Oleh Ayub Al Ansori
NU Cirebon sebelum masa Kemerdekaan
Pada 19 Juni 1932 di Ciledug Kabupaten Cirebon, NU terlibat perdebatan dengan para kiai modernis dari Persatuan Islam (Persis) tentang talqin, tahlil dan sidkah bagi orang yang sudah meninggal. Perdebatan ini merupakan perdebatan secara terbuka pertama bagi masing-masing pihak. Debat yang dimulai bada zuhur ini dihadiri oleh ribuan umat Islam Indonesia dan ratusan orang Arab (Nina Herlina, 2017: 313).
Majalah Tjahja Islam tahun 1932 memberitakan bahwa acara perdebatan ini diberi nama “Openbare Debat Vergadering Kiai Nahdlatoel Oelama Tjirebon Contra Kiai Modern”. Dari pihak NU yang maju ke arena adalah KH. Abdul Khair, pengurus NU cabang Cirebon. Sedangkan dari kubu kiai modern diwakili KH. Muhammad Anwar Sanusi dari Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC). Acara perdebatan dilakukan dengan pendekatan formal. Ketua perdebatan yang memimpin acara adalah H. Agus Salim dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), yang dibantu dibantu oleh H. Alimoen, ketua PSII cabang Cirebon sebagai notulen. Sebelum acara dimulai, ketua sidang meminta supaya kedua belah pihak mengangkat Commisie Verslag yang akan mencatat setiap dalil dan hujjah peserta debat. Permintaan ini dipenuhi, NU mengangkat Mas Sastramihardja seorang Mantri Guru Ciledug yang menjadi anggota NU cabang Cirebon. Sementara dari pihak kiai modern diangkat Ahmad Hasan (pimpinan pusat Persis) yang dibantu oleh Soekantawidjaya dari MASC sebagai Commisie Verslag (Nina Herlina, 2017: 313).
Masalah yang sama kembali diperdebatkan oleh NU dan Persis pada 31 Mei 1936 di Gebang. Pihak NU Cirebon dimotori oleh KH. Masduqi, H. Abdul Khair dan Awad Basit, sementara pihak modernis dari Persis dan Al-Irsyad diketuai oleh A. Hasan dan didampingi oleh pengurus Al-Irsyad cabang Cirebon, yaitu H. Moehsin dan H. Aliman. Perdebatan berlangsung dari jam 09.00 pagi sampai sore hari. Selain para tokoh yang akan berdebat, hadir pula para pendukungnya. Tidak ketinggalan hadir pada kesempatan itu petugas keamanan, pejabat agama serta pejabat administrasi setempat (Anam, 2010: 48).
Perdebatan tersebut berlangsung sengit tidak hanya di Cirebon tetapi di seluruh daerah di Indonesia. Sebagai seorang ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyadari bahwa betapapun besarnya kepentingan kelompoknya (dalam hal ini NU), apabila persoalannya sudah menyangkut agama Islam, maka segala kepentingan kelompok itu harus segera ditinggalkan. Kelompok-kelompok yang ada bahkan seharusnya dapat menjadi wasilah terwujudnya integrasi seluruh umat Islam. Amanat KH. Hasyim Asy’ari tersebut kemudian disebarluaskan oleh cabang-cabang NU yang sudah terbentuk di seluruh Hindia Belanda. Para pengurus cabang NU dituntut untuk menyampaikannya dalam setiap acara yang dilaksanakan. Misalnya, amanat dari Rois Akbar HBNO itu disampaikan oleh KH. Abdul Chalim pada bulan September 1936, dalam acara rapat pengurus Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) Cabang Cirebon. KH. Abdul Chalim sebagai salah seorang sesepuh NU menyampaikan kepada para pemuda yang hadir agar segera meninggalkan sikap ta’ashub, saling mencela dan sikap berpecah belah sebagaimana instruksi dari KH. Hasyim Asy’ari pada Kongres NU bulan Juni di Banjarmasin (Al Mawa’idz No. 38: 23 September 1936: 571 dalam Nina Herlina, 2017: 321).
NU Cirebon saat NU Menjadi Partai Politik
Berdasarkan wawancara dengan KH. Ibrahim Rozi, ketika NU dipimpin oleh KH. Mustamid Abbas sebagai Rois Syuriyah, KH. Aqil Siraj sebagai Katib Syuriyah, dan KH. Hasan Rahmat sebagai Ketua Tanfidziyah tahun 1965 ikut terlibat melawan gerakan PKI. Di mana sebelumnya KH. Mustamid Abbas merupakan Ketua Tanfidziyah NU Cirebon tahun 1956-1960 (Lembaga Pemilihan Umum, 1977: 568).
Sebuah peristiwa terjadi pada tahun 1971 ketika NU Cirebon dinahkodai oleh KH. Ali Kamali sebagai Rois Syuriyah dan KH. Hisyam Mansyur sebagai Ketua Tanfidziyah. KH. Hisyam Mansyur mengundurkan diri dari jabatan Ketua NU setelah ditekan oleh Orde Baru melalui Kodim Cirebon dengan cara Kiai Hisyam ditodong senjata oleh oknum Kodim dengan alasan sebagai pegawai pemerintahan KH. Hisyam harus menjadi anggota Golkar, sementara NU saat itu sedang menjadi Partai politik. Atas peristiwa tersebut PCNU Kabupaten Cirebon mengadakan musyawarah pada tanggal 5 Juni 1971 di Kalitengah Kecamatan Tengahtani. Musyawarah tersebut memutuskan KH. MA Fuad Hasyim menggantikan KH. Hisyam sebagai Ketua Tanfidziyah NU (wawancara dengan KH. Ibrahim Rozi).
Dalam ingatan KH. Ibrahim Rozi, antara tahun 1973-1983 kepengurusan NU Cirebon mengalami kevakuman setelah adanya tekanan dari Orde Baru disamping partai NU fusi dengan partai Islam lainnya menjadi PPP.
Sumber: nucirebon.or.id
Penulis adalah Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Kabupaten Cirebon 2017-2022.
Terpopuler
1
Barak Militer Vs Pesantren
2
Jejak Perjuangan KH Muhammad asal Garut: Dari Membangun Pesantren hingga Menjaga NU
3
Dialog Refleksi Harlah ke-70, IPPNU Tasikmalaya Tegaskan Peran Strategis Perempuan dalam Pendidikan dan Kepemimpinan
4
Pesantren Karangmangu Bertaraf Nasional, Cetak Puluhan Khatimin dari Berbagai Daerah
5
BPBD Jabar Siap Tangani Bencana Alam di Bandung Barat, Karawang, dan Bekasi
6
IPPNU Kota Banjar Kunjungi Dinas Sosial, Bahas Kasus Sosial dan Penguatan Ketahanan Keluarga
Terkini
Lihat Semua