Syariah

Pandangan Ulama Lintas Mazhab tentang Waktu Sahur

Senin, 3 Maret 2025 | 19:58 WIB

Pandangan Ulama Lintas Mazhab tentang Waktu Sahur

Sahur (Foto: NU Online/freepik)

Sahur merupakan bagian penting dalam ibadah puasa yang dianugerahkan Allah kepada umat Islam. Selain sebagai upaya mempersiapkan diri secara fisik sebelum menjalani puasa, sahur juga merupakan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw.


Dengan bersahur, seseorang telah mengamalkan sunnah Nabi Muhammad saw yang senantiasa melakukannya ketika berpuasa, sekaligus membangun kesiapan diri agar ibadah puasanya berjalan dengan baik. Sahur juga membantu menjaga stamina tubuh, sehingga lebih siap menghadapi puasa sepanjang hari.
 

Karena itu, Rasulullah saw sangat menekankan pentingnya sahur dan melarang umat Islam untuk meninggalkannya. Sahur bukan sekadar makan sebelum puasa, tetapi juga penuh keberkahan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad saw bersabda:

 

عَلَيْكُمْ بِالسُّحُوْرِ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَدَاءُ الْمُبَارَكُ

Artinya, “Teruslah kalian sahur, karena ia merupakan makanan yang diberkahi.” (HR An-Nasai).

 

السَّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ يَجْرَعُ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ الله وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Artinya, “Sahur sepenuhnya mengandung berkah. Maka dari itu, janganlah kalian meninggalkannya, sekalipun sekadar meminum seteguk air, karena Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang-orang yang sahur.” (HR Abu Said al-Khudri).


Waktu Sahur menurut Ulama Lintas Mazhab
Terkait waktu pelaksanaan sahur, para ulama dari berbagai mazhab umumnya sepakat bahwa waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam hingga terbitnya fajar atau masuknya waktu Subuh. Kesepakatan ini dianut oleh mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, yang menyatakan bahwa waktu sahur berlangsung dalam rentang waktu tersebut.
 

Salah satu ulama mazhab Hanafi, Syekh Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid (wafat 681 H), menjelaskan dalam kitabnya:

 

وَقْتُ السَّحُورِ مِنْ مُضِيِّ أَكْثَرِ اللَّيْلِ إلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ

Artinya, “Waktu sahur berlangsung dari lewatnya sebagian besar malam hingga terbitnya fajar.” (Syarh Fathul Qadir, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid V, halaman 136).


Namun, dalam mazhab Hanafi juga terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa waktu sahur lebih tepat dimulai pada sepertiga malam terakhir sebelum fajar terbit. Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim berpendapat bahwa istilah sahur merujuk pada makanan yang dikonsumsi di waktu sahr, yang menurutnya merupakan bagian terakhir dari malam. Dalam kitabnya, ia menyebutkan:

 

وَالسَّحُورُ ما يُؤْكَلُ في السَّحَرِ وهو السُّدُسُ الْأَخِيرُ من اللَّيْلِ

Artinya, “Sahur adalah makanan yang dikonsumsi pada waktu sahar, yaitu seperenam bagian terakhir dari malam.” (Al-Bahrur Raiq Syarh Kanzid Daqaiq, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t], jilid II, halaman 314).
 

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Arafah ad-Dasuqi, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Maliki. Dalam kitabnya ia mengatakan bahwa waktu sahur sudah masuk sejak pertengahan malam terakhir. Hanya saja, semakin diakhirkan mendekati terbitnya fajar, maka semakin utama pula pelaksanaan sahur tersebut. Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

 وَيَدْخُلُ وَقْتُ السَّحُورِ بِنِصْفِ اللَّيْلِ الْأَخِيرِ وَكُلَّمَا تَأَخَّرَ كان أَفْضَلَ 

 

Artinya, “Waktu sahur dimulai pada pertengahan malam terakhir, dan semakin diakhirkan, maka semakin utama.” (Hasyiyah ad-Dasuqi, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid I, halaman 515).   
 

Adapun dalam mazhab Syafi’i, sebagaimana ditulis oleh Imam Nawawi dalam salah satu kitabnya, waktu sahur berlangsung sejak pertengahan malam hingga terbitnya fajar. Sedangkan dalam pelaksanaannya, sahur tidak terbatas pada jenis makanan tertentu atau jumlah yang banyak, melainkan dapat diperoleh baik dengan makanan dalam porsi besar maupun kecil sekalipun. Bahkan, sekadar meminum air pun sudah dianggap sebagai sahur dan tetap mendapatkan pahala dan keberkahan sahur. Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

 وَقْتُ السَّحُوْرِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ. يَحْصُلُ السَّحُوْرُ بِكَثِيْرِ الْمَأْكُوْلِ وَقَلِيْله وَيَحْصُلُ بِالْمَاءِ أَيْضًا 

 

Artinya, “Waktu sahur berlangsung antara pertengahan malam hingga terbitnya fajar. Sahur dapat terpenuhi baik dengan makanan yang banyak maupun sedikit, dan dapat pula diperoleh hanya dengan meminum air.” (Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid VI, halaman 360). 


