasan bin Ali al-Mishri. Ia berpendapat bahwa niat dalam puasa Ramadan, puasa nazar yang telah ditentukan waktunya, dan puasa sunnah tidak disyaratkan untuk ditentukan secara spesifik (ta’yin) maupun dilakukan sejak malam (tabyit).
Selama niat diucapkan di separuh lebih banyak waktu siang, hal itu dianggap cukup. Oleh sebab itu, batas waktu niat adalah hingga pertengahan siang. Dalam kitabnya disebutkan:
أَمَّا القِسْمُ الَّذِي لَا يُشْتَرَطُ فِيهِ تَعْيِينُ النِّيَّةِ وَلَا تَبْيِيتُهَا فَهُوَ أَدَاءُ رَمَضَانَ وَالنَّذْرُ المُعَيَّنُ زَمَانُهُ وَالنَّفْلُ، فَيَصِحُّ كُلٌّ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ بِنِيَّةٍ مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ الأَفْضَلُ، فَتَصِحُّ النِّيَّةُ وَلَوْ نَهَارًا، إِلَى مَا قَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ عَلَى الأَصَحِّ، لِأَنَّ الشَّرْطَ وُجُودُ النِّيَّةِ فِي أَكْثَرِ النَّهَارِ احْتِيَاطًا
Artinya, “Adapun bagian yang tidak disyaratkan untuk menentukan niat maupun melakukannya di malam hari adalah puasa Ramadan, puasa nazar yang telah ditentukan waktunya, dan puasa sunah. Ketiga jenis puasa ini sah dilakukan dengan niat sejak malam, dan itu lebih utama. Namun, tetap sah meskipun dilakukan pada siang hari, hingga sebelum pertengahan siang menurut pendapat yang lebih sahih. Hal ini karena syaratnya adalah adanya niat dalam sebagian besar waktu siang sebagai bentuk kehati-hatian.” (Muraqil Falah Syarh Matni Nuril Idah, [Maktabah al-Ashriyah: 2005], halaman 242).
2. Mazhab Maliki
Imam Abu Abdillah al-Kharasyi, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Maliki, menjelaskan dalam salah satu karyanya bahwa niat merupakan syarat sah dalam menjalankan ibadah puasa, baik yang bersifat wajib maupun sunnah.
Dalam pelaksanaannya, niat harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar terbit, dengan rentang waktu mulai dari terbenamnya matahari hingga sebelum terbit fajar. Oleh karena itu, niat yang diucapkan sebelum waktu maghrib tidak dianggap sah, begitu pula jika dilakukan setelah fajar menyingsing. Menurut pendapatnya, apabila seseorang telah berniat berpuasa dalam rentang waktu tersebut, maka apa pun yang terjadi setelahnya, seperti makan, berhubungan suami istri, atau tidur, tidak akan membatalkan niatnya. Namun, berbeda halnya dengan keadaan seperti pingsan, gila, haid, atau nifas, yang dapat memengaruhi sahnya niat yang telah dibuat. Dalam kitabnya, beliau menyatakan:
إِنَّ شَرْطَ صِحَّةِ الصَّوْمِ فَرْضًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ النِّيَّةُ الْمَبِيْتَةُ. وَأَوَّلُ وَقْتِهَا الْغُرُوْبُ حَتَّى الْفَجْر، فَلاَ تَكْفِي النِّيَّةُ قَبْلَ الْغُرُوْبِ عِنْدَ الْكَافَّةِ وَلاَ بَعْدَ الْفَجْرِ، لِأَنَّ النِّيَّةَ الْقَصْدُ وَقَصْدُ الْمَاضِي مُحَالٌ عَقْلًا
Artinya, “Syarat sahnya puasa, baik puasa wajib maupun yang lainnya adalah niat yang dilakukan pada malam hari. Adapun awal waktu niat adalah sejak terbenamnya matahari hingga fajar. Niat tidak sah jika dilakukan sebelum terbenamnya matahari menurut mayoritas ulama, begitu pula jika dilakukan setelah fajar, karena niat merupakan bentuk kesengajaan, sedangkan mengarahkan niat ke masa lalu adalah sesuatu yang mustahil secara akal.” (Al-Kharasyi ‘ala Mukhtashar Khalil, [Beirut: Darul Fikr, tt], jilid II, halaman 246).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Imam Syamsuddin Abu Abdillah al-Maghribi (wafat 954 H), seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki asal Maroko. Dalam salah satu kitabnya, beliau menjelaskan bahwa syarat sahnya puasa secara mutlak adalah dengan niat yang diucapkan pada malam hari atau bertepatan dengan waktu fajar. Dengan kata lain, baik puasa wajib maupun sunnah, baik yang telah ditentukan waktunya maupun yang tidak, harus diawali dengan niat. (Mawahibul Jalil li Syarhi Mukhtashar al-Khalil, [Daru ‘Alamil Kutub: 2003], jilid III, halaman 336).
Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan pendapat di antara ulama dalam mazhab Maliki mengenai tata cara berniat. Salah satunya adalah pendapat yang dicatat oleh Imam Abu Muhammad al-Baghdadi (wafat 422 H), yang menyatakan bahwa dalam bulan Ramadan seseorang diperbolehkan menggabungkan niat puasanya untuk satu bulan penuh dengan satu kali niat saja, misalnya dengan berniat pada malam pertama Ramadan: “Aku niat puasa selama satu bulan penuh.”
Niat yang mencakup seluruh hari di bulan Ramadan sebagaimana yang disebutkan di atas dianggap cukup untuk menggantikan niat harian, selama puasanya tidak terputus. Namun, jika puasa tersebut batal selama satu hari atau lebih, maka ia diwajibkan untuk memperbarui niatnya untuk hari-hari selanjutnya. Dalam kitabnya, Imam Abu Muhammad al-Baghdadi menuliskan:
فإن طلع الفجر ولم ينو لم يصح منه صوم ذلك اليوم بنية يوقعها بعد الفجر وله في شهر رمضان أن يجمعه بنية واحدة ما لم يقطعه فيلزمه استئناف النية
Artinya, “Maka, jika fajar telah terbit sementara ia belum berniat, puasanya pada hari itu tidak sah dengan niat yang dilakukan setelah fajar. Namun, dalam bulan Ramadan, ia boleh menggabungkan seluruh puasanya dengan satu niat, selama tidak terputus. Jika puasanya terputus, maka ia wajib memperbarui niat.” (at-Talqin fi Fiqhil Maliki, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2004], jilid I, halaman 71).
3. Mazhab Syafi’i
Dalam hal niat, ulama mazhab Syafi’i memiliki pandangan yang sejalan dengan ulama mazhab lainnya, yaitu bahwa niat merupakan bagian dari rukun puasa. Tanpa niat, ibadah puasa seseorang dianggap tidak sah dan tidak diakui secara syariat.
Syekh Khatib as-Syarbini dalam karyanya menjelaskan bahwa niat termasuk salah satu rukun puasa. Khusus untuk puasa wajib seperti puasa Ramadan, puasa qadha, maupun puasa nazar, niat harus dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar. Dalam kitabnya, beliau menyatakan:
وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الْأَوَّلُ النِّيَّةُ لِقَوْلِهِ {إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ} وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا. وَيُشْتَرَطُ لِفَرْضِ الصَّوْمِ مِنْ رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ كَقَضَاءٍ أَوْ نَذْرِ التَّبْيِيتُ وَهُوَ إيقَاعُ النِّيَّةِ لَيْلًا
Artinya, “Rukun puasa ada empat hal. Pertama adalah niat, berdasarkan sabda Nabi: (Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat). Tempatnya niat adalah hati, dan tidak cukup hanya diucapkan dengan lisan secara mutlak. Dalam puasa wajib, baik itu puasa Ramadan maupun puasa lainnya seperti qadha atau nazar, disyaratkan untuk menetapkan niat pada malam hari, yaitu melaksanakan niat di malam hari (mulia dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar).” (al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [Beirut: Darul Fikr, 1415], jilid I, halaman 235).
4. Mazhab Hanbali
Para ulama mazhab Hanabilah juga bersepakat bahwa niat dalam puasa wajib merupakan rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Syarafuddin Abun Naja, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Hanabilah, yang menyatakan bahwa puasa wajib tidak sah kecuali dengan niat yang dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari dalam puasa wajib dipandang sebagai ibadah yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan niat yang terpisah untuk setiap harinya.
وَلاَ يَصِحُّ صَوْمٌ وَاجِبٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ مِنَ اللَّيْلِ، لِكُلِّ يَوْمٍ نِيَّةٌ مُفْرَدَةٌ، لِأَنَّهَا عِبَادَاتٌ
Artinya, “Puasa wajib tidak sah kecuali dengan niat yang dilakukan pada malam hari. Setiap hari puasa membutuhkan niat tersendiri karena (masing-masing dirinya) merupakan ibadah (yang berdiri sendiri).” (al-Iqna fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal, [Lebanon: Darul Ma’rifah, tt], jilid I, halaman 308).
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Imam Ibnu Qudamah. Dalam kitabnya, beliau menegaskan bahwa setiap puasa wajib harus disertai dengan niat yang jelas dan tegas (ta’yin). Seorang yang akan berpuasa harus memiliki keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan menjalankan puasa pada hari berikutnya, seperti dalam puasa Ramadan. Dalam kitabnya, beliau menyatakan:
ويجب تعيين النية في كل صوم واجب فيعتقد انه يصوم غدا من رمضان
Artinya, “Wajib untuk menentukan niat secara jelas dalam setiap puasa wajib, sehingga seseorang benar yakin bahwa ia akan berpuasa esok hari sebagai bagian dari (puasa) Ramadhan.” (as-Syarhul Kabir libni Qudamah, [Kairo: Darun Nasyr, 1995], jilid III, halaman 27).