Kendati demikian, pendapat yang mengatakan bahwa waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam sebagaimana disebutkan dalam berbagai referensi fiqih, pendapat ini mendapat kritik dari Imam as-Subki, yang menyatakan bahwa terdapat kajian lebih mendalam terkait ketepatan batas waktu sahur, karena menurutnya, istilah sahur merujuk pada waktu menjelang fajar, bukan pertengahan malam. 
 

Oleh sebab itu, sebagian ulama seperti Ibnu Abi ash-Shaif, secara lebih spesifik menetapkan waktu sahur hanya pada seperenam bagian terakhir dari malam, dan tidak dari pertengahan malam. Penjelasan di atas sebagaimana dicatat oleh Syekh Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), dalam kitabnya ia mengatakan:

 

 وَيَدْخُلُ وَقْتُهُ بِنِصْفِ اللَّيْلِ قَالَ السُّبْكِيُّ وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ السَّحَرَ لُغَةً قُبَيْلَ الْفَجْرِ وَمِنْ ثَمَّ خَصَّهُ ابْنُ أَبِي الصَّيْفِ بِالسُّدُسِ الْأَخِيرِ وَيَحْصُلُ بِقَلِيلِ الْمَطْعُومِ وَكَثِيرِهِ 

 

Artinya, “Waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam. Hanya saja, Imam as-Subki berkata bahwa (pendapat ini) perlu dikaji lebih mendalam lagi. Sebab, kata sahar secara bahasa merujuk pada waktu menjelang fajar, dan dapat diperoleh dengan mengonsumsi makanan sedikit maupun banyak.” (al-Ghararul Bahiyyah fi Syarhi Bahjatil Wardiyah, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid II, halaman 221). 


Adapun dalam mazhab Hanbali, sebagaimana ditulis oleh Syekh Musthafa as-Suyuthi ar-Rahibani, dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam, namun disunnahkan untuk mengakhirkannya selama tidak dikhawatirkan terbitnya fajar kedua.   
 

Tujuannya, karena sahur yang diakhirkan lebih memberikan kekuatan dalam menjalankan puasa. Kesunnahan sahur dapat diperoleh hanya dengan minum saja, namun jika menghendaki yang sempurna, maka harus dengan makan. Dalam kitabnya mengatakan:

 وَأَوَّلُهُ نِصْفُ لَيْلٍ وَيُسَنُّ  تَأْخِيْرُهُ إِنْ لَمْ يَخْشَهُ، أَي: طُلُوْع الْفَجْرِ الثَّانِي، لِأَنَّهُ أَقْوَى عَلىَ الصَّوْمِ وَلِلتَّحَفُّظِ مِنَ الْخَطَأِ وَالْخُرُوْجِ مِنَ الْخِلاَفِ. وَتَحْصُلُ فَضِيْلَةُ السُّحُوْرِ بِشُرْبٍ وَ يَحْصُلُ كَمَالُهَا بِأَكْلٍ 

 

Artinya, “Awal waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam, dan disunnahkan untuk mengakhirkannya selama tidak khawatir terbitnya fajar kedua. (Anjuran ini) karena lebih memberikan kekuatan (dalam menjalankan puasa), serta sebagai bentuk kehati-hatian agar terhindar dari kesalahan dan keluar dari perbedaan pendapat. Kesunnahan sahur dapat diperoleh hanya dengan minum, sedangkan kesempurnaannya dengan makan.” (Mathalibu Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, [Damaskus: Maktab al-Islami, 1961], jilid II, halaman 206). 


Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat waktu sahur berlangsung sejak pertengahan malam hingga menjelang fajar. Namun, sebagian dari beberapa kalangan, seperti Syekh Zainuddin Ibnu Nujaim dan Ibnu Abi as-Shaif yang dikutip oleh Syekh Zakaria al-Anshari, bahwa waktu sahur dimulai ketika seperenam bagian terakhir dari malam, dan tidak dari pertengahan malam. Sebab, pendapat ini menekankan pada arti sahar itu sendiri secara bahasa, yang memiliki arti menjelang fajar. 


Meski demikian, meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam detail penentuan waktu sahur, seluruh mazhab fiqih sepakat bahwa sahur adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama jika dilakukan menjelang waktu fajar, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah.   


Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memperhatikan waktu sahur dengan baik agar mendapatkan keberkahan dan kemudahan dalam menjalankan ibadah puasa.

Tulisan ini dikutip dari artikel karya Ustadz Sunnatullah sebagaimana dimuat di NU Online.