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa niat merupakan rukun dalam ibadah puasa yang tidak boleh diabaikan. Tanpa niat, puasa tidak dianggap sah secara syariat. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa tanpa niat wajib menggantinya (qadha).
Rekomendasi dan Solusi
Para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa niat merupakan bagian dari rukun puasa yang tidak boleh diabaikan. Namun, dalam praktiknya terdapat perbedaan pendapat yang bisa menjadi solusi dalam kondisi tertentu. Salah satunya adalah pendapat mazhab Hanafi, yang menetapkan bahwa waktu niat dimulai sejak malam hari dan ini yang lebih utama tetapi juga tetap diperbolehkan dilakukan di pagi hari hingga pertengahan siang.
Pendapat ini bisa menjadi solusi bagi seseorang yang lupa berniat di malam hari. Dengan mengikuti pandangan mazhab Hanafi, ia masih dapat berniat di pagi hari hingga pertengahan siang tanpa membatalkan puasanya.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga merekomendasikan pendapat tersebut bagi mereka yang bermazhab Syafi’i namun lupa berniat di malam hari. Dalam salah satu karyanya, beliau menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami hal ini dapat mengikuti mazhab Hanafi yang membolehkan niat setelah fajar. Dalam kitabnya, beliau menuliskan:
وَيُسَنُّ لِمَنْ نَسِيَ فِي رَمَضَانَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ أَنْ يَنْوِيَ أَوَّلَ النَّهَارِ؛ لِأَنَّهُ يُجْزِئُهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ قَالَ فِي الْإِيعَابِ هُوَ ظَاهِرٌ إنْ قَلَّدَهُ وَإِلَّا فَهُوَ تَلَبُّسٌ بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ فِي عَقِيدَتِهِ وَهُوَ حَرَام
Artinya, “Disunnahkan bagi seseorang yang lupa berniat di bulan Ramadan hingga fajar terbit untuk berniat di awal siang, karena menurut Abu Hanifah, hal itu tetap mencukupi. Dalam kitab al-I‘ab disebutkan bahwa hal ini jelas berlaku jika ia mengikuti pendapat Abu Hanifah. Namun jika tidak, maka itu dianggap sebagai keterlibatan dalam ibadah yang rusak menurut keyakinannya sendiri, dan hukumnya haram.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1983], jilid VIII, halaman 249).
Selain pendapat mazhab Hanafi, solusi lain juga terdapat dalam mazhab Maliki. Dalam pandangan mazhab ini, seseorang diperbolehkan menggabungkan niat puasa selama satu bulan penuh hanya dengan satu kali niat di awal bulan Ramadan. Misalnya, dengan berniat: “Aku niat puasa selama satu bulan penuh” pada malam pertama Ramadan.
Dengan metode ini, seseorang tidak perlu memperbarui niat setiap malam, sehingga jika ia lupa berniat di malam-malam berikutnya, puasanya tetap sah. Namun, syaratnya adalah puasanya tidak terputus. Jika puasanya terhenti, maka ia wajib memperbarui niatnya sebelum melanjutkan puasa di hari-hari berikutnya. Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Nawawi Banten, seorang ulama Syafi’i asal Indonesia. Dalam kitabnya, beliau menyatakan:
وَيُسَنُّ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَنْ يَنْوِيَ صَوْمَ جَمِيعِهِ، وَذَلِكَ يُغْنِي عَنْ تَجْدِيدِهَا فِي كُلِّ لَيْلَةٍ عِنْدَ الإِمَامِ مَالِكٍ، فَيُسَنُّ ذَلِكَ عِنْدَنَا لِأَنَّهُ رُبَّمَا نَسِيَ التَّبْيِيتَ فِي بَعْضِ اللَّيَالِي، فَيُقَلِّدُ الإِمَامَ مَالِكًا
Artinya, “Disunnahkan pada awal bulan untuk berniat puasa selama sebulan penuh, dan niat ini mencukupi tanpa perlu diperbarui setiap malam menurut Imam Malik. Oleh karena itu, menurut kami, disunnahkan untuk melakukannya, karena mungkin saja seseorang lupa menetapkan niat pada beberapa malam, sehingga ia dapat mengikuti pendapat Imam Malik.” (Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, [Beirut: Darul Fikr, tt], halaman 185).
Tulisan ini dikutip dari artikel karya Ustadz Sunnatullah sebagaimana dimuat di NU Online.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menghidupkan Malam di Bulan Suci Ramadhan dengan Amal Saleh
2
Inilah Rincian Zakat Fitrah Tahun 2025 di Kota dan Kabupaten se-Jawa Barat
3
Libur Lebaran 2025 untuk Sekolah Madrasah Diperpanjang 20 Hari, Menag: Bisa Kurangi Kemacetan
4
Operasi Pasar Murah PCNU Kabupaten Cirebon: Upaya Kendalikan Harga Bahan Pokok Jelang Idulfitri
5
RMINU Jabar Gelar Safari Ramadhan Volume 4 Bersama LDNU dan LPBHNU
6
Al-Hiyam: Cinta yang Mengembara Tanpa Akhir
Terkini
Lihat Semua